Minggu, 28 Juni 2009

Banten

FX Sriyadi Adhisumarta

Peta politik Banten telah berubah. Dari sebuah wilayah yang pernah menjadi lumbung suara bagi Partai Golkar, kemudian beralih kepada PDI-P, kini mulai beralih kepada Partai Demokrat dan partai berbasis Islam. 

Pertarungan dan perebutan kursi legislatif antara partai nasionalis dan partai berbasis Islam bersaing ketat di provinsi yang lahir tahun 2000 ini. Partai-partai nasionalis-sekuler, seperti Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Gerindra, dan Hanura, berbagai kursi wakil rakyat dengan partai berbasis massa Islam. Partai nasionalis memperoleh 16 kursi dan partai berbasis Islam (PKS dan PPP) mendapatkan enam kursi.

Kecuali PKS, partai berbasis Islam, seperti PKB, PAN, PBB dan PBR, cenderung berkurang konstituennya. Adapun loncatan paling mencolok adalah perolehan Demokrat, dari 2 wakil berhasil merebut 6 wakil.

Komposisi ini berubah dari kondisi pemilu legislatif tahun 2004. Perolehan kursi kedua corak partai ini boleh dikatakan seimbang. Partai nasionalis (Golkar, PDI-P, dan Demokrat) mendapatkan 11 kursi, sementara partai berbasis massa Islam (PKS, PPP, PKB, PAN, PBB, dan PBR) juga memperoleh 11 kursi DPR.

Bagaimana peta pertarungan politik di dalam daerah pemilihan?

Daerah pemilihan (dapil) Pemilu 2009 berbeda dibandingkan dengan Pemilu 2004, dari sebelumnya dua dapil berubah menjadi tiga dapil. Wilayah Dapil I yang meliputi Lebak dan Pandeglang pada Pemilu 2004 dimenangkan Golkar yang mendapat 3 kursi. PDI-P menyusul dengan 2 kursi dan enam partai lainnya, termasuk Demokrat, masing-masing 1 kursi. Pada Pemilu 2009, dengan jatah 6 kursi, perebutan suara semakin ketat. Golkar dan PDI-P merosot, masing-masing mendapat 1 kursi. Sebaliknya Demokrat dan PPP berhasil meningkatkan perolehannya dari 1 menjadi 2 kursi.

Politik utara-selatan

Secara umum, nuansa politik wilayah Banten bisa dipilah menjadi politik utara dan selatan. Wilayah utara yang meliputi Kabupaten Serang, Kota Serang, dan Kota Cilegon masuk dalam dapil II. Kawasan ini tumbuh menjadi urat nadi perekonomian Provinsi Banten. Pabrik-pabrik manufaktur, pariwisata, dan industri berat Karakatau Steel berkembang di sini. Industri-industri tersebut menyerap tenaga kerja terdidik dan terampil yang datang dari luar Banten. Mereka akhirnya menetap dan menjadi penduduk di sana, tetapi tak terlalu terikat dengan pola-pola budaya tradisional.

Perebutan suara yang lebih dinamis terjadi di Dapil II yang meliputi wilayah bagian utara Banten, yaitu Kabupaten Serang, Kota Serang, dan Kota Cilegon. Wilayah ini adalah basis massa Golkar yang loyal. Meskipun secara total provinsi Golkar mengalami penurunan suara, di wilayah ini partai berlambang beringin itu tetap bertahan dan merebut 2 kursi legislatif dari jatah 6 kursi dapil ini. Sementara perolehan kursi PDI-P dan PPP tetap seperti sebelumnya.

Interaksi pendatang dari berbagai provinsi dan etnis ini membuat karakter politik wilayah utara cenderung lebih cair dan dinamis. Meskipun setiap pemilu di Banten membawa perubahan, tetapi perubahan yang terbesar terjadi di wilayah utara tersebut.

Komposisi perolehan suara partai-partai pemenang, sebagian besar, 60–70 persen suara disumbang dari wilayah ini. Tidak salah kalau dikatakan bahwa wilayah utara Banten merupakan tonggak kemenangan atau ”kuburan” bagi partai peserta pemilu yang berlaga di sana.

Di kawasan selatan, khususnya di Pandeglang, pilihan politik tampak cenderung lebih lamban berubah. Kawasan ini secara sosial ekonomi memang cenderung tertinggal, infrastruktur yang tidak memadai dan berbagai persoalan kesejahteraan. Dua faktor yang mampu memengaruhi pilihan di wilayah ini adalah isu patron lokal dan bantuan peningkatan kesejahteraan.

Hal ini tampak dari pilihan politik di Pandeglang. Di wilayah ini, dengan patron politik lokal yang kuat, PPP meraih kemenangan, bahkan dengan selisih suara yang cukup telak.

Wilayah ini secara tradisional merupakan basis PPP dan pemilu kali ini meloloskan Bupati Pandeglang Achmad Dimyati Natakusumah, sebagai anggota DPR. Meski demikian, di kabupaten sebelahnya, Lebak, tampak isu kesejahteraan yang ditawarkan pemerintah (BLT) cenderung mampu mendorong pilihan ke Demokrat.

Sementara itu, wilayah Dapil III yang meliputi Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan tampak paling dinamis corak politiknya. Praktis wilayah-wilayah ini merupakan daerah hunian bagi sebagian warga pekerja Jakarta dan memiliki corak pilihan tidak terlalu condong kepada pilihan ”tradisional”.

Di wilayah ini, dengan komposisi pemilih paling padat, afiliasi cenderung diarahkan ke Partai Demokrat. Tiga wakil rakyat berhasil dikirim Demokrat ke Senayan, diikuti 2 dari PKS dan sisanya dari PDI-P, Golkar, PPP, Hanura, dan Gerindra.

Wajah kekerabatan

Wajah wakil pilihan masyarakat Banten menarik untuk ditelisik. Dari 22 orang caleg, 3 di antaranya merupakan anggota DPR periode 2004-2009, Yoyoh Yusroh (PKS) sebelumnya dari Dapil Jawa Barat, sedangkan Murdaya Widyawimarta (PDI-P), sebelumnya berasal dari Dapil Jawa Timur dan 1 orang mewakili wilayah ini, yaitu Zulkieflimansyah (PKS).

Ada keunikan bila mencermati wakil rakyat Banten. Meskipun mereka maju berlaga melalui mekanisme politik yang normatif, nuansa ikatan kekerabatan terlihat kental. Misalnya di Dapil I, Irna Narulita yang mendulang suara terbanyak juga istri Bupati Pandeglang Achmat Dimyati Natakusumah yang juga terpilih sebagai wakil PPP. Terdapat pula nama Iti Octavia Jayabaya yang adalah putri Bupati Lebak, H Mulyadi Jayabaya.

Di Dapil II, Hikmat Tomet dari Golkar yang juga berprofesi sebagai pengusaha adalah suami Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Anak laki-laki mereka yang masih mahasiswa, Andika Hazrumy, sukses merebut kursi DPD. Wakil Golkar lainnya, Tubagus Iman Ariyadi, adalah putra Wali Kota Cilegon Tubagus Aat Syafa’at. Adapun Ahmed Zaki Iskandar Zulkarnain, yang mewakili Golkar di Dapil III, adalah putra Bupati Tangerang Ismet Iskandar Zulkarnain.

(FX SriyadiAdhisumarta/Litbang Kompas)

Kamis, 25 Juni 2009

Partai Islam dan Partai Nasionalis


Bustanuddin Agus
(Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Andalas Padang)


Pemilu legislatif telah usai dan hasilnya sudah sama maklum. Menyusul pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres dan pilwapres) langsung oleh rakyat dua bulan lagi. Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY), capres incumbent, dengan style penuh kehati-hatian , tapi sungguh suatu kejutan dan kontroversial (terutama di mata parpol-parpol yang telah menyatakan berkoalisi dengan Partai Demokrat) mendeklarasilakan Boediono jadi cawapres pendampingnya. Menurut biasa dan logika lurus tentu partai koalisi peraih suara yang termasuk banyak serta dapat pula dijadikan figur untuk meraup sura lebih banyak yang akan dipilih.

Tapi logika politik SBY ternyata lain sama sekali. Rupanya SBY membaca lembaran sejarah perpolitikan Indonesia bahwa suara umat Islam, dari Pemilu ke Pemilu, belum pernah jadi pemenang di Republik ini. Partai Masyumi di kala itu hanya mampu meraih nomor dua setelah PNI. Hamzah Haz memang pernah jadi Wapres (semasa Presiden Megawati), tapi pemilihan dan pengangkatan keduanya dilakukan oleh MPR, bukan langsung oleh rakyat. Berdasarkan pengalaman itu SBY (juga cawapres yang lain) tampaknya berani "bertaruh" bahwa suara yang mengatasnamakan Islam tidak akan menang.

Hasil Pemilu baru-baru ini makin menunjukkan suara partai Islam tidak termasuk tiga besar. Yang berhasil meraup tiga besar adalah Partai Demokrat, Partai Golkar dan PDI-P. Partai Islam hanya termasuk sepuluh besar. Rumor partai-partai Islam yang telah menyatakan berkoalisi dengan SBY akan menarik diri dan membangun poros tengah jilid dua ternyata hanya angin lalu. Pertimbangan praktis (dan prinsip kasik ilmu politik “demi kekuasaan”), kalau tidak dapat kursi cawapres, kursi menteri pun jadi, ternyata lebih dominan dari pertimbangan ideologi.

Setelah melalui pembicaraan yang alot, Prabowo Subianto (bekas komandan Kopasus, pasukan elit negeri ini, Ketua dewan penasihat Partai Gerindra), pada hari yang sama akhirnya (sebelumnya bersikukuh menjadi capres saja) juga mau menerima sebagai cawapres, pendamping capres Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum PDI-Perjuangan yang pernah menjadi Presiden dan pernah kalah dalam persaingan dengan SBY dalam pilpres putaran kedua yang lalu). Yusuf Kalla (JK) yang jabatan Wapresnya hampir berakhir tidak mau lagi jadi pendamping SBY dan pas, SBY juga tidak mau lagi menggandengnya jadi cawapres periode kedua. JK telah lebih dahulu mendeklarasikan diri jadi capres dengan Wiranto (Ketua Umum Partai Hanura) sebagai cawapresnya. Wiranto adalah bekas sejawat JK di Partai Golkar dan hengkang dari partai tersebut serta berhasil meraih suara pemilih legislatif sehingga termasuk sepuluh besar peraih suara. Kedua pasangan yang bergerak cepat ini telah menggalang dukungan, seperti dari kiyai-kiyai pesantren Jawa Timur. Tampaknya karena watak bisnis JK yang suka bergerak cepat ini, SBY (yang mengutamakan kehati-hatian) tidak mempriotaskannya jadi cawapres.

Jadi dalam pasangan (salah satu) yang akan berlaga Juli yang akan datang masih wajah-wajah lama dan, nota bene, tidak ada lagi yang dari kalangan (partai) Islam atau berbasis pendukung dari kalangan Islam. Ketiga pasangan tentu sudah memperhitungkan bahwa yang mewakili Islam tidak perlu digandeng untuk meraup pencontreng. Hal ini tak usah mengherankan karena masalah ideologi tetap tidak menarik kalau dibawa ke khalayak yang lebih luas. Apakah ideologi tidak penting?

Ideologi masih relevan
Menghadapi Pemilu yang lalu terdengar komentar bahwa tak masanya lagi perbedaan didasarkan kepada ideologi. Perbedaan antar partai yang relevan diusung dikatakan hanya perbedaan program. Kalau dicermati lebih serius, dalam skala yang lebih luas dan lebih mendasar, pertimbangan ideologi (nasionalisme, sekularisme, Islam dan lain-lain) lah yang bermain di belakang pengelompokan negara dan orientasi politik. Negara-negara Barat dan banyak negara-negara maju, seperti Jepang dan Korea, memilih ideologi sekuler bagi negaranya. Banyak negara dan partai yang berideologi nasionalis. Negara-negara Muslim juga ada yang memasang ideologi Islam bagi negaranya, seperti Iran, Saudi Arabia dan Pakistan.

Ideologi berperan untuk memberi semangat dan sumber energi bagi warga negara dan pemimpinnya untuk berjuang membangun dan mempertahankan negara. Ideologi berbeda dengan sekedar ilmu pengetahuan. Sekedar pengetahuan biasa dilanggar oleh yang punya pengetahuan itu sendiri, apalagi oleh yang tidak mengetahui. Ideologi mengandung semangat, jiwa juang, kecintaan dan persatuan. Dan ideologi yang didasarkan kepada agama punya semangat, kecintaan dan kekompakan yang lebih tinggi dari ideologi yang tidak dikaitkan kepada agama. Berjuang demi negara (nasionalisme) lebih luas dan lebih jauh dari demi harta dan anak istri. Berjuang demi kemanusiaan (humanisme) juga lebih luas dan lebih mendasar dari sekedar demi negara. Kemudian demi Tuhan dan demi agama jauh lebih dalam, lebih kuat dan lebih tahan lama lagi karena didasarkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, dan untuk kehidupan dunia akhirat pula. Istilah jihad dan syahid dikaitkan dengan demi agama dan demi Tuhan, tidak kepada yang demi negara dan kemanusiaan. Karena itu kata demi Tuhan dan agama diganti oleh nasionalisme dan humanisme dengan demi negara dan demi kemanusiaan .

Secara teologi, teori atau keyakinan (das Sollen), menurut yang berakidah (ber philosophy and way of life) Islam, ideologi Islamlah yang lebih kuat dan lebih dalam dari ideologi nasionalis, kemanusiaan dan lainnya. Tapi dalam kenyataan (das Sein) banyak yang tidak demikian. Ketika suara dan selera massa jadi tolok ukur (minimal dalam perjalanan perpolitikan Indonesia), partai-partai yang tidak mengusung jargon Islamlah yang menang. Alasan-alasan Tuhan, agama, akhirat tampak tidak menarik lagi bagi anak bangsa ini. Yang menarik bagi selera massa alasan-alasan yang praktis: lapangan kerja, peningkatan penghasilan, kesejahteraan, keamanan dan juga kebebasan.

Di Barat, ideologi sekuler yang meminggirkan agama dan Tuhan dalam kehidupan bernegara, resmi diusung dan diproklamirkan sebagai ideologi mereka. Sejarah Barat di Abad Pertengahan yang trauma dengan ulah Gereja Katolik yang dinilai sebagai biang korok mereka tenggelam dalam The Dark Ages, menjadikan Barat memproklamirkan sekularisme.

Lain halnya dengan di Indonesia. Kehidupan beragama telah menyatu dengan adat dan budaya suku-suku bangsa yang ada. Kentalnya peran agama dalam kehidupan bernegara dapat dibacara dalam Pembukaan UUD 1945. "Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa", sila-sila Pancasila, apalagi sila Ketuhanan Yang Maha Esa, ada departemen khusus yang mengurus urusan-urusan yang langsung menyangkut agama. Semuanya ini menunjukkan bahwa bangsa (dan negara Indonesia harus pula) adalah religius, bukan negara sekuler yang tidak mengakui dan meminggirkan agama dan Tuhan.

Para intelektual dan pemimpin mampu hendaknya membedakan antara ajaran agama dan perilaku sebagian pemimpin, apalagi penganut. Sebagai ajaran, Islam adalah pedoman hidup yang diajarkan oleh Tuhan Pencipta untuk keselamatan semesta. Umat dan sebagian pemimpin dalam realita sosial (secara sosiologis) ada (bahkan banyak) yang memperalat agama untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Karena itu dari segi ajaran (teologis), kita hendaknya tetap meyakini bahwa ajaran agama penting dan urgen dipedomani dalam kehidupan pribadi dan bersama.

Bukankah amat banyak bencana dan kekacauan kalau manusia (rakyat apalagi elit dan kelompok) telah merasa atau mau jadi Tuhan Yang Maka Kuasa dalam kehidupan ini. Mau kaya, berkuasa, dan benar sendiri tanpa mempedulikan ajaran Tuhan dan agama, adalah perilaku Firaun-Firaun. Kekuasaan mereka ditunjang dengan ekonomi, media massa, teknologi, persenjataan canggih dan kekuatan struktural. Invasi semena-mena ke negara lain, besarnya gap antara negara/kelompok kaya dan negara/kelompok miskin, terkurasnya sumber daya alam negara miskin, pencemaran lingkungan dan global warming adalah diantara kefasadatan akibat ulah tangan manusia tidak mau jadi khalifatullah untuk menebarkan rahmatanlil'alamin, tapi ingin jadi Tuhan Yang Maha Kuasa itu sendiri.

Karena alasan-alasan tersebut dan karena partai-partai yang didukung oleh bangsa Indonesia yang religius dan berfalsafahkan Pancasila, maka (seyogyanya) hanya ada dua kelompok partai di Indonesia, yaitu partai Islam dan nasionalis. Keduanya menjujung tinggi kehidupan beragama di Indonesia. Tidak ada kekuasaan atau partai sekuler yang menabrak ajaran agama dalam undang-undang, peraturan dan kebijakan yang ditempuh. Negara harus ikut membangun dan menggairahkan kehidupan beragama untuk keselamatan bersama. Wabillahit taufiq wal hidayah.

(-)

Rabu, 24 Juni 2009

Para Pemburu Rente Politik

Dalam Pilpres 2009, kontestasi antarkandidat bukan hanya terjadi di ”üdara”, tetapi tengah berlangsung sengit ”di darat”. Dalam pertarungan di darat, perkembangan praktik elektoral dalam lima tahun terakhir ini menghadirkan bentuk-bentuk pengorganisasi politik baru dalam memobilisasi dukungan pemilih. Salah satu yang fenomenal adalah pengorganisasian melalui jaringan di luar partai.

Kehadiran bentuk pengorganisasi ini sesungguhnya bisa dilacak mulai dari pemilu Presiden 2004. Pada saat itu, dalam upaya meraih dukungan pemilih, para kandidat bukan hanya mengandalkan sokongan mesin partai dan sayapnya, tetapi juga bergantung pada bergeraknya jaringan nonpartai yang secara khusus menjaring suara pemilih di akar rumput yang tak berafiliasi pada partai.

Ada banyak nama yang digunakan untuk mengidentifikasi jaringan ini: mulai dari sebutan tim sukses, tim pemenangan, atau tim relawan.

Model pengorganisasi melalui jaringan nonpartai ini tidak berhenti pada Pilpres 2004 saja, tetapi berlanjut terus pada prosesi pilkada langsung yang mulai digelar tahun 2005.

Seperti halnya pemilu presiden, dalam pilkada para kandidat berpijak pada dua kaki: kaki pertama mengandalkan bekerjanya mesin partai politik pendukung dan kaki kedua mengandalkan kelincahan pengorganisasian jaringan relawan.

Dari dua kaki yang dimiliki para kandidat ini, pengorganisasian jaringan nonpartai yang dilakukan para relawan justru dianggap lebih murah dan efektif dibandingkan dengan menggerakkan mesin partai.

Politik pertautan

Kehadiran jaringan nonpartai dalam sistem demokrasi elektoral berbasis multipartai seperti yang berlangsung saat ini di Indonesia menunjukkan pergeseran dari pola pengorganisasi politik secara institusional-formal ke arah model

pertautan.

Dalam politik pertautan, karakter hubungan kekuasaan lebih bersifat menyebar. Basis untuk membangun pertautan bisa bervariasi mulai dari jaringan pertemanan, alumni, kekerabatan, sampai jaringan kedaerahan.

Ketika musim kampanye tiba, berbagai jaringan yang pernah dimiliki capres diingat kembali, ditemukan, diiniasi, distrukturisasi, dan selanjutnya didayagunakan untuk proses mobilisasi dukungan politik.

Tidak aneh jika selama kampanye banyak usaha untuk ”menghidupkan” jaringan, misalnya mulai digalang pertemuan para saudagar antardaerah, penggalangan jaringan kelompok tani-nelayan dan pedagang pasar, penggalangan ke berbagai jaringan pesantren, dan lainnya.

Selain memiliki karakter yang menyebar, politik pertautan juga cenderung bersifat cair. Berbagai titik simpul politik yang coba ditautkan oleh kandidat tidak bisa begitu saja diisolasi dari pertautan dengan kandidat lain. Maka, dalam politik pertautan ini, tidak ada struktur otoritas.

Dengan demikian, hubungan kekuasaan antara para kandidat dengan berbagai titik simpul politik sangat bergantung pada kapasitas kandidat untuk membangun ruang negosiasi dengan berbagai titik simpul itu. Semakin lemah dasar pertautan antara kandidat dan simpul-simpul jaringan, akan semakin mudah bagi simpul jaringan itu untuk berayun ke kandidat yang lain.

Dasar pertautan

Ketika ada upaya para kandidat untuk membangun pertautan dengan berbagai simpul politik, pertanyaan selanjutnya adalah apa yang menjadi dasar bagi pertautan itu? Apakah pertautan itu memang digerakkan oleh semangat kesukarelaan atau voluntarisme, seperti muncul dalam istilah tim relawan? Apakah kemunculan relawan-relawan adalah aktivitas yang sukarela atau bahkan swadaya?

Berpijak pada praktik elektoral dalam lima tahun terakhir ini terlihat bahwa pertautan itu tak hanya didasarkan pada semangat voluntarisme, melainkan dibangun oleh tiga modus berikut ini: pertama, politik pertautan didasarkan pada modus memburu kebijakan, di mana dukungan jaringan atas seorang kandidat selalu bersyarat. Para simpul jaringan akan bersedia memobilisasi dukungan jaringan yang dimilikinya apabila dukungan mereka bisa dipertukarkan dengan kebijakan tertentu pascapemilihan.

Dalam perkembangan selanjutnya, pertukaran ini sering kali dikuatkan dengan sebuah pakta politik-kebijakan yang diharapkan dapat mengikat kandidat. Strategi membangun pertautan melalui pakta politik-kebijakan terlihat mulai digunakan pada Pilpres 2009 dalam bentuk penandatanganan kontrak politik dengan beberapa simpul jaringan.

Kedua, politik pertautan antara para kandidat Capres dan jaringan pendukung sering kali terbangun atas dasar kehendak memburu jabatan. Dalam model ini, hubungan para kandidat dengan jarigan pendukung dibangun berdasarkan landasan transaksi jabatan. Proses mobilisasi dukungan oleh elite dalam simpul jaringan dilakukan untuk memaksimalkan keuntungan yang bisa diperoleh dalam proses perebutan posisi pascapemilihan. Imbalan atas kerja keras membangun jaringan pemenangan adalah posisi-posisi penting dalam kabinet, birokrasi pemerintahan, maupun BUMN.

Terakhir, politik pertautan dikelola dengan menggunakan logika pemburu rente (rent seeking). Dalam model ini, elite yang menjadi simpul jaringan mendayagunakan proses elektoral untuk memperoleh rente ekonomi sebanyak-banyaknya. Ketika kandidat ingin mendapatkan dukungan akar rumput, sudah dipastikan mereka akan bertemu dengan para broker yang menjadi pemilik massa dan penguasa jaringan.

Akses masuk ke jaringan pemilih tidak bisa tidak harus melewati broker itu. Posisi broker yang menjadi jembatan para kandidat dengan akar rumput selanjutnya dimanfaatkan untuk mengakumulasi sumber dana dari para kandidat. Tentu saja dengan imbalan seluruh jaringan di bawahnya dapat digunakan untuk memenangkan kandidat tertentu.

Tiga modus pertautan itu sekali lagi menunjukkan bahwa aktivitas pertautan dalam Pilpres 2009 bukanlah semata-mata aktivitas relawan dengan semangat voluntarisme, melainkan sebuah negosiasi dalam membuka ruang pertukaran sumber daya kekuasaan.

Hal yang dipertukarkan dan dipertautkan bukan lagi hanya gagasan, ide, ataupun politik kebijakan, tetapi menyangkut pula pertukaran jabatan dan rente ekonomi. Kalau model pertautan semacam ini yang dominan, proses pemilihan presiden sesungguhnya telah dikuasai oleh para pemburu rente politik.

Daerah Istimewa Yogyakarta

Yogyakarta adalah ironi bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Setelah berjaya ”memerahkan” Daerah Istimewa Yogyakarta dalam dua pemilihan umum pascareformasi, partai berlambang kepala banteng tersebut harus menelan pil pahit dalam Pemilu Legislatif 2009. PDI-P kalah telak karena tak berhasil memetik satu kemenangan pun di lima kabupaten/kota di DIY. NURUL FATCHIATI

Tak dapat dimungkiri, wilayah kesultanan Yogyakarta atau ”nagaragung” DIY adalah salah satu basis PDI-P. Sejak Pemilu 1971, eksistensi partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu di bumi Mataram terus menguat. Meskipun pada era Orde Baru tak luput dari ”kuningisasi” Partai Golkar, tetapi kantong-kantong PDI-P di DIY tetap hidup. Terbukti, pada pemilu pertama pascareformasi, partai tersebut berhasil memenangi semua daerah pemilihan di DIY dengan perolehan suara mencapai 35,65 persen dari total suara sah.

Hegemoni PDI-P masih berlanjut pada Pemilu 2004 meskipun satu daerah pemilihan, Kabupaten Gunung Kidul, terlepas dari rengkuhan. Perolehan suara terbanyak di kabupaten terluas di DIY ini direbut Golkar. Sementara itu, Partai Amanat Nasional semakin ketat membayangi PDI-P di empat daerah pemilihan lainnya. Secara umum, perolehan suara terbanyak di tingkat provinsi tetap dikuasai partai kepala banteng. Kejayaan partai tersebut berlanjut pada pemilihan kepala daerah. Dari lima kabupaten/kota di DIY, tiga di antaranya berhasil dimenangi bupati petahana (incumbent) yang berasal dari PDI-P, yaitu Idham Samawi (Bantul), Ibnu Subiyanto (Sleman), dan Toyo S Dipo (Kulon Progo).

Namun, tanduk banteng tak lagi melentingkan perolehan suara PDI-P ke peringkat atas pada Pemilu Legislatif 2009. Kemenangan di empat kabupaten/kota di DIY pada pemilu lima tahun lalu tak satu pun yang berhasil dipertahankan.

Sebaliknya, Partai Demokrat sukses melambungkan suaranya di tiga daerah pemilihan yang menjadi basis PDI-P, yakni Kabupaten Bantul, Sleman, dan Kota Yogyakarta. Padahal, Bupati Bantul dan Sleman masih dijabat orang dari PDI-P. Kabupaten Kulon Progo pun lepas dari genggaman setelah dimenangi PAN. Dari lima wilayah DIY, hanya Kabupaten Gunung Kidul yang tidak berubah. Daerah yang sejak Pemilu 2004 direbut Golkar tersebut kembali dimenangkan partai berlambang beringin ini.

Tak hanya PDI-P yang luput mempertahankan suaranya di ”kandang sendiri”. Suara Partai Kebangkitan Bangsa di DIY pun ”terjun bebas” dalam pemilu kali ini. Perolehan suara partai yang sempat dilanda badai internal perebutan kepengurusan antara kubu Abdurrahman Wahid dan Muhaimin Iskandar menjelang Pemilu 2009 tersebut tergerus banyak. PKB keluar dari peringkat lima besar partai pemenang pemilu legislatif di DIY, tergusur oleh Partai Keadilan Sejahtera yang semakin mengokohkan eksistensinya di peringkat kelima.

Bongkar pasang

Perubahan konstelasi perolehan suara partai di DIY tak urung membawa perubahan pula pada komposisi anggota legislatif dari provinsi ini dalam Dewan Perwakilan Rakyat di tingkat pusat. PAN yang pada Pemilu 2004 berhasil merebut dua kursi di Senayan harus merelakan satu kursi untuk Demokrat. Terjadi pula bongkar pasang personel partai yang akan berkiprah di gedung dewan di Jakarta.

Dari delapan jatah kursi DPR untuk DIY, lima di antaranya ditempati ”wajah baru”. Hanya legislator dari PAN, PKS, dan satu wakil dari PDI-P, yaitu Eddy Mihati, yang sudah mengecap pengalaman politik di tingkat pusat pada periode lalu.

Kesempatan bagi anggota legislatif dari DIY untuk ke Senayan pada pemilu kali ini terbuka luas sebab sejumlah legislator yang lolos ke DPR pada periode sebelumnya tidak lagi mencalonkan diri lewat DIY. Mereka tak lagi menjadi kompetitor bagi sesama calon anggota legislatif dari partainya.

GBPH Joyokusumo dari Golkar dan Soetardjo Soerjoguritno dari PDI-P, misalnya, tak lagi tercantum namanya sebagai calon anggota legislatif dari DIY pada Pemilu 2009. Padahal, Joyokusumo yang juga adik dari Sultan Hamengku Buwono X, Gubernur DIY dan pemimpin Keraton Yogyakarta, adalah salah satu penghimpun suara bagi Golkar di DIY. Sementara Soetardjo yang memilih bertarung untuk kursi Dewan Perwakilan Daerah DIY juga tak berhasil melaju ke Senayan.

Dalam komposisi baru legislator dari DIY untuk kursi DPR kali ini, hanya ada satu perwakilan perempuan yang berhasil mendudukinya, padahal pada pemilu sebelumnya mencapai tiga perempuan.

Para wakil rakyat dari DIY, bisa dibilang, telah memiliki bekal pengalaman dalam dunia politik praktis. Selain berpengalaman sebagai anggota DPRD DIY, dua legislator, yaitu Djuwarto (PDI-P) dan Gandung Pardiman (Golkar), adalah ketua dewan pimpinan daerah/wilayah tingkat provinsi untuk partainya masing-masing. Agus Sulistiyono terakhir aktif di Fraksi Kebangkitan Bangsa DPRD DIY, sedangkan Agus Bastian menjabat sebagai Sekretaris DPD Partai Demokrat DIY. Adapun Roy Suryo Notodiprodjo adalah Ketua Departemen Komunikasi dan Informasi DPP Partai Demokrat.

Bongkar pasang anggota juga terjadi di tubuh DPD DIY. Dua anggota baru, yaitu Cholid Mahmud dan Muhammad Afnan Hadikusumo, muncul mendampingi ”pemain lama” Gusti Kanjeng Ratu Hemas dan Abdul Hafidh Ashrom. Meskipun perolehan suara Cholid berhasil mengungguli Hafidh, tetapi masih jauh di bawah perolehan suara GKR Hemas. Permaisuri Gubernur DIY yang banyak berkiprah di bidang sosial kemasyarakatan tersebut meraih mayoritas suara, mencapai 52,61 persen dari seluruh suara pemilih DIY untuk DPD.

Terlepas dari bongkar pasang legislator dan DPD dari DIY, para wakil rakyat tersebut memikul amanat penting masyarakat Yogyakarta. ”Kawulo” Ngayogyakarta menanti kiprah mereka dalam mewujudkan Undang-Undang Keistimewaan DIY selekasnya, satu soal yang ”diwariskan” para wakil dalam periode sebelumnya.

(NURUL FATCHIATI/Litbang Kompas)

Selasa, 23 Juni 2009

Jawa Timur

Tembok Pembatas Mulai Terbelah

IGNATIUS KRISTANTO

Kultur politik masyarakat Jawa Timur tergolong unik. Selama bertahun-tahun, warganya terbelah menjadi dua dalam pilihan politiknya. Di sebelah barat lebih condong ke partai nasionalis, sedangkan di sebelah timur lebih dekat dengan partai Islam tradisional. Akan tetapi, kini tembok pembatas dua dunia itu terbelah. Warna-warni politik mulai merambah provinsi ini. 

Munculnya partai-partai baru, seperti Partai Demokrat, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), dan Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) telah berhasil merebut simpati masyarakat Jatim. Proses itu juga diikuti oleh menurunnya citra partai-partai lama, seperti Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), di mata masyarakat. Proses inilah yang pada Pemilu 2009 membuat Jatim berubah.

Wilayah politik Jatim kini tidak terbelah dua lagi. Wilayah Barat atau Mataraman yang dulunya selalu dikuasai PDI-P kini juga terbagi-bagi oleh Demokrat, Golkar, dan PAN. Adapun di wilayah timur atau Pandalungan yang dulu selalu dimenangi PKB kini partai-partai nasionalis, seperti Demokrat dan PDI-P, pun bisa menguasai salah satu kabupaten atau kota.

Tokoh terkenal

Dalam ajang kontestasi politik, Jatim merupakan wilayah panas. Selain karena jumlah pemilihnya terbanyak di antara provinsi lainnya. Untuk itulah, semua partai mengerahkan energinya agar mampu mendulang suara sebanyak-banyaknya di sana.

Perhatian partai-partai yang begitu besar di Jatim dibuktikan dengan setidaknya mengirim para kadernya yang tidak sembarangan, baik dari pengalaman panjang politiknya maupun dari sisi popularitas. Tak heran jika para calon legislatif yang tampil di daftar pemilihan kemarin dipenuhi oleh ”orang-orang top” dari partai. Nama-nama yang muncul pun banyak dari kalangan pimpinan pusat partai, pimpinan organisasi keagamaan, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan artis-artis terkenal.

Merekalah yang akhirnya mampu menuai suara banyak dan lolos. Dari Partai Demokrat di antaranya adalah pengurus pusat Anas Urbaningrum, Edhie Baskoro Yudhoyono anak dari Presiden Yudhoyono, Samiadji Massaid (Aji Massaid) yang juga anggota DPR, serta artis Venna Melinda. Bahkan, Edhie Baskoro mampu meraih suara terbanyak dengan meraih simpati 327.097 orang untuk memilihnya. Lalu dari petinggi PDI-P, misalnya, nama yang lolos adalah Sekjen PDI-P Pramono Anung, Topane Gayus Lumbuun, Guruh Irianto Sukarno Putra, Heri Akhmadi, dan Theodorus Jakoeb Koekerits.

Demikian pula dari Partai Golkar, tokoh-tokohnya tak asing karena dari 10 yang lolos, 6 dari anggota DPR, di antaranya adalah Priyo Budhi Santoso, Hardhisoesilo, dan Taufiq Hidayat. Lalu dari PKB di antaranya adalah Ketua Umumnya Muhaimin Iskandar, Effendy Choirie, dan Ida Fauziah. Nama-nama tokoh populer itulah yang nantinya bakal mewarnai Gedung Senayan, Jakarta.

(IGNATIUS KRISTANTO, Litbang Kompas)

Jawa Tengah

Benteng Pertahanan untuk Banteng


YOHAN WAHYU

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan berhasil melalui ujian politiknya pada Pemilu 2009 di Jawa Tengah dengan baik. Hal ini terekam dari kesuksesannya mempertahankan kemenangan di provinsi yang selama ini menjadi basis politiknya itu. 

Kemenangan di Jateng merupakan rekor ketiga bagi PDI-P. Meskipun demikian, sukses partai ini mempertahankan kemenangan di sini tidak diikuti dengan lonjakan suara. Walau dalam pilkada sebelumnya posisi gubernur dan wakilnya berhasil diraih oleh PDI-P, tetapi pencapaian suara dan penguasaan wilayah PDI-P dalam Pemilu 2009 cenderung turun. Di pemilu 1999, PDI-P mendulang 42,83 persen suara dengan menguasai 33 dari 35 kabupaten/kota di Jateng. Lalu, pada Pemilu 2004 partai pimpinan Megawati Soekarnoputri ini meraup 29,75 persen suara dengan menguasai 24 kabupaten/kota. Tahun ini, suara PDI-P tercatat 21,95 persen dan hanya menguasai 22 kabupaten/kota.

Dalam Pemilu 2009 ini, Partai Golkar dan Partai Demokrat menjadi partai yang ”mencuri” wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai PDI-P. Hasil Pemilu 2009 mencatat Partai Demokrat berhasil menyodok di peringkat kedua setelah PDI-P dengan 15,96 persen suara dan menguasai enam kabupaten/kota. Dari enam wilayah yang dikuasai, empat di antaranya adalah basis PDI-P pada Pemilu 2004, yakni Kabupaten Semarang, Purworejo, Kendal, dan Kota Magelang. Adapun dua wilayah lainnya yang direbut Partai Demokrat adalah Salatiga yang sebelumnya dikuasai Partai Golkar dan Rembang yang pada Pemilu 2004 menjadi basis PPP.

Setelah Partai Demokrat, Partai Golkar berada di posisi ketiga dengan 12,77 persen suara. Jika pada Pemilu 2004 Golkar hanya menguasai Kabupaten Salatiga dan Temanggung, kali ini Partai Golkar berhasil menguasai empat kabupaten/kota, yakni Kabupaten Kudus, Jepara, Demak, dan Kota Pekalongan, yang sebelumnya dikuasai oleh partai politik bercorak Islam, seperti PKB dan PPP.

Wajah baru

Lebih kurang 70 persen nama anggota legislatif terpilih dari dapil Jateng adalah wajah-wajah baru. PDI-P sendiri meraih jumlah kursi tertinggi yakni 19 kursi, disusul kemudian Partai Demokrat 14 kursi, Partai Golkar 11 kursi, PAN 8 kursi, PKS 7 kursi, PKB 6 kursi, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) 4 kursi, dan Partai Hati Nurani Rakyat 1 kursi.

Dari 77 kursi DPR di dapil Jateng yang diperebutkan pada Pemilu 2009, 21 kursi dikuasai kembali oleh orang-orang yang sebelumnya telah menjadi anggota DPR periode 2004-2009 dari daerah ini. Beberapa nama yang sering menghiasi pemberitaan media sepanjang perhelatan Pemilu 2009 adalah tiga kader PDI-P, yaitu Ganjar Pranowo, Aria Bima, dan Tjahjo Kumolo, serta Lukman Hakim Saifuddin (PPP), dan Tjatur Sapto Edy (PAN). Selain itu, ada juga nama mantan Putri Indonesia Angelina Sondakh yang juga kembali terpilih melalui dapil Jateng VI. Hidayat Nur Wahid (PKS) yang pada Pemilu 2004 masuk Senayan melalui dapil DKI Jakarta II, kali ini lolos dari dapil V Jateng.

Beberapa pendatang baru yang terpilih melalui dapil Jateng adalah Puan Maharani yang dicalonkan PDI-P. Putri dari Megawati ini lolos ke Senayan dengan meraih 242.504 suara atau 129 persen dari angka bilangan pembagi pemilih di dapil Jateng V, tertinggi di Jawa Tengah dan satu-satunya yang perolehan suaranya melampaui BPP di Jateng. Selain Puan, nama-nama pendatang baru lainnya yang juga cukup dikenal publik adalah artis Jamal Mirdad yang lolos melalui Partai Gerindra, grand master catur Indonesia Utut Adianto, dan Budiman Sujatmiko yang sama-sama berangkat dari PDI-P, serta putra mantan Ketua MPR Amien Rais, Ahmad Mumtas Rais, yang maju melalui PAN. Selain itu, nama Siswono Yudo Husodo juga lolos ke Senayan melalui dapil Jateng I.

Jika anggota DPR dari dapil Jateng didominasi oleh laki-laki, empat anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari provinsi ini diisi oleh nama-nama baru yang tiga di antara mereka adalah perempuan. Dari segi usia, anggota DPD baru ini relatif lebih muda usianya dibandingkan anggota periode sebelumnya. Selain itu, juga lebih banyak berlatar belakang profesional. Nama mantan model Poppy Susanti Dharsono masuk menjadi salah satu dari empat anggota DPD dari Jateng. (Litbang Kompas)

Sabtu, 20 Juni 2009

Mengawal Kerja Politik Para Wakil Terpilih

Oleh SYAMSUDDIN HARIS

Diperkirakan, sekitar 70 persen anggota DPR hasil Pemilu Legislatif 9 April 2009 adalah wajah baru. Kecenderungan serupa sangat mungkin terjadi di DPRD provinsi, kabupaten, dan kota di seluruh Indonesia. Mungkinkah kita membayangkan kinerja pemerintahan hasil Pemilu 2009 lebih baik dari sekarang?

Jawabannya, mungkin saja. Apabila kita sepakat bahwa pemilu adalah awal kerja politik lima tahunan setiap polity, baik nasional maupun daerah, maka wajah baru DPR dan DPRD bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan bekerjanya pemerintahan pascapemilu.

Faktor penting lain yang turut menentukan adalah apakah kita sebagai warga negara merasa terlibat dan memiliki pemerintahan hasil pemilu atau tidak.

Itu artinya kerja politik para wakil terpilih di badan-badan legislatif turut ditentukan oleh kepedulian kolektif kita, apa pun bentuknya.

Secara hipotetis dapat dikatakan bahwa semakin tinggi keterlibatan warga negara dalam mengawal kerja politik anggota parlemen, semakin besar pula peluang terciptanya pemerintahan yang partisipatif, transparan, dan akuntabel. Begitu pula sebaliknya.

Kosong melompong

Sudah menjadi rahasia umum bahwa para elite politik cenderung berlaku baik menjelang dan di sekitar pemilu.

Mereka yang sebelumnya ”berjarak” dengan publik tiba-tiba menjadi begitu familier dengan masyarakat. Melalui penampilan lebih santun dan senyum sumringah yang tak pernah lepas dari bibir, mereka bahkan sering tampil sebagai ”sinterklas” yang membagi-bagikan berbagai hadiah, mulai dari uang tunai, semen, hingga pasir untuk perbaikan masjid dan sembako untuk warga miskin.

Namun, tatkala pemilu usai dan kursi-kursi empuk parlemen telah berada di tangan, para wakil rakyat kembali menjadi ”makhluk asing” yang acapkali tak begitu peduli dengan nasib rakyat selaku pemberi mandat.

Potret perilaku para anggota parlemen pun jauh dari harapan. Ruang sidang yang kosong melompong menjadi pemandangan sehari-hari rapat DPR di Senayan, Jakarta. Kamera televisi dan media cetak bahkan sering kali memergoki sebagian anggota Dewan yang lebih memilih membaca koran, mengirim dan menerima pesan pendek, ber-facebook-ria, atau bahkan tidur ketimbang mengikuti secara serius jalannya persidangan.

Kantor-kantor partai yang sangat ramai dan meriah menjelang pemilu seketika juga kosong melompong begitu pemilu usai. Ironisnya, secara fisik, gedung-gedung parlemen cenderung didesain berjarak dengan rakyat.

Perhatikanlah, misalnya, Gedung DPR Senayan yang dibentengi pagar kokoh setinggi empat meter. Tidak begitu jelas bagi kita, apakah pagar tinggi tersebut dibangun untuk menghindari anarki para pengunjuk rasa atau sengaja didesain supaya rakyat tidak bisa menyentuh dan menyambangi para wakilnya.

Mendidik para wakil

Dalam situasi demikian, tidak ada pilihan lain bagi kita, berbagai elemen civil society, kecuali terlibat dan melibatkan diri secara intens dalam mengawal kerja politik parlemen.

Artinya, bangsa ini bagaimana pun harus ”mendidik” para wakil terpilih agar lebih bertanggung jawab melaksanakan mandat sebagai wakil rakyat. Terlalu besar ongkos politik yang harus ditanggung bangsa ini apabila demokrasi yang direbut dengan darah para aktivis hanya berhenti sebagai pesta pemilihan umum belaka.

Sangat jelas bahwa masa depan demokrasi dan negeri ini tidak semata-mata terletak di tangan para politisi partai, kaum birokrat di pemerintahan, dan para wakil terpilih di parlemen.

Bahkan, mungkin terlalu berisiko bagi kita apabila membiarkan nasib bangsa ini hanya diserahkan kepada mereka yang miskin ide dan imajinasi serta tidak kreatif dalam mengelola perubahan, tetapi sarat dengan kepentingan pribadi serta kelompok.

Pengalaman 10 tahun terakhir memperlihatkan bahwa masa lima tahun di antara dua pemilu cenderung disalahgunakan sebagian wakil terpilih sebagai ”panen raya” dalam arti yang sebenar-benarnya.

Betapa tidak, berbagai usulan atau perubahan kebijakan di parlemen, begitu pula seleksi pejabat publik yang menjadi otoritas DPR, justru menjadi ladang suap dan korupsi yang memalukan kita semua.

Kasus pengalihan status hutan lindung di sejumlah daerah, perubahan undang-undang tentang Bank Indonesia, proses seleksi Deputi Gubernur Senior BI, adalah beberapa contoh saja di antaranya.

Penumpang gelap

Komitmen berbagai elemen civil society dalam mengawal demokrasi dan masa depan negeri ini jelas tidak perlu diragukan. Transisi politik dari rezim otoriter Soeharto ke sistem demokrasi pada 1998-1999 bahkan tidak mungkin dijelaskan tanpa peran dan keterlibatan kalangan LSM, mahasiswa, pers, dan akademisi di dalamnya.

Dengan dukungan massa rakyat, elemen civil society tidak hanya menyuarakan suksesi dan demokrasi, melainkan juga skema ”reformasi total” yang lebih radikal ketimbang yang pernah dipikirkan para elite politik penumpang gelap reformasi.

Oleh karena itu, kerja politik mengawal para wakil terpilih pada khususnya dan demokrasi pada umumnya tidak boleh berhenti bersamaan dengan usainya pesta pemilu. Sebaliknya, kerja politik demikian justru baru akan dimulai kembali saat mereka dilantik dan diambil sumpahnya sebagai wakil rakyat.

Dalam kaitan ini, kerja sama dan konsolidasi segenap elemen civil society diperlukan agar kerja politik mengawal para wakil terpilih berujung pada terbentuknya pemerintahan yang bersih, adil, dan menyejahterakan rakyat.

Kalau tidak, barangkali hampir tak ada yang diperoleh bangsa ini dari pemilu ke pemilu kecuali pesta lima tahunan para elite politik di satu pihak dan derita rakyat yang tak kunjung berakhir di pihak lain.

Nusa Tenggara Barat

Babak Baru Penguasaan Politik

Oleh Ratna Sri Widyastuti

Sejalan dengan runtuhnya pamor politik partai-partai lama di Nusa Tenggara Barat, penguasaan kaum ulama dan bangsawan pun meredup dalam ajang kontestasi politik nasional. Di mana mereka kini berkiprah?

Persaingan dalam perebutan posisi kepemimpinan politik antara dua kelompok berpengaruh, kaum ulama dan bangsawan, seakan telah mentradisi di Nusa Tenggara Barat (NTB). Dalam berbagai ajang kontestasi politik nasional pun dinamika politik semacam ini telah terlihat, bahkan semenjak Pemilu 1955 digelar.

Di Lombok, salah satu pulau besar di NTB yang memiliki jumlah penduduk terpadat, kiprah ulama karismatis, seperti Tuan Guru Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, sangat menonjol dalam perpolitikan. Saat Pemilu 1955 berlangsung, dia telah terlibat dalam pemenangan Masyumi di NTB. Begitu pun dalam periode selanjutnya, dengan berbaju politik Golkar, Tuan Guru berperan dalam kesuksesan beringin di wilayah yang amat kental dengan ciri keislaman ini. Setelah dia wafat di akhir tahun 1997, para keturunan dan pengikutnya tetap mewarisi kiprah Tuan Guru dalam perpolitikan.

Di pulau lainnya, Sumbawa, tradisi kepemimpinan kalangan aristokrat setempat lebih kental pengaruhnya. Para sultan, kaum bangsawan, yang biasanya berkiprah di jalur birokrat pemerintahan, kerap menguasai berbagai ajang kontestasi politik. Penguasaan politik para aktor politik lokal ini menjadi semakin masif lantaran kekuatan penetrasi dan jaringan partai politik nasional di NTB, seperti Golkar ataupun partai-partai Islam PPP dan PBB. Dalam hal ini, langkah Golkar, PPP, dan PBB berhasil mengakomodasikan kekuatan kaum ulama dan kaum bangsawan dalam berbagai ajang penguasaan politik meskipun akhirnya Golkar yang tercatat kerap kali memenangi pemilu di NTB.

Anggota DPR

Hasil Pemilu Legislatif 2009 bisa dikatakan membawa nuansa perubahan dalam peta penguasaan politik di NTB. Setidaknya, apa yang terjadi dalam Pemilu Legislatif 2009 telah melahirkan kecenderungan semakin meluruhnya dominasi kalangan ulama dan bangsawan dalam perebutan kursi legislatif tingkat nasional. Di sisi lain, meredupnya kiprah penguasaan kalangan penguasa ”tradisional” ini sejalan pula dengan runtuhnya dominasi partai-partai lama yang selama ini mengakomodasikan berbagai sepak terjang mereka.

Apakah gambaran demikian mencerminkan meluruhnya peran politik baik ulama maupun bangsawan di NTB masih harus lebih dicermati. Namun, penelusuran terhadap berbagai kiprah mereka dalam ajang pemilu lalu memang menunjukkan minimnya keberadaan dua kalangan ini dalam pentas politik di tingkat DPR. Ambil contoh ajang Pemilu Legislatif 2009 yang memunculkan 10 sosok anggota DPR mewakili NTB.

Dari seluruh wakil rakyat NTB, enam di antaranya tergolong sosok lama yang pernah berkiprah sebagai anggota legislatif, baik di tingkat nasional maupun provinsi pada masa sebelumnya.

Menariknya, dari keseluruhan sosok yang muncul, tidak tampak menonjol sosok yang dikenal sebagai kalangan berpengaruh secara sosial di NTB. Gelar-gelar kebangsawanan dan ulama tidak tampak menghiasi nama-nama para wakil rakyat. Gelar kebangsawanan berupa sebutan Lalu atau HL (Haji Lalu), sedangkan gelar ulama biasanya berupa sebutan Tuan Guru atau TGH (Tuan Guru Haji).

Namun, dalam perebutan kursi DPD, kaum bangsawan NTB masih tampak dominan. Setidaknya, dari empat anggota DPD yang terpilih, tiga nama tergolong kaum bangsawan NTB. Perolehan suara terbanyak dalam perebutan kursi DPD ini diduduki oleh Farouk Muhammad, sosok kelahiran Bima yang meretas karier di dunia kepolisian dan dikenal pula sebagai mantan gubernur PTIK.

Demikian juga pada ajang kontestasi politik di tingkat lokal, keberadaan kaum ulama dan bangsawan NTB masih terlihat eksistensinya. Dalam perebutan kursi 55 kursi DPRD provinsi, terdapat 7 nama anggota legislatif yang mencerminkan kedudukan sebagai bangsawan ataupun tokoh ulama setempat. Tumpuan politik kedua kaum berpengaruh tersebut sebagian besar masih mengandalkan basis massa tradisional, yaitu pada konstituen Partai Golkar dan partai-partai bercorak keislaman, seperti PPP, PBB, maupun PBR.

Perubahan politik

Semakin tergesernya penguasaan politik kaum berpengaruh ke tingkat politik lokal ini tampaknya sejalan dengan terjadinya perubahan konfigurasi penguasaan politik NTB. Dalam hal ini, pamor partai-partai tradisional, baik bercorak nasionalis maupun keagamaan, mulai meredup. Penurunan suara Golkar di NTB, misalnya, menjadi pangkal penyebab meluruhnya eksistensi kaum berpengaruh di wilayah ini. Dengan perolehan total hanya 14,8 persen, pada Pemilu 2009 ini, Golkar tak bisa lagi disebut sebagai penguasa politik di wilayah NTB.

Hasil perolehan suara untuk pemilihan anggota legislatif tingkat pusat (DPR) menunjukkan bahwa Partai Demokrat telah memenangi perolehan suara di seluruh Pulau Lombok dan dua wilayah di Pulau Sumbawa: Kabupaten Sumbawa, dan Kabupaten Dompu. Golkar hanya mampu mempertahankan kemenangan di dua wilayah Sumbawa, yakni Kabupaten Bima dan Kota Bima. Naiknya perolehan suara Demokrat termasuk fenomenal karena pada Pemilu 2004 tidak ada satu pun wilayah kabupaten atau kota di NTB yang dimenangkan partai ini.

Partai-partai bercorak keislaman, seperti PBB dan PPP yang membayangi ketat Golkar dalam pemilu 2004, juga mengalami penurunan pamor. Padahal, partai-partai agama ini beberapa tahun lalu mampu menorehkan kemenangan di ajang pemilihan kepala daerah. Enam dari sembilan kepala daerah baru merupakan calon dari partai-partai hijau yang saling berkoalisi ataupun bergabung dengan partai nasionalis lain. Demikian juga pasangan gubernur dan wakil gubernur terpilih di tahun 2008 yang merupakan calon dari koalisi PBB dan PKS. (RATNA SRI WIDYASTUTI/Litbang Kompas)

Bali

Memudarnya Loyalitas Politik


Oleh Yuliana Rini

Sekalipun PDI Perjuangan tetap menguasai ajang perebutan suara pemilih di Bali, indikasi memudarnya dukungan terhadap partai ini mulai terasakan.

Hasil Pemilu Legislatif 2009 memang tetap mengukuhkan dominasi PDI Perjuangan (PDI-P) di Bali. Pada ajang kontestasi politik kali ini, PDI-P menguasai 40,1 persen suara. Namun, jika dibandingkan dengan perolehan partai ini pada beberapa pemilu sebelumnya, perolehan suara kali ini tergolong menurun. Bahkan, jika dirunut hingga penyelenggaraan pertama kalinya pemilu di negeri ini (Pemilu 1955), penguasaan suara kalangan nasionalis kali ini tergolong yang terendah.

Dukungan menyusut

Saat era pemilu demokratis 1955 digelar, Bali secara administratif masih bergabung dengan Provinsi Nusa Tenggara atau Sunda Kecil. Dari 19 partai politik dan golongan fungsional yang bersaing, PNI yang menjadi embrio dari PDI-P mampu meraih suara terbanyak. Partai berlambang banteng ini mampu meraih simpati separuh lebih suara pemilih Bali.

Pemilu demokratis kedua, di tahun 1999, kembali partai bercorak nasionalis ini berjaya. Di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, pemilih Bali yang dikenal sangat loyal terhadap Soekarno, presiden pertama RI, mencoblos PDI-P secara mayoritas (79 persen) dan menyapu seluruh wilayah administratif pemerintahan daerah.

Kondisi demikian tetap bertahan pada Pemilu 2004, sekaligus juga menjadikan Bali sebagai salah satu dari teramat sedikit provinsi yang di seluruh kabupaten dan kotanya menjadi kantong suara partai politik secara loyal, dapat bertahan dari gempuran partai politik pesaing. Meski demikian, sebenarnya pencapaian suara PDI-P tersebut dari sisi total suara mulai menunjukkan penurunan. Saat itu, 52,5 persen suara yang berhasil diraup partai ini.

Demikian pula, indikasi memudarnya loyalitas massa terhadap partai ini mulai terasakan dalam berbagai ajang kontestasi politik lokal yang memperebutkan kursi kepala daerah. Tidak semua calon yang diusung oleh PDI-P di ajang pilkada sembilan kabupaten dan kota berhasil dimenangkan. Kabupaten Badung, misalnya, pasangan A Gede Agung dan I Ketut Sudikerta yang diusung oleh Partai Golkar dan koalisinya berhasil mengalahkan calon dari PDI-P. Demikian juga di Kabupaten Karangasem dan Gianyar, Golkar berhasil mengusung calonnya menduduki tampuk pemerintahan tertinggi di kabupaten.

Hilangnya penguasaan beberapa kursi kepala pemerintahan daerah kabupaten inilah yang terus berlanjut hingga Pemilu 2009. Jika sebelumnya setiap kabupaten dan kota berhasil di-”merah”-kan, kali ini Kabupaten Jembrana berhasil dikuasai Partai Demokrat. Selain itu, kabupaten Karangasem berhasil dikuasai Golkar. Menariknya, dengan penguasaan Kabupaten Karangasem, Golkar menjadikan wilayah tersebut dalam penguasaannya secara mutlak, yaitu sebagai pemenang pilkada kabupaten sekaligus juga suara bagi pemilu legislatif tingkat nasional. Suatu pencapaian yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah pemilu di Bali yang selama ini selalu dikuasai PDI-P.

Lama dan baru

Menyusutnya perolehan PDI-P dan munculnya Demokrat serta Golkar sebagai pemenang baru di sebagian (dua) kabupaten di Bali ini memunculkan kenyataan baru bahwa faktor homogenitas Bali dan betapa kuatnya sisi emosional penduduk akan trah Soekarno bisa saja tidak bertahan selamanya. Perubahan di Bali seakan tidak terelakkan.

Namun, sisi menarik lain adalah munculnya kekuatan politik baru sebagai penanding di provinsi ini tidak serta-merta pula dapat dikatakan mencerminkan adanya perubahan. Kenyataan demikian setidaknya terlihat dari sosok caleg yang diusung partai-partai mewakili Bali. Sebagaimana penetapan KPU, hasil Pemilu 2009 Bali memiliki sembilan kursi DPR. Golkar dan Demokrat masing-masing mendapat jatah dua kursi, sedangkan Partai Gerindra satu kursi. PDI-P meraih kursi terbanyak, empat kursi DPR.

Sosok yang tampak dari keseluruhan anggota DPR terpilih tersebut merupakan mereka yang sebagian besar merupakan anggota legislatif periode sebelumnya. Tidak hanya itu, dari sisi usia, anggota legislatif rata-rata berusia tua, di atas 50 tahun. Golkar sendiri diwakili oleh I Gusti Ketut Adhiputra yang sebelumnya Wakil Ketua DPRD Provinsi Bali. Selain itu, nama Gde Sumarjaya Linggih tercatat untuk kedua kalinya terpilih menjadi anggota DPR mewakili Bali lewat Partai Golkar. Wakil dari Demokrat pun demikian. Jero Wacik, misalnya, saat ini menjabat Menteri Kebudayaan dan Pariwisata di pemerintahan SBY-JK. Selain Jero Wacik, terdapat nama I Wayan Sugiana, dosen yang juga merupakan anggota DPR periode 2004-2009.

Wajah-wajah lama dalam bangku legislatif ini semakin dominan jika digabung dengan sosok wakil rakyat dari PDI-P. Tiga dari empat wakil dari PDI-P termasuk sosok lama yang berhasil memperpanjang masa tugasnya, yaitu I Gusti Rai Wirajaya, I Made Urip, dan Wayan Koster.

Bagi Wayan Koster, yang mengawali kariernya pada tahun 1988 sebagai peneliti di Balitbang Depdiknas dan dosen Universitas Tarumanegara, jabatan legislator ini merupakan periode kedua, demikian juga I Gusti Rai Wirajaya. Sementara bagi I Made Urip merupakan periode ketiga. I Nyoman Dhamantra, Ketua Kadin Pusat Komite Indonesia-Polandia, merupakan satu-satunya legislator dari PDI-P yang baru dalam periode 2009-2014.

Berbeda dengan anggota DPR yang sebagian besar merupakan wajah lama dengan posisi yang sudah mapan, anggota DPD dari Bali sebagian besar merupakan wajah baru dengan latar belakang pekerjaan yang bervariasi. Hanya satu orang, I Wayan Sudirta, yang untuk kedua kalinya menjabat sebagai anggota DPD. Tiga anggota DPD yang lain merupakan wajah baru, yaitu I GN Kesuma Kelakan, I Nengah Wiratha, dan I Kadek Arimbawa. I Kadek Arimbawa alias Lolak merupakan anggota DPD paling muda berusia 32 tahun. Lulusan STM Negeri Singaraja ini mempunyai latar belakang seniman yang tergabung dalam Paguyuban Lawak Bali.(Yuliana Rini/Litbang Kompas)

Kamis, 18 Juni 2009

Fenomena Kemenangan Partai Demokrat

TEMPO Interaktif, Jakarta: Partai Demokrat kembali menjadi hal yang fenomenal dalam Pemilu 2009 ini sebagai satu-satunya partai politik era reformasi yang mampu menjadi parpol besar dengan peningkatan jumlah suara sekitar 300 persen dibanding Pemilu 2004. Lima tahun yang lalu partai ini juga sempat menjadi sorotan banyak pihak ketika membuat shocked pasar politik saat itu. Kejutannya karena, sebagai parpol yang baru muncul, bisa langsung masuk kelompok parpol level menengah, bahkan kemudian berhasil menjadikan calon presiden yang diusungnya menang dalam pemilihan presiden 2004. 

Ada satu hal yang tidak berbeda ketika kita berbicara tentang keberhasilan Partai Demokrat pada Pemilu 2009 dibandingkan dengan Pemilu 2004, yakni bicara tentang tokoh utamanya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sosok SBY adalah faktor pertama dan utama kemenangan Partai Demokrat pada pemilu sekarang. Partai Demokrat identik dengan SBY. Sulit untuk memberikan penjelasan tentang kemenangan Demokrat kalau kita mengabaikan variabel utama ini.

Lalu, mengapa figur SBY ini kembali menjadi faktor penentu kemenangan Partai Demokrat? Secara singkat, kita dapat mengatakan bahwa SBY adalah jualan utama Partai Demokrat dalam pasar politik, khususnya berkaitan dengan kinerjanya sebagai incumbent. Partai Demokrat sejak Juli 2008 sampai minggu tenang secara gencar dan massif beriklan di berbagai media tentang kinerja kabinet yang dipimpin oleh ketua dewan pembinanya tersebut. Dengan jangkauan media TV saja yang mencapai sekitar 80 persen pemilih atau sekitar 110 juta orang di seluruh Indonesia--belum lagi iklan di media-media lainnya--tidak mengherankan kalau serangan udara yang dilakukan oleh Partai Demokrat efektif memenangi pertempuran. Tetapi benarkah hanya karena faktor iklan yang berdurasi panjang dan massif tentang kinerja dan prestasi SBY tersebut yang menentukan keberhasilan Partai Demokrat dalam Pemilu 2009? 

Tentu saja tidak. Menurut hemat saya, persepsi positif pemilih terhadap Partai Demokrat/SBY diakselerasi oleh setidaknya dua hal berikut. Pertama, tidak hadirnya oposisi yang prima terhadap pemerintah SBY. Oposisi utama terhadap SBY relatif hanya dari PDI Perjuangan sebagai oposisi di DPR, serta dari Partai Hanura dan Gerindra dari kalangan parpol baru. Tetapi, bagi masyarakat, kritik dari parpol telah dipersepsikan sebagai tidak obyektif dan bertujuan semata-mata untuk menjatuhkan.

Bandingkan ketika Gus Dur dan Megawati berkuasa, oposan terhadap mereka bukan hanya datang dari parpol di DPR, tapi juga dari masyarakat madani, bahkan aksi parlemen jalanan yang dilakukan oleh kalangan mahasiswa yang terjadi secara berkelanjutan (sampai menjelang Pemilu 2004) dan cukup massif. Kegagalan partai oposisi mengikutsertakan komponen masyarakat madani untuk bersama-sama bersikap kritis terhadap pemerintah secara berkelanjutan menyebabkan tidak ada counter dan dialektika yang proporsional terhadap klaim-klaim keberhasilan SBY oleh Partai Demokrat, yang memudahkan iklan-iklan Partai Demokrat berpenetrasi dengan mudah dalam benak publik.

Kedua, logika komparasi pemilih. Istilah ini saya simpulkan dari komentar penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) pada dua tempat yang berbeda, yakni Palembang dan Bogor. Sangat menarik mengetahui mereka bisa sampai pada titik kesimpulan yang hampir sama. Mereka melakukan komparasi kondisi kehidupan ekonomi mereka pada periode SBY dengan periode pemerintahan sebelumnya (di era reformasi tentunya). Dalam masalah kehidupan ekonomi, sebenarnya tidak jauh berbeda, yakni sama-sama sulit mendapatkan pekerjaan. Tetapi di era SBY mereka bisa mendapatkan BLT, sesuatu yang tidak mereka dapatkan pada pemerintahan sebelumnya. Dan ada semacam ketakutan bahwa akses mereka terhadap BLT akan hilang jika kepemimpinan nasional berpindah ke tangan oposisi. Maklum, Megawati dan Prabowo mengkritik program ini dan orang-orang yang menerimanya. 

Sebagaimana diketahui, menurut laporan lembaga-lembaga survei, ada sekitar 60 persen pemilih yang tidak loyal. Bagi pemilih yang tidak loyal ini, pilihan mereka salah satunya ditentukan oleh logika komparasi. Dan tampaknya, dengan menggunakan prinsip logika komparasi ini, bukan hanya masyarakat kecil seperti penerima BLT, bahkan masyarakat perkotaan-metropolitan dan terdidik pun memiliki persepsi bahwa kondisi di bawah pemerintah SBY/Partai Demokrat lebih baik dibanding pemerintah sebelumnya. Penentuan pilihan kepada Demokrat/SBY ini karena proses komparasi diniscayakan oleh, pertama, kegagalan parpol dan tokoh-tokoh kepemimpinan alternatif untuk memberikan harapan baru bagi pemilih. Kedua, kekecewaan terhadap kinerja elite dan pejabat publik yang berasal dari parpol pilihan mereka tahun 2004. Logika komparasi inilah yang menyebabkan Partai Demokrat mendapatkan eksternalitas positif terbesar dari swing voter.

Tetapi yang perlu kita ingatkan kepada pemenang pemilu legislatif ini adalah bahwa kemenangan Partai Demokrat adalah kemenangan political marketing. Political marketing itu menyebabkan mereka berhasil membentuk citra yang baik dibanding para kompetitornya. Tetapi citra tanpa jati diri yang kongruen akan sulit mempertahankan kemenangan dalam jangka waktu panjang. Membangun jati diri, yakni dengan jalan menjadikan dirinya sebagai partai politik dengan sistem organisasi yang prima yang didukung oleh kader di struktur partai dan di lembaga-lembaga negara yang kompeten, kredibel, dan berkenegarawanan, diiringi dengan kebernasan strategi political marketing, akan meniscayakan keberlanjutan kemenangan tersebut pada masa-masa mendatang. *

Dr Andi Irawan, dosen Universitas Bengkulu dan STEI Tazkia

Rabu, 17 Juni 2009

Sulawesi Selatan


Musim Rontok di Kubu Beringin

GIANIE

Potret merosotnya perolehan suara Partai Golkar di tingkat nasional secara lebih nyata bisa dilihat dari wilayah Sulawesi Selatan. Sekalipun secara keseluruhan provinsi Golkar unggul, hasil pemilu legislatif lalu menjadi lampu kuning bagi masa depan dominasi partai ini.

Perkiraan suara Golkar di Sulawesi Selatan yang terus menurun terbukti. Bermula pada Pemilu 1999, di mana Golkar mampu mempertahankan 66,5 persen suaranya di tengah terjangan reformasi. Lima tahun kemudian berkurang sepertiganya menjadi 44,3 persen pada Pemilu 2004. Pemilu 2009, beringin yang kokoh itu terpangkas hampir separuhnya menjadi tinggal 25,1 persen.

Jika pada Pemilu 2004 Golkar masih menjadi pemenang di 23 kabupaten/kota di Sulsel, pada pemilu kali ini lima kabupaten/kota lepas direbut partai lain. Tidak tanggung-tanggung, lima wilayah yang terebut tergolong sangat strategis bagi partai ini. Selain itu, kelima wilayah tersebut menjadi basis pendukung setia Golkar selama ini. Kota Makassar, misalnya, kini dikuasai oleh Partai Demokrat.

Begitupun wilayah sebelah utara Sulsel, seperti Palopo, Kabupaten Luwu, dan Luwu Utara, yang juga dikuasai Partai Demokrat. Melengkapi deretan wilayah utara yang terkalahkan, Kabupaten Tana Toraja kini dikuasai Partai Damai Sejahtera (PDS). Di lima daerah itu Golkar hanya menempati urutan kedua.

Dinamika partai

Tergerogotinya suara Golkar ini seakan menjadi puncak dari rentetan kekalahan demi kekalahan yang diderita Golkar dalam ajang pemilihan kepala daerah di Sulsel. Gubernur terpilih Sulsel periode 2007-2012, misalnya, bukan diusung oleh Partai Golkar. Demikian juga fakta menunjukkan, dari 23 kabupaten/kota yang melaksanakan pilkada, pasangan kepala daerah yang diusung oleh Golkar hanya menang di 13 kabupaten/kota, 10 wilayah diantaranya dimenangi secara berkoalisi dan hanya 3 daerah yang dimenangi tanpa berkoalisi.

Jika pengaruh Golkar kini mulai terkikis, sebaliknya yang terjadi pada partai-partai lain, khususnya Demokrat. Perolehan suara Demokrat di Sulsel secara keseluruhan meningkat lima kali lipat dari 3 persen pada Pemilu 2004 menjadi 15,7 persen pada pemilu kali ini. Menarik pula dicermati kiprah PDS yang berhasil meminggirkan Golkar di Tana Toraja.

Selain kisah sukses Demokrat dan PDS dalam penguasaan wilayah Golkar, persaingan partai-partai lapis menengah pun sedemikian ketat. PAN dan PKS di Bumi Angin Mamiri ini bersaing sangat ketat dengan keunggulan PAN yang sangat tipis, hanya berselisih 250 suara. Kedua partai ini memang sama-sama tidak berhasil menguasai satu pun kabupaten/kota di Sulsel. Namun, dari sisi proporsi suara, kedua partai ini mampu mengumpulkan suara hingga 7,9 persen. Hanya, jika dilihat dari peningkatan suara yang diraih dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, peningkatan suara PAN saat ini jauh lebih baik dibandingkan dengan proporsi suara yang berhasil dicapai PKS.

Di sisi lain, kemunculan Hanura dan Gerindra juga tergolong signifikan dalam mengubah konfigurasi penguasaan suara partai di Sulsel. Hanura mampu memperoleh 4,7 persen suara, sementara Gerindra (3,5 persen).

Sosok legislatif

Merosotnya pengaruh Golkar dengan sendirinya menciutkan jumlah anggota DPR terpilih partai ini di tiga daerah pemilihan Sulsel. Dari 24 kursi yang dimiliki Sulsel (berkurang dua kursi dibandingkan Pemilu 2004 akibat pemisahan dan terbentuknya Provinsi Sulawesi Barat), Golkar hanya meloloskan 9 calon anggota DPR (37,5 persen). Adapun Partai Demokrat berhasil menempatkan enam orang (25 persen) wakilnya di DPR. Padahal, pada Pemilu 2004 Golkar meloloskan 12 wakilnya dan dari Partai Demokrat hanya satu orang.

Selain Partai Golkar dan Demokrat, partai lain yang meloloskan wakilnya ke Senayan adalah PAN dan PKS dengan masing-masing 3 orang, Partai Hanura 2 orang, serta Partai Persatuan Pembangunan 1 orang. Di sisi lain, PDI-P, Partai Bulan Bintang, Partai Bintang Reformasi, dan Partai Demokrasi Kebangsaan pada pemilu kali ini tidak mampu meneruskan tradisi mengirimkan wakilnya dari Sulsel ke Senayan. Demikian pula PDS. Sekalipun berhasil menguasai satu kabupaten, perolehan suara partai ini secara nasional masih di bawah batas parliamentary threshold sehingga tidak ada satu pun wakil partai ini.

Dari 24 anggota DPR terpilih asal Sulsel tersebut, sebanyak tujuh orang merupakan wajah lama yang sudah berkantor di Senayan sebagai anggota DPR periode 2004-2009. Dua sosok lainnya juga berpengalaman di legislatif, tetapi terpusat di tingkat provinsi. Bagian terbesar merupakan wajah baru yang berprofesi di sektor swasta, wiraswasta, ataupun para pensiunan. Berbeda dengan anggota DPD, dua dari empat yang terpilih merupakan wajah lama yang sebelumnya juga duduk di kursi DPD.

Dibandingkan dengan anggota DPR periode sebelumnya, beberapa perubahan terjadi. Dari segi pendidikan, misalnya, terlihat peningkatan kualitas para anggota terpilih. Jumlah yang berpendidikan sarjana S-1 meningkat menjadi 50 persen. Mereka yang berpendidikan hingga pascasarjana, baik tingkat master maupun doktor, sebanyak 46 persen. Komposisi ini berubah dibandingkan hasil Pemilu 2004, di mana sarjana S-1 dan pascasarjana berimbang, masing-masing 38,5 persen.

Dari segi jenis kelamin, anggota legislatif terpilih Sulsel amat berbeda dengan fenomena nasional. Jika ditingkat nasional terjadi peningkatan proporsi anggota legislatif terpilih perempuan, di Sulsel justru terjadi penurunan. Saat ini hanya ada tiga perempuan Sulsel yang melalui sistem suara terbanyak yang berhasil lolos. Padahal, periode sebelumnya mencapai lima orang.

Sisi lain yang menarik, dari daftar anggota terpilih, sejumlah nama masih terkait dengan nama besar tokoh-tokoh dari Sulsel, sebut saja Indira Chunda Thita Syahrul yang merupakan putri dari Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo. Juga ada Halim Kalla dari Golkar yang merupakan adik dari Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Emil Abeng juga dari Golkar, anak Tanri Abeng, mantan Menteri Negara BUMN periode 1998-1999. Di bangku DPD terdapat pula nama Aksa Mahmud, yang tidak lain adik ipar Jusuf Kalla.

Nama-nama tokoh Sulsel yang sudah tidak asing di tingkat nasional yang terpilih untuk kedua kalinya adalah Anis Matta, Tamsil Linrung, dan Andi Rahmat (ketiganya PKS), Malkan Amin, Syamsul Bachri, dan Idrus Marham (Golkar), serta Amran (PAN).

(Gianie/Litbang Kompas)

Maluku Utara


Dalam Kekuasaan Perempuan dan Penguasa Tradisional

Krishna P Panolih

Hasil Pemilu 2009 membuktikan di Maluku Utara eksistensi perempuan dan kekuatan politik tradisional lama masih menonjol.

Tampilnya Sultan Ternate Mudaffar Sjah sebagai salah seorang dari empat anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terpilih dan istrinya, Bokiratu Nitabudhi Susanti, sebagai salah satu dari tiga anggota legislatif terpilih membuktikan masih kuatnya pengaruh politik kaum aristokrat di Maluku Utara (Malut). Kemenangan kedua sosok ini dalam panggung politik seakan menggenapi sejarah kejayaan masa lalu Moloku Kie Raha, kawasan empat kerajaan: Jailolo, Ternate, Tidore, dan Bacan, yang saat itu terfokus pada keberadaan dan sepak terjang kesultanan Ternate.

Sebenarnya, sebagaimana yang terjadi di berbagai daerah yang masih menyimpan dan mengakomodasikan eksistensi kesultanan, peran kalangan aristokrat dalam kancah perpolitikan tidak lagi terlalu dominan. Sekalipun demikian, eksistensi kalangan bangsawan ini tetap saja tidak dapat dikesampingkan. Bagaimanapun, kalangan ini masih memiliki peran yang signifikan dan masih menjadi patron politik masyarakat setempat.

Sosok lama

Mudaffar Sjah sendiri sebetulnya adalah ”pemain lama” dalam sejarah politik Malut. Dalam karier politiknya, semula ia merupakan anggota DPR dari Golkar selama dua periode (1977-1982, 1982-1987). Ketika era liberalisasi politik bergulir yang diikuti era otonomi daerah, sepak terjangnya dalam dunia politik kembali menggeliat. Saat itu, ia memilih meninggalkan Golkar dan berafiliasi dengan Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PDK) bersama Ryaas Rasyid. Pada ajang Pemilu 1999, ia menjadi anggota DPR dari partai itu untuk periode 2004-2009. Pada 2007, sultan yang dikenal kharismatik ini sempat mencalonkan diri dalam pilkada (gubernur) bersama Rusdi Hanafi dengan dukungan PKPI dan PPNUI, tetapi akhirnya dibatalkan oleh KPU Malut. Pembatalan ini berakibat fatal, munculnya konflik berkepanjangan. Konflik di Malut tidak hanya berhenti pada saat pilkada digelar, tetapi pascapilkada pun Malut berlumur konflik di antara para pendukung walaupun dengan pangkal persoalan konflik yang berbeda.

Dalam perjalanan selanjutnya, posisi politik Mudaffar untuk tetap berada di PDK tidak bertahan panjang. Pada 13 Agustus 2008, ia menyatakan diri—bersama kerabatnya—bergabung ke Partai Demokrat. Pada Pemilu 2009 ini, ia sendiri mencalonkan diri di jalur DPD, sementara istrinya menjadi calon legislatif DPR dari Partai Demokrat. Uniknya, sebelum berhasil merebut kursi DPR, Bokiratu Nitabudhi Susanti tercatat pula sebagai anggota DPD Malut periode 2004-2009. Ia juga pernah mencalonkan diri dalam pilkada Wali Kota Ternate (2005). Dengan demikian, karier politik pasangan ini seakan bertukar tempat, berputar pada kursi legislatif dan DPD.

Menariknya, tak hanya kekuatan politik tradisional lama yang kini berkuasa, tetapi sosok lama yang populer di Malut kini juga berhasil memperkuat posisi politik mereka. Dalam lingkup DPD 2009, Kemala Motik Gafur berhasil menguasai kursi DPD. Sebagai Rektor Universitas Indonusa Esa Unggul, Jakarta, Kemala Motik pernah menjadi anggota MPRS (1968-1972) dan MPR (1982-1987, 1997-1999). Di kalangan pengusaha, ia juga terkenal melalui Wanita Pembangunan Indonesia (WPI) yang sebelumnya disebut Ikatan Pengusaha Wanita Indonesia.

Kemala Motik dikenal juga sebagai istri Abdul Gafur, politisi Golkar yang telah berkiprah sejak era Orde Baru. Setelah berkali-kali menjabat anggota legislatif ataupun menteri negara, Abdul Gafur menjabat sebagai anggota DPR daerah pemilihan Malut periode 2004-2009. Pada pilkada Malut 2007, langkah Gafur untuk menduduki kursi gubernur Malut terganjal. Peristiwa yang lekat dengan konflik berkepanjangan ini tergolong amat dramatis dari berbagai peristiwa pilkada gubernur di negeri ini.

Tokoh lain yang juga terpilih sebagai anggota DPR wilayah Malut adalah Nurokhmah A Hidayat Mus. Ia dikenal sebagai istri dari Ketua DPD Golkar Malut Ahmad Hidayat Mus. Selain Nurokhmah, Hayu Anggara Shelomita menjadi anggota DPR terpilih dari PDI-P. Menariknya, ketiga sosok anggota DPR yang terpilih dari Malut berjenis kelamin perempuan. Jika digabungkan dengan anggota DPD, dapat dikatakan bagian terbesar wakil rakyat dari provinsi ini berjenis kelamin perempuan, sesuatu yang tidak banyak terjadi di wilayah-wilayah lainnya.

Persaingan ketat

Pada pemandangan lain, hasil pemilu Malut juga menggambarkan persaingan ketat di antara sesama calon. Pada persaingan perebutan bangku DPD, misalnya, sosok lama yang telah menjabat anggota DPD sebelumnya gagal memperpanjang jabatan mereka. Djafar Sjah dan Anthony Charles Sunarjo, misalnya, kedua sosok ini kembali mencalonkan diri untuk periode kedua di DPD, tetapi gagal. Sebaliknya, Matheus Stefi Pasimanjeku, wiraswastawan yang bermukim di Tobelo, berhasil menggapai kursi DPD dengan perolehan suara terbesar, 69.158 pemilih. Selain Pasimanjeku, Abdurachman Lahabato menjadi sosok baru anggota DPD. Pria kelahiran Tidore yang berprofesi sebagai wiraswastawan dan sempat menjadi wartawan ini dipilih oleh 54.065 pemilih.

Menguatnya eksistensi politik kaum bangsawan ataupun sosok-sosok populer di Malut tidak lepas dari kendaraan politik yang mereka gunakan. Dalam hal ini, persaingan antarpartai politik di Malut dalam ajang pemilu Legislatif lalu sekaligus juga persaingan antarsosok yang dicalonkan. Partai Golkar menjadi kekuatan politik yang masih kokoh di Malut. Tiga periode penyelenggaraan pemilu terakhir bertutur mengenai kemenangan partai ini.

Dari pengalaman tiga pemilu tersebut, bisa dibilang bahwa posisi Golkar tak terpengaruh oleh kondisi yang dialami Malut, baik ketika masih menjadi bagian dari Provinsi Maluku maupun saat mandiri menjadi provinsi pada Oktober 1999. Begitu pula ketika kemelut Pilkada 2007 yang sempat diwarnai dengan konflik antaretnis, bentrokan massa, protes, dan boikot sejumlah pihak terkait dengan persaingan antarcalon gubernur. Pada pemilu 2004, dari delapan wilayah, Golkar paling banyak meraih suara di Kepulauan Sula, Halmahera Selatan, Halmahera Utara, Kota Ternate, dan Kota Tidore Kepulauan. Untuk Pemilu 2009 ini, kontribusi terbesar bagi partai itu berasal dari Kota Tidore Kepulauan, Halmahera Utara, Halmahera Selatan, dan Halmahera Timur.

Masuknya kekuatan politik yang tergolong baru memang memberikan warna politik baru bagi provinsi ini. Beberapa wilayah yang sebelumnya merupakan pendukung Golkar kini beralih. Peralihan dukungan ini bagaimanapun juga tidak lepas dari kiprah sosok yang dicalonkan partai tersebut, yang jika ditelusuri tetap saja sosok lama di dalam kancah perpolitikan Malut.

Partai Demokrat, misalnya, pada Pemilu 2009 ini berhasil menduduki urutan kedua perolehan suara dan berhasil merebut satu kursi DPR. Namun, dengan terpilihnya istri sultan sebagai wakil dari partai ini, kesan adanya perubahan yang diusung oleh partai-partai yang tergolong baru seolah hilang.

(Krishna P Panolih/Litbang Kompas)

Papua Barat


Pertautan Popularitas Kandidat dan Adat

Di tengah fenomena merosotnya suara Partai Golkar pada Pemilu Legislatif 2009 di beberapa provinsi, daerah kepala burung Provinsi Papua Barat justru menjadi bukti tetap kokohnya akar partai berlambang beringin ini. Popularitas kandidat dan adat turut memainkan peran.

Di kawasan Papua Barat pemungutan suara menjadi masalah pelik mengingat permukiman rakyat tersebar di pelosok. Penduduk harus berjalan kaki jauh untuk mendatangi tempat pemungutan suara. Masyarakat harus dibujuk agar mau mendatangi bilik suara.

Di tempat seperti inilah Partai Golkar tetap bisa bertahan, bahkan mampu untuk kembali menaikkan jumlah perolehan suaranya.

Kemerosoton perolehan suara pada dua pemilu berturut-turut mengharuskan Partai Golkar berbenah diri. Sejumlah fasilitas kerja, sarana, kader, dan infrastruktur yang lebih lengkap, di tambah dominasi dalam birokrasi, merupakan modal kuat partai ini. Dalam konteks inilah, Partai Golkar lebih unggul.

Hasil Pemilu Legislatif 2009 menunjukkan kembalinya Golkar sebagai pemenang dengan meraup 31,5 persen suara. Ini menunjukkan ada kenaikan 7 persen suara dibandingkan dengan Pemilu 2004. Golkar dapat menguasai delapan dari sembilan kabupaten/kota. Kabupaten Manokwari yang pada Pemilu 2004 dikuasai Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK) kembali direbut oleh Golkar. Hanya satu kabupaten, yaitu Kabupaten Fakfak, yang masih didominasi kekuatan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Partai berlambang Kabah tersebut mengumpulkan suara sebesar 16,5 persen di kabupaten ini. Berdasarkan data dari Departemen Agama Kabupaten Fakfak tahun 2006, jumlah penduduk yang beragama Islam mencapai 63 persen (tertinggi di kabupaten/kota di Papua Barat).

Kemenangan PPP di Fakfak tak lepas dari perannya dalam pilkada tahun 2005. Koalisi PPP bersama partai Islam lain berhasil memenangkan pasangan Wahidin Puarada dan Said Hindom. Namun, PPP tidak dapat mengirimkan wakilnya ke Senayan karena perolehan suaranya di Daerah Pemilihan Papua Barat hanya 5 persen, masih di bawah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Posisi kedua diduduki Partai Demokrat, yang berhasil menggeser posisi PDI-P. Penetrasi suara Demokrat terutama terjadi di Kota Sorong dan Kabupaten Manokwari. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat perkotaannya selalu dinamis dalam menentukan pilihan politiknya. Partai berlambang segitiga biru ini meraup perolehan suara 10,4 persen, naik sekitar 6,7 persen.

Sementara itu, suara PDI-P tergerus hingga hanya memperoleh 5,8 persen, seiring dengan naiknya perolehan suara Partai Demokrat dan masuknya pengaruh partai-partai baru, seperti Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).

Pasang-surutnya perolehan suara Golkar tak lepas dari dinamika perpolitikan, baik di tingkat lokal maupun nasional. Pemilu pertama di Papua Barat baru dimulai tahun 1971, itu pun dengan peraturan khusus. Seperti banyak kawasan timur Indonesia lain, Papua Barat termasuk basis kuat Golkar selama Orde Baru. Perolehannya pun selalu di atas 80 persen.

Provinsi Papua Barat merupakan provinsi pemekaran dari Provinsi Papua. Provinsi yang awalnya bernama Irian Jaya Barat ini dideklarasikan 6 Februari 2003 oleh Pejabat Gubernur Abraham Octavianus Atururi. Pada awal pemekarannya pro-kontra pun terjadi. Masyarakat terpecah menjadi dua yang mendukung dan menolak pemekaran.

Partai Golkar kebetulan menjadi satu-satunya partai yang menolak pemekaran Papua Barat. PDI-P cenderung sebaliknya. Kemelut politik yang muncul akibat pemekaran ini diduga membuat kekuatan politik Golkar di Papua Barat melemah. Hasil Pemilu 2004 menunjukkan, Golkar menang, tetapi dengan komposisi yang kian mengecil, turun dari 42,3 persen (Pemilu 1999) menjadi 24,8 persen.

Wakil rakyat

Dengan jumlah penduduk sekitar 700.000 jiwa, Papua Barat berhak menempatkan tiga wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan empat wakil di Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Ketiga wakil rakyat yang terpilih dalam Pemilu 2009 adalah dua orang dari Golkar, yaitu Robert Joppy Kardinal dan Irene Manibuy, dan satu orang dari Partai Demokrat, Michael Wattimena.

Michael Wattimena yang berusia 39 tahun merupakan calon termuda di provinsi ini. Mengawali karier politiknya melalui Dewan Pengurus Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia, ia juga merupakan Wakil Ketua Departemen Organisasi Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat, dan kontributor News Demokrat.

Sementara itu, Robert Joppy Kardinal, yang saat ini menjadi anggota Komisi IV DPR periode 2004-2009, kembali berhasil melangkah ke Senayan dengan meraup suara 34.855.

Satu-satunya wakil perempuan dari daerah ini yang berhasil masuk sebagai anggota DPR adalah Irene Manibuy (Golkar). Ia merupakan calon yang berhasil meraup suara tertinggi, yaitu sebesar 45.790 suara. Perempuan kelahiran Bintuni 46 tahun silam ini pernah dinobatkan sebagai perempuan adat suku Arfak Moile di Warmare, Manokwari. Popularitas Irene yang mengakar dengan adat, bisa jadi, menjadi faktor yang membuat suara Golkar naik secara signifikan.

Tidak hanya anggota DPR, wajah-wajah baru tampak di anggota DPD. Dari empat anggota DPD, ada dua wajah baru, yaitu Sofia Maipauw dan Mervin Sadipun Komber. Yang menarik, kedua anggota DPD baru tersebut merupakan sosok aktivis. Sofia Maipauw banyak bergerak dalam pemberdayaan perempuan di Papua Barat, sedangkan Mervin Sadipun Komber pernah bergabung dalam kelompok Cipayung untuk penguatan peran DPD dan pernah bergabung dalam aliansi mahasiswa antikorupsi di Jakarta tahun 2007. Mervin (29) merupakan anggota termuda DPD dari daerah ini.

Sementara itu, Ishak Mandacan dan Wahidin Ismail merupakan wajah lama anggota DPD yang kini terpilih kembali. Wahidin Ismail adalah satu-satunya anggota DPD yang mewakili umat Islam. Ia juga merupakan Wakil Ketua Majelis Ulama Manokwari.

(DWI RUSTIONOWIDODO/Litbang Kompas)

Papua

Luluhnya Dominasi Parpol Lama

Oleh IGNATIUS KRISTANTO

Kultur pilihan politik masyarakat Papua kini semakin cair. Hasil Pemilu Legislatif 2009 menunjukkan hal itu. Partai-partai lama yang dulu mencengkeram kuat provinsi paling timur ini sekarang mulai melemah daya pikatnya.

Berbeda dengan di Papua Barat yang semakin mengukuhkan Golkar sebagai pemenang pemilu, pilihan politik masyarakat di Provinsi Papua justru ada kecenderungan untuk beralih dari partai-partai lama, termasuk Golkar. Berturut-turut dalam tiga pemilu terakhir, Golkar terus menurun perolehan suaranya.

Pada pemilu tahun 1999, Golkar masih kokoh dengan perolehan 35,6 persen, lalu menurun menjadi 24,7 persen. Pada pemilu kali ini merosot menjadi 19,6 persen. Perolehan suara ini sama dengan yang diraih oleh Partai Demokrat.

Tidak hanya Golkar yang turun. Fenomena serupa juga dialami oleh PDI-P yang juga tergolong partai nasional besar. Bahkan, penurunan perolehan suara partai ini lebih tragis. Jika pada Pemilu 1999 partai berlambang kepala banteng ini masih mampu meraih 32,5 persen suara, pada Pemilu 2004 meraup 8 persen, kini hanya 3 persen saja. Jika sebelumnya partai ini menang di tiga kabupaten, kini hanya satu kabupaten.

Hasil ini sekaligus menunjukkan bahwa pilihan politik masyarakat Papua, terutama ditujukan untuk suara DPR, semakin cair. Kini tidak ada lagi kekuatan politik yang dominan.

Partai Golkar dan Partai Demokrat memperoleh suara yang berimbang. Posisi ini sebenarnya mirip dengan hasil Pemilu 1999. Pada waktu itu juga tidak ada partai politik yang dominan. Perolehan suara Partai Golkar hampir sama dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Mengapa bisa terjadi demikian?

Pola penguasaan wilayah politik atas partai-partai besar di Papua mulai berubah semenjak pemekaran daerah gencar dilakukan sejak tahun 2000-an. Semakin banyak daerah baru yang bermunculan, semakin berkuranglah kekuasaan parpol besar. Namun, sebaliknya bagi partai-partai kecil, pemekaran justru merupakan berkah. Beberapa daerah yang baru dipecah berhasil dimenangi partai kecil.

Tawaran baru dari partai-partai baru pun membuat pilihan politik warga Papua juga berubah. Kekuatan parpol baru pelan-pelan menggerogoti kekuatan partai-partai besar. Ini kentara sekali terlihat di kabupaten-kabupaten yang terletak di wilayah Pegunungan Tengah.

Di wilayah ini, pemekaran memang gencar dilakukan, dampaknya pun terlihat dari peta politiknya. Setiap kali pemilu dilakukan, partai pemenangnya pun berubah. Kondisi wilayah tersebut sangat dinamis.

Seperti kultur masyarakat di daerah-daerah lain pada umumnya, secara umum kultur politik masyarakat Papua masih paternalistik. Tokoh adat atau tokoh lokal masih menjadi rujukan pilihan politik. Ketika pemekaran gencar dilakukan berdasarkan kelekatan unsur subetnis, maka partai-partai baru berlomba mendekati tokoh tersebut agar dapat memenangi pemilu.

Selain faktor pemekaran, karakteristik masyarakat Papua yang mempunyai mental ingin mencoba yang baru berpengaruh juga dalam pilihan politiknya. Hal ini pernah diungkapkan pula oleh Jan Honore Maria Cornelis Boelaars (1986) dalam bukunya Manusia Irian, Dahulu, Sekarang, Masa Depan.

Menurut dia, ada kecenderungan warga di sana ingin selalu mencoba, tetapi tidak akan bertahan lama. Realitas sosial ini pula yang membuat pilihan politiknya cenderung untuk melihat yang baru dan meninggalkan partai-partai lama. Jika tidak mengajukan calon-calon yang baru, partai-partai lama akan ditinggalkan oleh pemilih Papua.

Tokoh baru

Perubahan pilihan warga Papua terhadap partai politik untuk tingkat DPR ternyata ikut pula berpengaruh pada siapa yang terpilih sebagai wakil rakyat. Ada kecenderungan mayoritas calon anggota legislatif yang terpilih adalah wajah-wajah baru.

Dari 10 kursi yang tersedia untuk daerah pemilihan Provinsi Papua, 6 kursi berhasil diraih oleh tokoh-tokoh baru. Hanya 4 kursi yang diraih oleh tokoh-tokoh lama yang sudah populer dan malang melintang di tingkat nasional.

Dua tokoh lokal dan baru yang mampu memperoleh suara melebihi perolehan dari tokoh-tokoh politik lama adalah Paskalis Kossay dari Golkar dan M Ali Kastela dari Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Bahkan, perolehan suara Paskalis Kossay yang sebelumnya anggota DPRD Papua melebihi angka bilangan pembagi pemilih (BPP).

Partai-partai lama memang ada kecenderungan masih mengandalkan para politikus lama. Mereka pun akhirnya banyak yang lolos, seperti Yorrys Raweyai dari Golkar. Tokoh ini sudah menjadi wakil rakyat di MPR sejak 1997, lalu menjadi anggota DPR pada periode 2004-2009.

Tokoh lainnya adalah Etha Bulo dan Freddy Numberi dari Partai Demokrat. Etha adalah anggota DPR periode 2004-2009, sedangkan Freddy Numberi adalah Menteri Kelautan dan Perikanan pada kabinet yang dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini.

Pembaruan juga terjadi pada para tokoh yang menjadi wakil di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari provinsi ini. Dua dari empat wakil yang terpilih adalah muka-muka baru, yakni Herliona Murib dan Paulus Yohanes Sumino. Bahkan, Herlina yang tamatan setingkat SLTA ternyata mampu meraih 291.609 suara dan menduduki urutan kedua setelah Tony Tesar.

Wajah-wajah baru inilah yang akan mengisi aspirasi suara masyarakat Papua di Gedung DPR nantinya. Pilihan politik yang dinamis telah meluluhkan kekuatan dominasi partai lama dan akhirnya membuahkan wakil-wakil rakyat yang baru pula. (IGNATIUS KRISTANTO, Litbang Kompas)

Sabtu, 13 Juni 2009

Sulawesi Selatan

Musim Rontok di Kubu Beringin

GIANIE

Potret merosotnya perolehan suara Partai Golkar di tingkat nasional secara lebih nyata bisa dilihat dari wilayah Sulawesi Selatan. Sekalipun secara keseluruhan provinsi Golkar unggul, hasil pemilu legislatif lalu menjadi lampu kuning bagi masa depan dominasi partai ini.

Perkiraan suara Golkar di Sulawesi Selatan yang terus menurun terbukti. Bermula pada Pemilu 1999, di mana Golkar mampu mempertahankan 66,5 persen suaranya di tengah terjangan reformasi. Lima tahun kemudian berkurang sepertiganya menjadi 44,3 persen pada Pemilu 2004. Pemilu 2009, beringin yang kokoh itu terpangkas hampir separuhnya menjadi tinggal 25,1 persen.

Jika pada Pemilu 2004 Golkar masih menjadi pemenang di 23 kabupaten/kota di Sulsel, pada pemilu kali ini lima kabupaten/kota lepas direbut partai lain. Tidak tanggung-tanggung, lima wilayah yang terebut tergolong sangat strategis bagi partai ini. Selain itu, kelima wilayah tersebut menjadi basis pendukung setia Golkar selama ini. Kota Makassar, misalnya, kini dikuasai oleh Partai Demokrat.

Begitupun wilayah sebelah utara Sulsel, seperti Palopo, Kabupaten Luwu, dan Luwu Utara, yang juga dikuasai Partai Demokrat. Melengkapi deretan wilayah utara yang terkalahkan, Kabupaten Tana Toraja kini dikuasai Partai Damai Sejahtera (PDS). Di lima daerah itu Golkar hanya menempati urutan kedua.

Dinamika partai

Tergerogotinya suara Golkar ini seakan menjadi puncak dari rentetan kekalahan demi kekalahan yang diderita Golkar dalam ajang pemilihan kepala daerah di Sulsel. Gubernur terpilih Sulsel periode 2007-2012, misalnya, bukan diusung oleh Partai Golkar. Demikian juga fakta menunjukkan, dari 23 kabupaten/kota yang melaksanakan pilkada, pasangan kepala daerah yang diusung oleh Golkar hanya menang di 13 kabupaten/kota, 10 wilayah diantaranya dimenangi secara berkoalisi dan hanya 3 daerah yang dimenangi tanpa berkoalisi.

Jika pengaruh Golkar kini mulai terkikis, sebaliknya yang terjadi pada partai-partai lain, khususnya Demokrat. Perolehan suara Demokrat di Sulsel secara keseluruhan meningkat lima kali lipat dari 3 persen pada Pemilu 2004 menjadi 15,7 persen pada pemilu kali ini. Menarik pula dicermati kiprah PDS yang berhasil meminggirkan Golkar di Tana Toraja.

Selain kisah sukses Demokrat dan PDS dalam penguasaan wilayah Golkar, persaingan partai-partai lapis menengah pun sedemikian ketat. PAN dan PKS di Bumi Angin Mamiri ini bersaing sangat ketat dengan keunggulan PAN yang sangat tipis, hanya berselisih 250 suara. Kedua partai ini memang sama-sama tidak berhasil menguasai satu pun kabupaten/kota di Sulsel. Namun, dari sisi proporsi suara, kedua partai ini mampu mengumpulkan suara hingga 7,9 persen. Hanya, jika dilihat dari peningkatan suara yang diraih dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, peningkatan suara PAN saat ini jauh lebih baik dibandingkan dengan proporsi suara yang berhasil dicapai PKS.

Di sisi lain, kemunculan Hanura dan Gerindra juga tergolong signifikan dalam mengubah konfigurasi penguasaan suara partai di Sulsel. Hanura mampu memperoleh 4,7 persen suara, sementara Gerindra (3,5 persen).

Sosok legislatif

Merosotnya pengaruh Golkar dengan sendirinya menciutkan jumlah anggota DPR terpilih partai ini di tiga daerah pemilihan Sulsel. Dari 24 kursi yang dimiliki Sulsel (berkurang dua kursi dibandingkan Pemilu 2004 akibat pemisahan dan terbentuknya Provinsi Sulawesi Barat), Golkar hanya meloloskan 9 calon anggota DPR (37,5 persen). Adapun Partai Demokrat berhasil menempatkan enam orang (25 persen) wakilnya di DPR. Padahal, pada Pemilu 2004 Golkar meloloskan 12 wakilnya dan dari Partai Demokrat hanya satu orang.

Selain Partai Golkar dan Demokrat, partai lain yang meloloskan wakilnya ke Senayan adalah PAN dan PKS dengan masing-masing 3 orang, Partai Hanura 2 orang, serta Partai Persatuan Pembangunan 1 orang. Di sisi lain, PDI-P, Partai Bulan Bintang, Partai Bintang Reformasi, dan Partai Demokrasi Kebangsaan pada pemilu kali ini tidak mampu meneruskan tradisi mengirimkan wakilnya dari Sulsel ke Senayan. Demikian pula PDS. Sekalipun berhasil menguasai satu kabupaten, perolehan suara partai ini secara nasional masih di bawah batas parliamentary threshold sehingga tidak ada satu pun wakil partai ini.

Dari 24 anggota DPR terpilih asal Sulsel tersebut, sebanyak tujuh orang merupakan wajah lama yang sudah berkantor di Senayan sebagai anggota DPR periode 2004-2009. Dua sosok lainnya juga berpengalaman di legislatif, tetapi terpusat di tingkat provinsi. Bagian terbesar merupakan wajah baru yang berprofesi di sektor swasta, wiraswasta, ataupun para pensiunan. Berbeda dengan anggota DPD, dua dari empat yang terpilih merupakan wajah lama yang sebelumnya juga duduk di kursi DPD.

Dibandingkan dengan anggota DPR periode sebelumnya, beberapa perubahan terjadi. Dari segi pendidikan, misalnya, terlihat peningkatan kualitas para anggota terpilih. Jumlah yang berpendidikan sarjana S-1 meningkat menjadi 50 persen. Mereka yang berpendidikan hingga pascasarjana, baik tingkat master maupun doktor, sebanyak 46 persen. Komposisi ini berubah dibandingkan hasil Pemilu 2004, di mana sarjana S-1 dan pascasarjana berimbang, masing-masing 38,5 persen.

Dari segi jenis kelamin, anggota legislatif terpilih Sulsel amat berbeda dengan fenomena nasional. Jika ditingkat nasional terjadi peningkatan proporsi anggota legislatif terpilih perempuan, di Sulsel justru terjadi penurunan. Saat ini hanya ada tiga perempuan Sulsel yang melalui sistem suara terbanyak yang berhasil lolos. Padahal, periode sebelumnya mencapai lima orang.

Sisi lain yang menarik, dari daftar anggota terpilih, sejumlah nama masih terkait dengan nama besar tokoh-tokoh dari Sulsel, sebut saja Indira Chunda Thita Syahrul yang merupakan putri dari Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo. Juga ada Halim Kalla dari Golkar yang merupakan adik dari Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Emil Abeng juga dari Golkar, anak Tanri Abeng, mantan Menteri Negara BUMN periode 1998-1999. Di bangku DPD terdapat pula nama Aksa Mahmud, yang tidak lain adik ipar Jusuf Kalla.

Nama-nama tokoh Sulsel yang sudah tidak asing di tingkat nasional yang terpilih untuk kedua kalinya adalah Anis Matta, Tamsil Linrung, dan Andi Rahmat (ketiganya PKS), Malkan Amin, Syamsul Bachri, dan Idrus Marham (Golkar), serta Amran (PAN).

(Gianie/Litbang Kompas)

Maluku Utara


Dalam Kekuasaan Perempuan dan Penguasa Tradisional

Krishna P Panolih

Hasil Pemilu 2009 membuktikan di Maluku Utara eksistensi perempuan dan kekuatan politik tradisional lama masih menonjol.

Tampilnya Sultan Ternate Mudaffar Sjah sebagai salah seorang dari empat anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terpilih dan istrinya, Bokiratu Nitabudhi Susanti, sebagai salah satu dari tiga anggota legislatif terpilih membuktikan masih kuatnya pengaruh politik kaum aristokrat di Maluku Utara (Malut). Kemenangan kedua sosok ini dalam panggung politik seakan menggenapi sejarah kejayaan masa lalu Moloku Kie Raha, kawasan empat kerajaan: Jailolo, Ternate, Tidore, dan Bacan, yang saat itu terfokus pada keberadaan dan sepak terjang kesultanan Ternate.

Sebenarnya, sebagaimana yang terjadi di berbagai daerah yang masih menyimpan dan mengakomodasikan eksistensi kesultanan, peran kalangan aristokrat dalam kancah perpolitikan tidak lagi terlalu dominan. Sekalipun demikian, eksistensi kalangan bangsawan ini tetap saja tidak dapat dikesampingkan. Bagaimanapun, kalangan ini masih memiliki peran yang signifikan dan masih menjadi patron politik masyarakat setempat.

Sosok lama

Mudaffar Sjah sendiri sebetulnya adalah ”pemain lama” dalam sejarah politik Malut. Dalam karier politiknya, semula ia merupakan anggota DPR dari Golkar selama dua periode (1977-1982, 1982-1987). Ketika era liberalisasi politik bergulir yang diikuti era otonomi daerah, sepak terjangnya dalam dunia politik kembali menggeliat. Saat itu, ia memilih meninggalkan Golkar dan berafiliasi dengan Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PDK) bersama Ryaas Rasyid. Pada ajang Pemilu 1999, ia menjadi anggota DPR dari partai itu untuk periode 2004-2009. Pada 2007, sultan yang dikenal kharismatik ini sempat mencalonkan diri dalam pilkada (gubernur) bersama Rusdi Hanafi dengan dukungan PKPI dan PPNUI, tetapi akhirnya dibatalkan oleh KPU Malut. Pembatalan ini berakibat fatal, munculnya konflik berkepanjangan. Konflik di Malut tidak hanya berhenti pada saat pilkada digelar, tetapi pascapilkada pun Malut berlumur konflik di antara para pendukung walaupun dengan pangkal persoalan konflik yang berbeda.

Dalam perjalanan selanjutnya, posisi politik Mudaffar untuk tetap berada di PDK tidak bertahan panjang. Pada 13 Agustus 2008, ia menyatakan diri—bersama kerabatnya—bergabung ke Partai Demokrat. Pada Pemilu 2009 ini, ia sendiri mencalonkan diri di jalur DPD, sementara istrinya menjadi calon legislatif DPR dari Partai Demokrat. Uniknya, sebelum berhasil merebut kursi DPR, Bokiratu Nitabudhi Susanti tercatat pula sebagai anggota DPD Malut periode 2004-2009. Ia juga pernah mencalonkan diri dalam pilkada Wali Kota Ternate (2005). Dengan demikian, karier politik pasangan ini seakan bertukar tempat, berputar pada kursi legislatif dan DPD.

Menariknya, tak hanya kekuatan politik tradisional lama yang kini berkuasa, tetapi sosok lama yang populer di Malut kini juga berhasil memperkuat posisi politik mereka. Dalam lingkup DPD 2009, Kemala Motik Gafur berhasil menguasai kursi DPD. Sebagai Rektor Universitas Indonusa Esa Unggul, Jakarta, Kemala Motik pernah menjadi anggota MPRS (1968-1972) dan MPR (1982-1987, 1997-1999). Di kalangan pengusaha, ia juga terkenal melalui Wanita Pembangunan Indonesia (WPI) yang sebelumnya disebut Ikatan Pengusaha Wanita Indonesia.

Kemala Motik dikenal juga sebagai istri Abdul Gafur, politisi Golkar yang telah berkiprah sejak era Orde Baru. Setelah berkali-kali menjabat anggota legislatif ataupun menteri negara, Abdul Gafur menjabat sebagai anggota DPR daerah pemilihan Malut periode 2004-2009. Pada pilkada Malut 2007, langkah Gafur untuk menduduki kursi gubernur Malut terganjal. Peristiwa yang lekat dengan konflik berkepanjangan ini tergolong amat dramatis dari berbagai peristiwa pilkada gubernur di negeri ini.

Tokoh lain yang juga terpilih sebagai anggota DPR wilayah Malut adalah Nurokhmah A Hidayat Mus. Ia dikenal sebagai istri dari Ketua DPD Golkar Malut Ahmad Hidayat Mus. Selain Nurokhmah, Hayu Anggara Shelomita menjadi anggota DPR terpilih dari PDI-P. Menariknya, ketiga sosok anggota DPR yang terpilih dari Malut berjenis kelamin perempuan. Jika digabungkan dengan anggota DPD, dapat dikatakan bagian terbesar wakil rakyat dari provinsi ini berjenis kelamin perempuan, sesuatu yang tidak banyak terjadi di wilayah-wilayah lainnya.

Persaingan ketat

Pada pemandangan lain, hasil pemilu Malut juga menggambarkan persaingan ketat di antara sesama calon. Pada persaingan perebutan bangku DPD, misalnya, sosok lama yang telah menjabat anggota DPD sebelumnya gagal memperpanjang jabatan mereka. Djafar Sjah dan Anthony Charles Sunarjo, misalnya, kedua sosok ini kembali mencalonkan diri untuk periode kedua di DPD, tetapi gagal. Sebaliknya, Matheus Stefi Pasimanjeku, wiraswastawan yang bermukim di Tobelo, berhasil menggapai kursi DPD dengan perolehan suara terbesar, 69.158 pemilih. Selain Pasimanjeku, Abdurachman Lahabato menjadi sosok baru anggota DPD. Pria kelahiran Tidore yang berprofesi sebagai wiraswastawan dan sempat menjadi wartawan ini dipilih oleh 54.065 pemilih.

Menguatnya eksistensi politik kaum bangsawan ataupun sosok-sosok populer di Malut tidak lepas dari kendaraan politik yang mereka gunakan. Dalam hal ini, persaingan antarpartai politik di Malut dalam ajang pemilu Legislatif lalu sekaligus juga persaingan antarsosok yang dicalonkan. Partai Golkar menjadi kekuatan politik yang masih kokoh di Malut. Tiga periode penyelenggaraan pemilu terakhir bertutur mengenai kemenangan partai ini.

Dari pengalaman tiga pemilu tersebut, bisa dibilang bahwa posisi Golkar tak terpengaruh oleh kondisi yang dialami Malut, baik ketika masih menjadi bagian dari Provinsi Maluku maupun saat mandiri menjadi provinsi pada Oktober 1999. Begitu pula ketika kemelut Pilkada 2007 yang sempat diwarnai dengan konflik antaretnis, bentrokan massa, protes, dan boikot sejumlah pihak terkait dengan persaingan antarcalon gubernur. Pada pemilu 2004, dari delapan wilayah, Golkar paling banyak meraih suara di Kepulauan Sula, Halmahera Selatan, Halmahera Utara, Kota Ternate, dan Kota Tidore Kepulauan. Untuk Pemilu 2009 ini, kontribusi terbesar bagi partai itu berasal dari Kota Tidore Kepulauan, Halmahera Utara, Halmahera Selatan, dan Halmahera Timur.

Masuknya kekuatan politik yang tergolong baru memang memberikan warna politik baru bagi provinsi ini. Beberapa wilayah yang sebelumnya merupakan pendukung Golkar kini beralih. Peralihan dukungan ini bagaimanapun juga tidak lepas dari kiprah sosok yang dicalonkan partai tersebut, yang jika ditelusuri tetap saja sosok lama di dalam kancah perpolitikan Malut.

Partai Demokrat, misalnya, pada Pemilu 2009 ini berhasil menduduki urutan kedua perolehan suara dan berhasil merebut satu kursi DPR. Namun, dengan terpilihnya istri sultan sebagai wakil dari partai ini, kesan adanya perubahan yang diusung oleh partai-partai yang tergolong baru seolah hilang.

(Krishna P Panolih/Litbang Kompas)

SENGKETA PEMILU


KPU Ubah Penetapan Kursi DPR

Jakarta, Kompas - Komisi Pemilihan Umum akan mengubah keputusan penetapan kursi sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi. MK membatalkan SK KPU Nomor 259/Kpts/KPU/2009 tentang Penetapan Perolehan Kursi Parpol Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Menurut Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary, Jumat (12/6), seusai bertemu Ketua MK Mahfud MD di Jakarta, KPU akan mengubah SK penetapan perolehan kursi DPR. ”Saya berulang kali mengatakan, KPU punya kewajiban melaksanakan keputusan MK karena itu amanat undang-undang. Putusan MK itu final dan mengikat,” katanya.

Dalam pertemuan dengan Ketua MK, Hafiz disertai anggota KPU, Andi Nurpati. Mahfud didampingi Wakil Ketua MK Abdul Mukthie Fadjar, Arsjad Sanusi, dan Harjono.

Hafiz menambahkan, ia datang untuk meminta penjelasan lebih lanjut terkait dengan putusan MK. ”Karena itu, selain meminta penjelasan, kami juga ingin meminta penegasan bagaimana menindaklanjuti ini,” ujarnya.

Syarat capres-cawapres

Hafiz memperkirakan, perolehan kursi partai politik di DPR bisa berubah karena dalam SK KPU sebelumnya, penetapan kursi tahap ketiga berdasarkan penghitungan sisa suara hanya di daerah pemilihan (dapil) yang ada kursinya. MK memutuskan penghitungan berdasarkan sisa suara di tingkat provinsi.

”Keputusan yang lama dibatalkan dan KPU harus membuat keputusan yang baru,” ujarnya. Konsekuensi perubahan perolehan kursi itu akan berimbas pada calon anggota legislatif (caleg) terpilih dan jumlah kursi parpol. ”Potensi perbedaan itu besar sekali, tetapi berapa perubahannya, kami akan menghitung lagi,” kata Hafiz.

Meskipun ada perubahan perolehan kursi, lanjutnya, hal itu tak akan mengubah persyaratan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Sebab, hal itu tak terkait dengan capres-cawapres.

Tentang waktu perubahan keputusan KPU, ia menyebutkan, dilakukan sebelum pelantikan anggota DPR. ”Dari hasil pembicaraan kami, yang paling bagus setelah semua proses di MK selesai. Setelah putusan itu dikeluarkan baru KPU menindaklanjuti semuanya, mungkin 24 Juni 2009. Karena kalau kita menetapkan sekarang, siapa tahu ada pergeseran perolehan suara parpol berdasarkan putusan MK lagi,” kata Hafiz.

Tentang pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara ulang di Nias Selatan dan Yahukimo sesuai dengan putusan MK, Hafiz mengaku, KPU belum memutuskan waktunya. ”Berdasarkan Rapat Pleno KPU semalam, pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara ulang diupayakan bersamaan dengan pemilu presiden dengan pertimbangan efisiensi dan agar masyarakat tak bosan,” paparnya.

Mahfud menambahkan, KPU dan MK sudah saling memahami terkait dengan putusan itu karena sesuai mekanisme UU. ”MK dan KPU tidak bicara tentang siapa yang diuntungkan,” kata Hafiz.

Mahfud juga menjelaskan, MK tidak pernah membatalkan Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2008. Yang dibatalkan adalah Keputusan KPU Nomor 259 dan Nomor 286 Tahun 2009 tentang penetapan hasil suara yang berakibat pada perolehan kursi DPR pada penghitungan tahap ketiga.

”MK mengetahui betul tak boleh mengadili regeling (peraturan) di bawah UU. MK mengadili beschikking (keputusan) yang dikeluarkan KPU,” ujar Mahfud.

Mahfud mengingatkan, kewenangan MK dalam mengadili sengketa hasil pemilu diberikan UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Kedua ketentuan itu tegas menyebutkan tentang sengketa hasil dan bukan hanya penghitungan suara.

”Jika hanya menghitung hasil suara, namanya ’Mahkamah Kalkulasi’,” ujar Mahfud.

PAN tambah kursi

Di Jakarta, peneliti Centre for Electoral Reform (Cetro), Ismail Fahmi, Jumat, mengatakan, jika penghitungan KPU konsisten sesuai dengan putusan MK, perolehan kursi lima parpol, dari sembilan parpol, di DPR akan berubah. Partai Amanat Nasional adalah partai yang diuntungkan karena mendapat tambahan tiga kursi. Partai Hati Nurani Rakyat paling dirugikan karena berkurang dua kursi. Partai Gerakan Indonesia Raya memperoleh 26 kursi, Partai Keadilan Sejahtera 57 kursi, Partai Persatuan Pembangunan 37 kursi, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebanyak 95 kursi tidak berubah.

Partai Hanura berkurang dari 18 kursi menjadi 16 kursi, PAN bertambah tiga kursi (menjadi 46), Partai Kebangkitan Bangsa bertambah 1 kursi (menjadi 27), Partai Golkar berkurang 1 kursi (menjadi 106), dan Partai Demokrat berkurang 1 kursi (menjadi 149 kursi).

Penghitungan Cetro menunjukkan, dengan perubahan cara penghitungan pada tahap ketiga itu, kursi bagi Agung Laksono harus diserahkan kepada Gerindra untuk Saifuddin Donodjoyo. Kondisi serupa terjadi bagi kursi untuk Balkan Kaplale dari Partai Demokrat di Dapil Jawa Timur IX yang harus diserahkan kepada caleg Golkar, Hernani Hurustiati.

Sekretaris Jenderal Golkar Soemarsono menyatakan, partainya akan menaati putusan MK yang kemungkinan membatalkan kursi kader Golkar dan Ketua DPR Agung Laksono. Golkar akan taat dengan putusan MK apabila putusan itu benar. Jika ada kekeliruan, tentu dipersoalkan.

Ketua Umum Partai Golkar M Jusuf Kalla mengaku belum mempelajari putusan MK.

Ketua Dewan Pimpinan Pusat PDI-P Tjahjo Kumolo menambahkan, partainya sedang mengkaji putusan MK itu. PDI-P tidak ingin tergesa-gesa mengambil sikap karena putusan MK itu berdampak pada nasib orang.

Sejauh ini, papar Tjahjo, berdasarkan analisis PDI-P, putusan MK tak menimbulkan pergeseran nama caleg terpilih dari partainya dan tak memengaruhi pencalonan presiden-wapres.

(sie/ana/mzw/sut/har/dik)