Kamis, 30 April 2009

Politisi (Enggan) Berkarya

Toto Suparto

Aristoteles pernah mengingatkan, aktif dalam berpolitik menjadi baik sejauh tidak diperbudak proses biologis.

Padanan ”perbudakan biologis” adalah mazhab Cyrenaik yang menempatkan ”kesenangan tubuh lebih baik daripada kesenangan jiwa”. Lalu, tubuh dimanjakan dengan materi sehingga menimbulkan kesan, urusan perut adalah segalanya.

Ketika politisi diperbudak proses biologis, aktivitas politik jadi mata pencarian. Untung rugi dan kepentingan pribadi menjadi tolok ukur. Mereka berpendapat, adalah politisi tolol jika tak mendapat keuntungan duniawi.

Celaka jika politisi menempatkan politik sebagai pekerjaan. Filsuf Hannah Arendt mengingatkan, jika politik dianggap pekerjaan, urusan orang banyak akan terabaikan. Kata Arendt, kegiatan politik bukan sarana untuk meningkatkan kesejahteraan, tetapi untuk mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam politik, yaitu kebebasan, kesetaraan, keadilan, dan solidaritas. Kita tak melihat kesenangan biologis sebagai prinsip berpolitik secara benar.

Milik filsuf

Di mata politisi kita, konsepsi itu hanya milik filsuf. Mereka beranggapan, bukan zamannya politisi tak memikirkan urusan perut. Anggapan yang tak keliru sepanjang bisa menempatkannya secara proporsional. Artinya, urusan rakyat juga diperhatikan. Ada perimbangan saat menikmati fasilitas negara dan seberapa besar kontribusi yang diberikan bagi kesejahteraan rakyat. Tetapi, saat urusan perut menjadi segalanya, kontribusi itu mengecil. Dalam kondisi beginilah kita patut memprihatinkan perilaku politisi itu.

Perilaku memprihatinkan kian nyata saat pemilu. Kita dibuat kian yakin bahwa politisi nyaris mengejar kekuasaan demi kenikmatan biologis. Rakyat lalu dibuat bingung atas perilaku politisi. Elite politik memperagakan perilaku ”plintat-plintut”, ésuk dhelé, soré témpé (pagi kedelai, sore berubah menjadi tempe), ungkapan yang menggambarkan inkonsistensi seseorang. Awal pekan dinyatakan koalisi didasari idealisme, akhir pekan dikedepankan pragmatisme. Maka, omong kosong jika koalisi demi kepentingan rakyat. Pragmatisme koalisi adalah keuntungan sesaat, cuma mengalkulasi kekuasaan.

Akhirnya, perilaku politisi tak lagi merakyat. Di sini makna merakyat adalah mengembalikan kekuasaan yang diperoleh politisi untuk kepentingan rakyat. Caranya, mereka memperjuangkan kepentingan rakyat sesuai dengan perannya. Para wakil rakyat selayaknya ingat, mereka meraih kursi legislatif karena suara rakyat. Dari calon anggota legislatif, mereka dipercaya mewakili aneka kepentingan rakyat di DPR.

Sesuai dengan konsep filsuf John Locke, memperjuangkan kepentingan rakyat adalah bagaimana menjalankan fungsi legislator sebagaimana mestinya. Menurut Locke, kekuasaan pembuat undang-undang adalah kekuasaan bersama tiap anggota masyarakat yang diberikan kepada orang atau majelis pembuat undang-undang (legislator), yang kemudian diberikan kembali kepada rakyat.

Demi kekuasaan, para politisi berseteru secara terbuka, saling serang, seolah rakyat tak pernah ada. Mereka lupa, tiap persete- ruan, apalagi jika disertai ancaman, membuat rakyat miris dan khawatir. Padahal, rakyat menginginkan kedamaian, sementara elite politik menjauhkan kedamaian dengan aneka pernyataan. Maka, omong kosong ji- ka segala pernyataan politik demi rakyat; ujung-ujungnya memuluskan jalan kekuasaan mereka.

Maka, saat Arendt menyatakan kegiatan politik bukan pekerjaan, para elite politik pasti mencibir, konsep itu cocok di awang- awang, bukan dunia nyata.

Semestinya berkarya

Meski dianggap cocok di awang-awang, filsafat politik Arendt tetap dijadikan landasan untuk bahan renungan politisi kita. Kata Arendt, politik merupakan wahana untuk berkarya, bukan bekerja. Apa beda kerja dan karya ini?

Arendt menyatakan, kerja merupakan tuntutan agar manusia bisa hidup. Bagai binatang, manusia harus memenuhi kebutuhan dasariah untuk hidup. Atas dasar ini manusia disebut binatang yang bekerja (animal laborans). Penyebutan Arendt ini kian menjelaskan makna kerja baginya, yaitu ”hanya menghasilkan barang yang habis dikonsumsi”. Ia ingin menegaskan, kerja tidak terlalu peduli akan kehadiran orang lain karena perhatian fokus pada proses biologis tubuh manusia. Memang kehadiran orang lain membuat pekerja bisa hidup, tetapi kehadiran itu sendiri bukan ciri khas pluralitas.

Apa yang membedakan dengan karya? Arendt menegaskan, karyalah yang membuat manusia berbeda dari binatang sehingga ia menyebutnya manusia yang mencipta. Melalui karya, seseorang menghasilkan obyek dan dapat menguasai alam serta membebaskan diri dari ketertundukan binatang. Maksudnya, homo faber menghadirkan ukuran kegunaan. Di sini karya membutuhkan kehadiran orang lain sebagai ”tempat pengakuan atas nilai dan prestasi”. Filsafat Arendt memperjelas, buat apa aktivitas politik itu? Politik itu buat berkarya agar kehadirannya bermanfaat bagi orang banyak.

Paparan Arendt membuat kita tahu, politisi di negeri ini lebih kepada animal laborans ketimbang homo faber. Wajar jika urusan rakyat dibelakangkan. Politisi kita yang seharusnya berkarya ternyata enggan berkarya. Maka, kembali kepada kita untuk kembali menyikapi semua ini.

Toto Suparto Pengkaji Etika di Puskab Yogyakarta

ANAK PEJABAT


Putri Gubernur Lolos ke Senayan
Kamis, 30 April 2009 | 03:01 WIB

Jakarta, Kompas - Sejumlah anak pejabat di Sulawesi Utara yang menjadi calon anggota legislatif pada pemilihan umum lalu diperkirakan lolos setelah meraih suara terbanyak di partai dan daerah pemilihan yang diwakilinya.

Keterangan dari Komisi Pemilihan Umum Sulawesi Utara Rabu (29/4), menyebutkan, Vanda Sarundajang, putri ketiga Gubernur SH Sarundajang, calon anggota DPR nomor urut dua dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meraih suara terbanyak, sekitar 100.000 suara dari 15 kabupaten dan kota di Sulawesi Utara.

Aditya Moha, putra pertama Bupati Bolaang Mongondow Marlina Moha, dari Partai Golkar nomor urut dua diperkirakan lolos. Perolehan suara Vanda dan Aditya bahkan melebihi sejumlah politikus antara lain Jeffry Masie, yang kini anggota DPR.

Vanda dan Aditya melengkapi enam kursi DPR dari Sulawesi Utara, sedangkan empat kursi lain diperoleh EE Mangindaan dari Partai Demokrat, Olly Dondokambey (PDI-P), Edwin Kawilarang (Partai Golkar), serta satu kursi sisa masih diperebutkan antara sejumlah caleg dari PAN, Gerindra, dan PDI-P.

Pengamat politik di Manado, Toar Palilingan, mengatakan, peraihan suara para anak pejabat sangat dipengaruhi mesin birokrasi dan jaringan orangtuanya memengaruhi para pemilih. Mesin birokrasi dikerahkan melalui tangan para pejabat. ”Yang menonjol dari mereka adalah figur bapak dan ibunya. Saya bahkan melihat seorang pejabat turun langsung berkampanye untuk putranya,” katanya.

Sementara itu, untuk kursi DPD dipastikan Aryanti Baramuli Putri, anak dari AA Baramuli, dipastikan merebut dua jatah kursi DPD dari Sulut.

Sejumlah elite partai politik dan artis yang bertarung di Jawa Timur juga akan melenggang ke Senayan. Beberapa elite partai politik di antaranya adalah Edhie Baskoro Yudhoyono (Demokrat, Jatim VII), Anas Urbaningrum (Demokrat, Jatim VI), dan Pramono Anung (PDI-P, Jatim VI).

Para artis yang melaju ke Senayan, antara lain, Samiadji Massaid alias Aji Massaid (Demokrat, Jatim II), Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio (PAN, Jatim VIII), dan Venna Melinda (Demokrat, Jatim VI).

Adapun rekapitulasi di tingkat KPU Jatim kembali diundur sampai Kamis (30/4) pagi. Rekapitulasi di tingkat KPU Surabaya baru rampung kemarin sore. Itu pun masih menyisakan protes belasan saksi dari partai politik yang kemudian mengadu ke KPU Jatim dan meminta ada penghitungan ulang. (ZAL/INA/DEE)

Golkar, Apa yang Kau Cari?

Syamsuddin Haris

Perubahan sikap dan posisi politik terus berlangsung di tubuh Partai Golkar menjelang pemilu presiden mendatang. Keputusan rapat pimpinan nasional khusus yang memberikan mandat kepada Jusuf Kalla menjadi calon presiden tampaknya bakal dianulir kembali. Apa yang terjadi dan tengah dicari partai beringin?

Menjelang pemilu legislatif, Ketua Umum Partai Golkar Kalla menyatakan siap menjadi calon presiden sebagai reaksi tak kunjung datangnya pinangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, setelah kalah telak dari Partai Demokrat (PD), elite Golkar bernegosiasi dengan pimpinan PD dan mengusung kembali Kalla sebagai pendamping Yudhoyono. Ketika Yudhoyono memberikan sinyal menolak Kalla, baik Rapat Harian DPP Golkar maupun rapimnasus esok harinya memproklamirkan perpisahan Golkar dan PD serta mengumumkan pencapresan Kalla. Kini sikap politik tersebut berubah lagi.

Kegagalan negosiasi dan penjajakan koalisi Golkar dengan PDI-P pimpinan Megawati tampaknya menjadi faktor kegamangan partai warisan Orde Baru ini. Secara matematis sulit bagi Golkar (14,6 persen) mengajukan Kalla sebagai capres karena harus memenuhi persyaratan minimal 25 persen suara secara nasional yang ditentukan UU Pemilu Presiden. Padahal, partai lolos parliamentary threshold yang belum jelas arah koalisinya tinggal PPP (5,2 persen) pimpinan Suryadharma Ali. Sementara itu, sebagian besar partai ”desimal”—partai-partai dengan perolehan suara antara nol koma hingga sekitar 1 persen—telah merapatkan diri dengan PD dan Yudhoyono.

Personal versus institusi

Sebagai partai politik tertua dengan mesin organisasi yang telah mapan serta sumber daya manusia terbaik, perubahan sikap dan posisi politik Golkar dalam hitungan jam ini jelas menimbulkan pertanyaan. Apalagi Rapimnas 2007 dan 2008 telah memutuskan mekanisme pencapresan melalui survei publik atas tujuh nama hasil penjaringan oleh Dewan Pimpinan Daerah (DPD). Ironisnya, Rapimnasus 2009 sama sekali tidak merujuk hasil rapimnas sebelumnya.

Fenomena Golkar bisa jadi mewakili persoalan krusial dan menahun yang acap kali dialami partai-partai di Indonesia. Yakni ketika aspirasi dan kepentingan personal ketua umum lebih mewarnai sikap dan keputusan partai secara institusi. Sulit dimungkiri bahwa itulah yang dialami partai beringin menjelang dan pascapemilu legislatif yang lalu, kepemimpinan oligarkis seperti juga dialami beberapa partai lain.

Karena itu, baik kesepakatan rapat harian DPP maupun keputusan rapimnasus adalah produk ”kepanikan politik” yang sebenarnya tidak perlu jika hitungan kepentingan organisasi lebih diutamakan oleh elite Golkar. Apalagi sejak awal Golkar mewacanakan urgensi membangun ”koalisi permanen”, suatu konsep yang lebih merujuk pada koalisi dan kerja sama institusional antarpartai ketimbang sekadar koalisi personal antara Yudhoyono dan Kalla.

Kehormatan partai

Problematik lain yang tengah dialami Golkar dewasa ini adalah kecenderungan hampir semua elite partai mengatasnamakan sikap dan posisi politik mereka dalam rangka ”kehormatan partai”. Padahal, kehormatan partai pertama-tama mensyaratkan adanya konsistensi sikap dan perilaku elite Golkar dengan keputusan-keputusan partai secara institusi. Kedua, kehormatan partai beringin justru terletak pada komitmen etisnya terhadap apa pun hasil pemilu legislatif, termasuk memberikan kesempatan bagi Yudhoyono untuk menentukan calon wapres pilihannya.

Jika kehormatan partai benar-benar hendak ditegakkan oleh segenap elite Golkar, pilihan paling realistik setelah ditolak oleh Yudhoyono dan Megawati adalah menjadi kekuatan penyeimbang di DPR. Toh, komitmen Golkar bagi masa depan bangsa yang lebih baik tetap bisa disalurkan secara parlementer melalui DPR. Peranan sebagai partai penyeimbang jelas tak kalah terhormat dibandingkan peran sebagai bagian pemerintah.

Karena itu, secara institusi, Golkar sebenarnya tidak harus bergabung ke dalam salah satu kubu koalisi yang ada saat ini, PD dan Yudhoyono di satu pihak, serta PDI-P dan Megawati di pihak lain. Apabila Yudhoyono terpilih menjadi presiden kembali, dan koalisi yang dibentuk Megawati menjadi kekuatan oposisi di DPR, tentu Golkar bisa berperan strategis di antara kedua posisi saling berhadapan tersebut.

Ubah cara pandang

Dalam kaitan ini cara pandang segenap elite politik negeri ini bahwa koalisi hanya berkaitan dengan soal siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana, tampaknya perlu diubah. Koalisi politik diperlukan dalam rangka minimalisasi komplikasi politik akibat kombinasi sistem presidensial dan sistem multipartai sehingga diharapkan terbentuk pemerintahan yang efektif.

Pembicaraan tentang koalisi politik di antara partai-partai semestinya dipandang terpisah dengan soal siapa capres-cawapres. Konteks koalisi seharusnya berbasis kesamaan platform politik antarpartai, sedangkan konteks capres-cawapres adalah soal potensi kerja sama yang bisa dijalin di antara para kandidat. Dengan demikian, jika Golkar hendak berkoalisi kembali dengan PD—yang notabene sudah ditolak melalui rapimnasus—semestinya tidak perlu lagi menyodorkan nama cawapres. Masalah cawapres bagi Yudhoyono secara etis harus dipandang sebagai otoritas subyektif putra Pacitan tersebut selaku capres dari partai pemenang pemilu legislatif.

Karena itu, agenda Golkar saat ini bukanlah mencari-cari pelabuhan hati untuk Kalla atau tokoh Golkar yang lain. Jauh lebih penting dari itu adalah menyelamatkan partai beringin dari kubangan keruh kekuasaan. Biarkanlah Yudhoyono dan Megawati berpikir keras soal calon pendamping mereka.

Syamsuddin Haris Profesor Riset Ilmu Politik LIPI

Selasa, 28 April 2009

Mega, JK, Prabowo Tentukan Capres Bersama



JAKARTA -- Pengurus PDIP heran mendengar wacana yang meminta Megawati mundur dari bursa pemilihan presiden (pilpres), kemudian membiarkan koalisi mengusung Jusuf Kalla (JK) dan Prabowo Subianto. Pada saat bersamaan, pengurus Golkar mengusung JK sebagai cawapres.

''Berkumpul dululah. Kompak dululah. Saya heran, belum berkumpul kok sudah bicara capres-capres,'' kata Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDIP, Taufiq Kiemas, tadi malam.

Setelah semua partai berkumpul--Taufiq mengatakan koalisi sekurang-kurangnya melibatkan PDIP, Golkar, PPP, Gerindra, dan Hanura--barulah capres dibicarakan. ''Biar diputuskan mereka bertiga saja (Megawati, JK, dan Prabowo--Red),'' katanya.

Wacana Prabowo menjadi cawapres Megawati pun, menurut Taufiq, masih "tanda koma". Meskipun hampir seluruh DPD PDIP mendukung Prabowo, Taufiq mengatakan, keputusan akhirnya di tangan Megawati.

Menurut rencana, hari ini (28/4), tim kecil PDIP dan Golkar akan bertemu. Megawati juga dijadwalkan bertemu JK. Selanjutnya, Selasa malam, Mega bertemu Prabowo.

Imbauan Megawati mundur dari pencalonan itu, kemarin, disampaikan Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu) Golkar, Burhanuddin Napitupulu.

''Itu pernyataan yang tidak bijak,'' kata anggota DPR dari FPDIP, Hasto Kristiyanto.

Hasto mengatakan, keputusan mengusung Megawati sebagai capres adalah kesadaran organisasi. Karena itu, kata dia, orang lain tak boleh mengintervensi.

Ketua DPP PDIP, Arif Budimanta, mengatakan, Rakernas PDIP telah menetapkan Mega sebagai capres. Rakernas, kata dia, juga telah mengamanatkan Mega menentukan cawapres.

Sebelumnya, Ketua Bapilu PDIP, Tjahyo Kumolo, mengatakan, tidak ada plan B di PDIP. Artinya, Mega tetap capres.

Megawati pun, seusai bertemu JK pekan lalu, menyatakan, ''Saya pernah guyon. Semua maunya capres, sulit cari cawapres.''

Partai Beringin memang telah melakukan pendekatan informal kepada Gerindra, untuk menduetkan JK-Prabowo. Ketua Umum Gerindra, Suhardi, mengakui, termasuk yang dilobi. Tapi, dia mengatakan, belum deal.

Suhardi menilai keinginan Golkar menjodohkan JK dengan Prabowo tak akan mudah. Pasalnya, PDIP pun menginginkan Mega-Prabowo.

JK cawapres
Di tengah ma nuvernya yang mentok, para pe tinggi Golkar mewacanakan JK sebagai cawapres. Wakil Ketua Umum Golkar, Agung Laksono, mengatakan, penunjukan JK sebagai capres pa da Rapimnasus belum final.

Apalagi, kata dia, den gan posisi capres itu, Golkar kemudian kesulitan melobi par tai lain. Karena itu, kata dia, rapat ha rian Golkar pada Ahad malam meminta JK fokus melaksanakan butir kedua amanat Rapimnasus, yaitu melakukan komunikasi politik. ‘’Keputusan siapa capresnya bergantung Pak JK. Bisa beliau sendiri, bisa yang lain,’‘ kata Agung.

Anggota Dewan Penasihat Gol kar, Aburizal Bakrie, mengatakan, keputusan Rapimnasus tidak mengikat. Dia juga me negaskan koalisi Golkar-Demokrat tetap terbuka.

Rakernas PAN
Sementara itu, rapat konsultasi Majelis Pertimbangan Partai (MPP) PAN dengan DPP PAN, tadi malam, berakhir antiklimaks. Tidak ada keputusan untuk berkoalisi maupun siapa capres/cawapres

‘’Masalah koalisi akan tercapai keputusan bulat pada Raker nas,’‘ kata Ketua MPP PAN, Amien Rais, usai pertemuan yang dihadiri 30 pengurus MPP dan DPP, tadi malam. Rakernas digelar di Ja karta pada 2 Mei.

Soal Hatta Ra ja sa sebagai cawa pres—seperti diusung 27 DPW PAN—, Ketua Umum PAN, Soetrisno Bachir, mengatakan belum menutup pe luang kader lain. ¦ ann/djo/nan/wed/c84

(-)

Kepentingan Rakyat Harus Diutamakan

Surabaya, Kompas - Di tengah ramainya manuver elite politik menjelang pemilu presiden, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur meminta kepentingan rakyat tetap diutamakan. Jangan sampai karena ikut menyukseskan calon presiden yang didukung partai politiknya, seorang kepala daerah meninggalkan urusan rakyatnya.

Ketua Dewan Tanfidziyah PW NU Jatim KH Hasan Mutawakkil Alallah, Senin (27/4) di Surabaya, mengatakan, semua kepala daerah, terutama yang tergabung dalam Forum Silaturahim Pimpinan Daerah (Fospida) NU Jatim tetap mendukung kebijakan yang berguna untuk kepentingan rakyat di bidang pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Oleh karena itu, meski berasal dari partai politik apa pun dan setiap parpol memiliki pilihan sendiri dalam pemilu presiden, kader NU yang kini menduduki jabatan politik sebagai kepala daerah di Jatim sudah semestinya tetap mengutamakan kepentingan rakyat.

”NU sebagai organisasi keagamaan tetap akan bersikap netral dan tidak akan menjadi tim sukses salah satu calon,” kata Mutawakkil seusai pelantikan pengurus Fospida Jatim periode 2009-2011 di Kantor PW NU Jatim, Surabaya.

Tak terlibat

Ketua Fospida Jatim Hasan Aminuddin juga menegaskan, sebagai institusi, Fospida juga tidak akan terlibat dalam sikap dukung-mendukung calon presiden atau calon wakil presiden tertentu. Namun, karena baju parpol setiap kepala daerah berbeda-beda, apa pun pilihan seorang kepala daerah dalam pemilu presiden tetap dihargai.

Mutawakkil juga menambahkan, dalam pemilu presiden dan wapres pada 8 Juli nanti, warga NU (nahdliyin) harus berhati-hati dalam menentukan pilihannya. Hal itu karena memilih kepala negara bukan hanya tanggung jawab di dunia.

Oleh karena itu, lanjutnya, sebelum memilih, nahdliyin harus mempertimbangkan berbagai aspek, baik syariat maupun dari perspektif yang lain, seperti konsistensi pada amanat jabatan.

Saat ini bursa pencalonan presiden terbagi menjadi tiga kelompok besar, yakni Susilo Bambang Yudhoyono dari Partai Demokrat, Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan M Jusuf Kalla dari Partai Golkar. Semua elite parpol kini juga sibuk bermanuver mempersiapkan koalisi menjelang pendaftaran calon presiden/wapres. (INA)

Matinya Politik Islam?

Pemilu legislatif, 9 April, tampaknya kian memperkokoh pandangan yang menyebutkan, Islam tak laku dijual atau menjadi landasan pergerakan politik nasional. Kalau betul, baru kali ini politik Islam absen dari politik nasional.

Meski sebelumnya Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin mencoba menghidupkan aliansi strategis kelompok Islam untuk membangun kekuatan, tampaknya partai politik Islam atau parpol yang berbasis massa Islam meragukan kekuatan massa untuk mendukungnya. Aliansi strategis Islam semacam ini pun tidak berjalan.

Padahal, perolehan suara partai Islam atau partai yang berbasis Islam, jika bersama-sama, akan mampu mengusulkan calon presiden. Masalahnya, setiap parpol terlalu sombong dengan keislaman yang disandangnya. Tidak heran kalau Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Matahari Bangsa (PMB), dan Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) enggan membangun kekuatan bersama. Bahkan, ada kecenderungan mendekat kepada pemenang pemilu yang memang berdasarkan hitungan di atas kertas bisa mengajukan calon presiden dan wakil presiden, atau diperkirakan memenangi pemilihan umum presiden/wapres.

Ajakan menyatukan politisi Islam agar berada dalam satu barisan juga dilakukan Sekretaris Forum Umat Islam Muhammad Al Khaththath, yang menyakini, jika partai Islam atau partai berbasis massa Islam mau bersatu, akan bisa memenangi kepemimpinan nasional.

”Insya Allah semua ormas dan gerakan Islam serta umat Islam akan mendukung jika ada kandidat dari kelompok Islam. Apalagi, umat menunggunya,” kata dia.

Tampaknya perjuangan untuk menyatukan kelompok partai Islam, atau partai berbasis massa Islam, sebetulnya masih ada. Apalagi, PKS yang dengan tegas menyatakan akan mendukung Partai Demokrat (PD) pun, tetap menyediakan jalan keluar jika ingin menyudahi keputusan untuk berkoalisi dengan PD.

Salah satu keputusan musyawarah Majelis Syuro PKS yang disampaikan Ketua Majelis Syuro PKS KH Hilmi Aminuddin, Minggu, menyebutkan, dalam pemilu presiden mendatang, PKS akan berkoalisi dengan Susilo Bambang Yudhoyono dan PD bila kontrak politik disepakati bersama. Kontrak politik dilakukan berdasarkan platform bersama dan disetujui Tim Lima PKS dan Tim Sembilan PD serta dibuat dalam keberpihakan dan kepedulian terhadap bangsa dan negara.

Di sini tampak jalan keluar, yang tetap membuka peluang untuk berkoalisi dengan partai lain, jika ternyata kontrak politik itu tak disepakati. (mam)

Cerminan Gagalnya Kaderisasi

Jakarta, Kompas - Penjajakan sejumlah partai politik dalam menghadapi pemilu presiden mendatang menjadi tanda paling kelihatan dari gagalnya regenerasi kepemimpinan di Indonesia. Hal itu karena hampir semua tokoh kunci dalam pembangunan koalisi tersebut merupakan muka lama yang telah bertarung pada Pemilu 2004.

Bahkan, Tommy Legowo dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Senin (27/4) di Jakarta, menilai kondisi sekarang secara khusus merupakan wujud dari kegagalan kaderisasi sipil. Itu karena tokoh kuat dalam pembicaraan koalisi justru yang berlatar belakang purnawirawan militer, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono, Prabowo Subianto , dan Wiranto. Posisi tokoh lain, seperti Megawati dan Jusuf Kalla, dinilainya tidak sekuat tiga purnawirawan tersebut.

”Kondisi tahun 2004 justru lebih baik. Saat itu banyak tokoh yang tidak berlatar belakang purnawirawan yang punya peran penting, seperti Amien Rais, Gus Dur, dan Megawati,” lanjut Tommy Legowo.

Budi Mulyawan, Direktur Eksekutif Centre for Local Government Reform, mengatakan, kegagalan kaderisasi sipil seperti yang sekarang terlihat terjadi karena lemahnya konsolidasi.

Pengajar Ilmu Politik di Universitas Airlangga, Surabaya, Airlangga Pribadi Kusman, melihat kegagalan kaderisasi sipil ini terutama disebabkan oleh kurang berjalannya demokrasi internal di dalam partai politik. Sebagian besar parpol masih bersifat oligarki. ”Oligarki parpol ini menghalangi terjadinya perekrutan dan kaderisasi politik yang sehat dan sistematis. Para politikus sipil muda yang berbakat banyak yang mati kutu di parpol karena, misalnya, mereka tidak memiliki hubungan kekerabatan atau jaringan dengan pengurus inti parpol. Akibatnya, tokoh yang muncul hanya itu-itu saja atau mereka yang punya hubungan dengan pimpinan parpol,” tutur Airlangga.

Kondisi ini, lanjut Airlangga, harus segera diperbaiki dengan lebih mendorong parpol agar bersedia bersikap lebih demokratis. Dengan demikian, kemungkinan memunculkan tokoh baru pada Pemilu 2014 dapat lebih besar. Itu karena pemilu kali ini kemungkinan menjadi pemilu terakhir bagi tokoh-tokoh yang sekarang sedang bertarung. Jadi dapat berbahaya jika pada tahun 2014 belum juga muncul tokoh baru.

”Jika sistem internalnya semakin demokratis, parpol juga akan lebih mampu merepresentasikan kepentingan masyarakat yang diwakilinya. Kondisi ini akhirnya juga akan meningkatkan kesadaran dan partisipasi rakyat terhadap politik,” ujar Airlangga. (NWO)

Wajah Baru DPD


Di Kalbar Empat Kursi DPD Diborong Perempuan
Selasa, 28 April 2009 | 04:29 WIB

Jakarta, Kompas - Dewan Perwakilan Daerah periode 2009-2014 akan banyak diisi oleh tokoh-tokoh baru. Namun, perubahan itu tidak menjamin akan adanya perbaikan performa DPD.

Rekapitulasi Penghitungan Suara Nasional yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum di Jakarta, Minggu (26/4), menunjukkan hanya sebagian kecil anggota DPD periode 2004-2009 yang terpilih kembali.

Nama-nama calon anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak untuk Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, Bangka Belitung, dan Sumatera Barat itu dibacakan oleh setiap ketua KPU provinsi daerah itu.

Calon anggota DPD dari DIY yang memperoleh suara terbanyak adalah GKR Hemas yang memperoleh 941.153 suara serta diikuti Cholid Mahmud (181.415) Ahmad Hafidh Asrom (171.108), dan M Afnan Hadikusumo (106.117). GKR Hemas dan A Hafidh Asrom merupakan anggota DPD periode sebelumnya.

Di Bali, suara terbesar diperoleh I GN Kesuma Kelakan (218.100), kemudian I Nengah Wiratha (132.320) I Wayan Sudirta (129.740), dan I Kadek Arimbawa (125.980). Hanya I Wayan Sudiarta yang anggota DPD lama.

Calon anggota DPD untuk Bangka Belitung adalah Tellie Gozelie (81.163), Noorhari Astuti (65.952) Rosman Djohan (23.175), dan Bahar Buasan (21.700). Hanya Rosman Djohan yang merupakan anggota DPD 2004-2009.

Untuk Sumatera Barat, urutannya adalah Irman Gusman (293.070), Emma Yohanna (203.587), Riza Falepi (152.475), dan Alirman Sori (95.113). Anggota DPD lama hanya Irman Gusman.

Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari mengatakan, terpilihnya tokoh-tokoh baru dalam DPD belum tentu berkorelasi dengan perbaikan performa DPD ke depan. Konstruksi DPD sesuai UUD 1945 memang lemah karena terbatasnya kewenangan yang dimilikinya. ”Jika peran dan wewenang DPD masih sama seperti DPD kemarin, harapan anggota DPD lebih mampu memberikan pengaruh bagi kebijakan publik masih akan sulit,” katanya.

Sejarah baru

Di Kalimantan Barat, sejarah baru tertoreh setelah kuota empat kursi DPD diborong semuanya oleh kaum perempuan.

Mereka adalah Maria Goreti (157.915 suara), Sri Kadarwati (151.602 suara), Hairiah (124.854 suara), dan Erma Suryani Ranik (118.340 suara).

Aktivis perempuan Laili Khairnur yang menjabat Direktur Eksekutif Lembaga Gemawan menilai, terpilihnya empat calon anggota DPD perempuan itu menunjukkan kesadaran politik perempuan Kalbar cukup baik.

Di Gorontalo, istri pejabat mendominasi perebutan kursi DPD. Dari empat kursi DPD, dua kursi diraih masing-masing oleh Hana Hasanah (istri Gubernur Fadel Muhammad) dan Rahmiyati Jahja (istri David Bobihoe, Bupati Kabupaten Gorontalo). Untuk kursi DPR, tiga jatah kursi direbut Roem Kono (68.821) dari Partai Golkar, AW Thalib (61.319) dari Partai Persatuan Pembangunan, dan Kasma Bouty Bokings (istri Bupati Boalemo) dari Partai Demokrat. Adapun Rugaiya (Uga) Wiranto gagal meraih kursi. (MZW/ZAL/WHY)

Publik dan Koalisi Politik

Tata Mustasya

Hasil penghitungan cepat sejumlah lembaga survei dan penghitungan sementara Komisi Pemilihan Umum menunjukkan persepsi publik dalam pemilihan umum legislatif. Suara Partai Demokrat meningkat dari 7 persen pada 2004 menjadi 20 persen pada 2009.

Penyebab langsung hal ini adalah keberhasilan Yudhoyono melakukan dua hal. Pertama, capaian-capaian jangka pendek bagi berbagai kelompok pemilih dengan jumlah besar. Kedua, memanfaatkan kekuatan media untuk mengapitalisasi berbagai capaian tersebut.

Kedua hal ini terkait erat. Terjadi pergeseran cara paling efektif dalam memengaruhi pemilih di Indonesia dari fungsi organisasi partai ke pemanfaatan media massa, terutama televisi (LSI, 2008).

Eratnya asosiasi berbagai capaian jangka pendek tersebut kepada figur Yudhoyono dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, optimalisasi klaim keberhasilan oleh Partai Demokrat (PD). Sementara parpol-parpol lain yang tergabung dalam kabinet secara pragmatis menjaga ”jarak” dari kebijakan Yudhoyono dalam beberapa masa sulit.

Beberapa parpol yang jelas-jelas memiliki menteri di posisi strategis kerap mendua, misalnya, dengan mengkritisi kebijakan impor beras dan beberapa kali kenaikan harga bahan bakar minyak. Parpol tersebut melakukan salah hitung yang ”wajar” karena harga komoditas, termasuk minyak mentah, di pasar internasional diramalkan akan terus naik.

Kedua—dan masih berkaitan dengan yang pertama—Yudhoyono beruntung karena penurunan harga berbagai komoditas terjadi pada akhir periode pemerintahannya. Ini dipadukan dengan keterampilan Yudhoyono dalam melaksanakan program- program populis pada kurun waktu penting tersebut, termasuk perbaikan kesejahteraan pegawai negeri sipil.

Publik sebagai penentu

Ini menunjukkan, persepsi publik—terlepas tepat atau tidak—mengenai parpol dan politisi yang berkomitmen dan mampu memenuhi kepentingan mereka sangat menentukan hasil Pemilu 2009. Beberapa parpol gagal menerjemahkan hal ini ke dalam tataran praktis. Partai Golkar, misalnya, menampilkan iklan politik yang abstrak mengenai keutuhan Indonesia. Sementara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) mengkritik kebijakan bantuan langsung tunai (BLT), sesuatu yang, suka atau tidak suka, sangat berarti dalam jangka pendek bagi sekitar 35 juta warga miskin.

Pentingnya menerjemahkan ”kepentingan publik” ke dalam bahasa yang dipahami masyarakat umum tampaknya masih gagal dilakukan oleh beberapa parpol. Ini terlihat secara kentara dari perkembangan dalam usaha membangun koalisi politik.

Pertama, Partai Golkar yang terkesan tanpa perhitungan yang jelas mencalonkan Jusuf Kalla— yang memiliki keterpilihan rendah—sebagai calon presiden. Tidak hanya emosional, ini menunjukkan kepercayaan akan kemampuan mengubah pilihan publik melalui organisasi partai dan simpul massa. Sesuatu yang tak begitu efektif lagi sekarang karena publik cenderung memilih berdasarkan rasionalitasnya sendiri.

Kedua, usaha membangun koalisi yang berorientasi ke dalam dan tidak mengoptimalkan hal itu untuk menciptakan ”panggung” demi menarik simpati publik. Dalam politik pemilihan langsung di Indonesia, koalisi yang sangat kental dengan politik ”dagang sapi” dan proses yang sangat gaduh akan dipersepsikan negatif oleh publik.

Jalan keluar dari terlalu kuatnya Yudhoyono, parpol tiga besar—selain PD—tidak mesti terfokus ke Pemilu Presiden 2009, tetapi menjadikannya sebagai proses menuju Pemilu 2014. Partai Golkar yang telanjur melakukan blunder politik dengan tidak mengadakan konvensi calon presiden dan kemudian maju- mundur mengajukan calon presiden idealnya tak perlu mengajukan kandidat dalam pemilu ini. Mereka bisa mengolah satu fokus persoalan mendasar dari sekarang sebagai usaha rebranding dan menerjemahkannya ke dalam hal praktis yang dipahami masyarakat.

PDI-P seharusnya memperkuat orientasi pada isu kerakyatan. Dengan demikian, ketika mengajukan calon presiden atau calon wakil presiden, pasangan kandidat harus mencerminkan citra— yang seharusnya didukung ideologi yang kuat—serupa.

Sementara itu, PD tampaknya akan memilih calon wapres dari parpol lain dengan figur yang relatif tak terlalu kuat, tetapi memiliki kelebihan dalam manajerial praktis. Pertimbangannya, wapres 2009-2014—terutama jika masih relatif muda—akan menjadi ancaman sebagai kandidat presiden pada Pemilu 2014.

Tata Mustasya Sedang Belajar di University of Turin dan ITC-ILO

ANALISIS POLITIK


Koalisi Tunanilai
Selasa, 28 April 2009 | 02:55 WIB

YUDI LATIF

Dengan segala karut-marut dan aneka kecurangan yang mewarnai pemilu legislatif, belum ada tanda-tanda kekecewaan akan menjelma menjadi amuk, mengantarkan demokrasi ke jalan buntu.

Nada-nada kutukan dan ajakan pemboikotan hanya berseliweran lewat layanan pesan singkat (SMS) berantai, paling jauh sebatas ultimatum dalam kongko-kongko elite secara terbatas, lantas mereda ditelan kepentingan koalisi.

Perilaku elite politik tersebut menggembirakan sekaligus menyedihkan. Menggembirakan karena berdasarkan pengalaman sejumlah negara, yang paling bertanggung jawab atas keruntuhan suatu demokrasi bukanlah orang-orang biasa, melainkan perilaku elite politik (Bermeo, 2003).

Beruntunglah, kekecewaan elite politik Indonesia atas pelaksanaan pemilu itu dinetralisasi oleh melemahnya ”konflik visi” dalam politik digantikan oleh menguatnya ”konflik kepentingan”. Dalam konflik visi, yang dipertaruhkan adalah gagasan yang bersifat tak teraba, mengandung asumsi-asumsi dasar yang menuntut konsistensi logis, kesetiaan, dan pengorbanan jangka panjang.

Oleh karena itu, ketika konflik visi yang terjadi, daya ledaknya bisa membuat para penganut perbedaan visi terpecah dalam kesiagaan siap mati yang memengaruhi rentang panjang sejarah bangsa.

Dalam konflik kepentingan, yang dipertaruhkan adalah hal-hal teraba, mengandung kejelasan untung-rugi yang bersifat pragmatis jangka pendek. Karena sifatnya yang cetek dan menyangkut kepentingan orang per orang, terlalu konyol jika banyak orang mempertaruhkan jiwanya di altar pengorbanan. Oleh karena itu, durasi konflik kepentingan biasanya berjangka pendek.

Meski peredupan konflik visi bisa mencegah kekacauan dan perpecahan bangsa, politik tanpa visi tak menyediakan basis nilai dan harapan. Dampaknya segera terlihat dalam pola koalisi.

Pemimpin partai sibuk bermanuver politik secara zig-zag, tanpa beban berganti-ganti posisi etis. Partai-partai yang bercorak liberal rela bersanding dengan partai-partai bercorak iliberal. Rujukan koalisi bukanlah titik temu dalam nilai dan visi, melainkan semata-mata berdasarkan alokasi sumber daya dan kursi. Platform yang disusun secara serabutan diajukan sekadar alat justifikasi.

Tanpa kejelasan visi, politik kehilangan peta jalan ke arah mana masyarakat akan diarahkan, prioritas nasional apa yang akan dipilih, fokus pembangunan apa yang akan disasar, dan akhirnya pengorbanan apa yang dituntut dari rakyat.

Politik tanpa visi sekadar kemeriahan pesta pora yang menyesatkan; memberikan harapan semu dengan biaya mahal, tanpa arah ke depan, tanpa perenungan mendalam, dan tanpa komitmen pada penyelesaian masalah- masalah mendasar.

Pendalaman visi

Tetapi ada luapan bawah sadar yang mencerminkan kejenuhan banyak orang dengan politik permukaan dan mulai berpaling ke politik pendalaman.

Meski untuk sementara waktu, bagi kebanyakan rakyat yang dibelit kesulitan hidup, perhatian pada segi-segi pendalaman struktural ini masih bisa terpalingkan oleh godaan stimulasi permukaan inkremental.

Tendensi ini bisa dilihat dari kecenderungan figur politik yang pada awal era reformasi menjadi pesakitan, sekarang diperlakukan bak pahlawan karena kekecewaan publik kritis terhadap figur lain yang berpopularitas tinggi tetapi tak menjanjikan pendalaman.

Untuk mengantisipasi ekspektasi publik pada substansi demokrasi, tantangan politik ke depan bagaimana mengembangkan pendalaman visi sambil mengendalikan potensi pertikaian yang ditimbulkannya lewat penataan institusi elektoral yang bergaransi kompetensi, kenetralan, dan keadilan.

Pintu masuk ke arah itu bisa dimulai lewat penataan kerangka koalisi. Pembentukan koalisi tidak hanya berdasarkan pertemuan kepentingan, atau segi sentimentil dalam relasi antarelite, melainkan berbasis komitmen bersama dalam kerangka nilai dan visi.

Pertarungan gagasan

Dalam kerangka ini, kompetisi politik bukanlah sekadar pertarungan popularitas figur, melainkan pertarungan dalam pasar gagasan. Jika visi yang dipertaruhkan, para kandidat tak perlu merasa kecil atau tinggi hati. Mereka perlu menghayati dirinya sebagai pahlawan yang memperjuangkan nilai luhur apa pun risikonya.

Jika visi ini secara jujur diperjuangkan dengan kemampuan komunikasi politik yang bersambung dengan pemahaman publik, rakyat punya kepekaan nuraninya tersendiri. Sekalipun kalah, secara moral menang.

”Kontestasi politik,” ujar Winston Churchill, ”sama bahayanya dengan peperangan, bahkan lebih berbahaya. Dalam peperangan, orang hanya mati satu kali; sedangkan dalam kontestasi politik, orang bisa saja mati berkali-kali.”

Kematian politik selalu menyisakan harapan hidup. Bagi si pecundang, kekalahan bisa saja kemenangan yang tertunda. Bagi si pemenang, pihak yang kalah menghadirkan tekanan yang bisa membangkitkan kreativitas daya hidup.

Dalam demokrasi yang bervisi, pihak-pihak yang kalah tidak harus mencari kehormatan dengan harga murah kepada sang (calon) pemenang. Mengonsolidasikan diri sebagai oposisi untuk mempersiapkan kemenangan esok hari jauh lebih terhormat.

Demokrasi adalah kemenangan semua pihak. Yang menang dan yang kalah punya perannya sendiri, punya ruang kehormatan sendiri-sendiri. Semuanya bekerja untuk tuan yang sama: sang demos (rakyat).

Golkar Terus Digoyang, Kalla Makin Terjepit

Jakarta, Kompas - Posisi Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar Jusuf Kalla kian terjepit. Gerakan pembangkangan terhadap hasil putusan rapat pimpinan nasional khusus pada 23 April lalu yang menetapkan pencalonan dirinya sebagai presiden terus bergulir.

Sebanyak 25 ketua Dewan Pimpinan Daerah Tingkat I Partai Golkar, dalam surat tertulis, meminta Jusuf Kalla mengajukan enam nama kader Partai Golkar sebagai calon wakil presiden yang akan berkoalisi dengan Partai Demokrat. Surat yang juga diperlihatkan kepada Kompas itu diserahkan Senin (27/4) sore.

Enam nama yang diajukan sebagai calon wapres adalah Aburizal Bakrie, Agung Laksono, Akbar Tandjung, Sultan Hamengku Buwono X, Fadel Muhammad, dan Surya Paloh.

Pagi harinya, ratusan Dewan Pimpinan Daerah Tingkat II Partai Golkar juga mendesak diadakannya rapimnasus ulang untuk menetapkan calon wapres dari Golkar. Mereka juga menolak keputusan rapimnasus karena tak melibatkan jajaran DPD II. Ratusan DPD II itu, Senin, mengadakan pertemuan informal di Hotel Kartika Chandra, Jakarta.

Ketua DPD II Kota Banda Aceh Muntazir Hamid membantah jika pertemuan DPD II ini diadakan untuk menggelar musyawarah nasional luar biasa atau memecah belah Golkar.

Sedangkan Wakil Ketua DPD II Kabupaten Lebak, Banten, Samsul Hidayat menegaskan, pada intinya, DPD II menghendaki mereka dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Menurut dia, pengurus DPD II yang hadir di Jakarta sudah mencapai 600 orang dan siap mengikuti rapimnasus ulang. Mereka berharap rapimnasus ulang itu mengerucutkan tujuh nama kader Golkar yang kemudian ditawarkan kepada capres dari Partai Demokrat, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono.

Jika tujuh nama itu dikerucutkan menjadi dua nama, kemungkinan kuat yang muncul adalah Akbar Tandjung dan Agung Laksono. Kalla tidak mungkin lagi menjadi calon wapres karena sudah dimandatkan rapimnasus menjadi capres.

Kalla menjawab

Menanggapi perkembangan terakhir, Kalla menyoroti adanya gejala destruktif yang merusak demokrasi yang tengah dipraktikkan di tengah-tengah proses komunikasi politik untuk menjalin koalisi antarparpol. Ia tidak menuduh siapa pun, tetapi melihat gejalanya kini dialami dua partai politik lain, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Kini, menyusul Partai Golkar yang tengah ”diacak-acak”.

Menurut Kalla, yang terjadi sekarang adalah gejala yang sama di tiga partai, di mana sejumlah kadernya melawan ketua umum partainya. ”Demokrasi tidak dijalankan secara benar dan baik. Akan tetapi, sengaja dipecah belah, ditakut-takuti, dan ditangkapi. Masa kasus 10 tahun yang lalu, dengan jumlah (kerugian) hanya beberapa juta, tiba-tiba dipersoalkan dan orangnya ditangkapi. Memang, secara hukum, kasus itu harus diproses. Tetapi, mengapa baru sekarang? Saya tidak mau berprasangka buruk menuduh,” kata Kalla.

Ditanya mengenai kemungkinan adanya ”musuh dalam selimut” di antara fungsionaris Golkar, Kalla menjawab diplomatis, ”Ada rencana masing-masing, tentu itu wajar. Akan tetapi, kita harus menjaga soliditas partai. Itu penting.”

PAN menunggu

Ketua Majelis Pertimbangan Partai PAN Amien Rais seusai rapat konsultasi DPP dan MPP PAN, Senin malam, menyatakan perbedaan pendapat di PAN merupakan hal biasa. Namun, komunikasi politik tetap berjalan dengan baik. Itu sebabnya, keputusan sikap PAN masih akan menunggu Rapimnas PAN yang akan digelar 2 Mei mendatang.

”Soal ribut-ribut sebetulnya tidak ada, yang ada hanya perbedaan pendapat saja, tetapi tetap saling membangun komunikasi,” ujar Amien.

Ia juga mengingatkan, Soetrisno Bachir merupakan Ketua Umum PAN yang dipilih dalam Kongres PAN di Semarang. Ia sudah banyak bekerja membuang tenaga, pikiran, uang, dan lainnya.

”Inilah yang sudah diperoleh, kondisinya memang tidak sangat bagus, tetapi di antara partai lain banyak yang runtuhnya cukup fatal, kami mungkin cuma sedikitlah,” ujar Amien.

Soetrisno Bachir mengatakan, PAN saat ini memang masih mencari-cari langkah terbaik dari yang ada. Semua keputusan belum final dan masih dilakukan komunikasi politik dengan berbagai pihak dan partai lain, termasuk memerhatikan tawaran- tawaran yang ada.

”Termasuk di dalamnya, apakah mitra koalisi itu sama atau ada yang hampir sama atau tidak. Misalnya soal memperjuangkan ekonomi pedesaan dan UKM,” ujarnya.

Soetrisno mengatakan, proses politik saat ini memang masih dinamis. Bisa saja nama-nama calon yang muncul saat ini akan digantikan dengan nama lain. Jadi, PAN masih akan melihat perkembangan politik dulu.

(SUT/DAY/MAM/HAR)

Koalisi untuk Kemaslahatan Bangsa

Yonky Karman

Hiruk pikuk kisruh penyelenggaraan pemilu dan isu koalisi untuk sementara mengalihkan perhatian publik dari potret buram republik ini. Banjir di mana-mana. Proses ganti rugi korban lumpur Lapindo yang belum tuntas. Perekonomian menurun. Pengangguran meningkat. Kualitas hidup rakyat miskin menurun.

Pemilu demokratis bukan cuma soal prosedur, tetapi juga kemaslahatan bangsa.

Pengalaman bernegara selama lima tahun terakhir adalah komplikasi politik. Kebijakan eksekutif kerap tersandera di parlemen lantaran presiden tidak memiliki basis dukungan kuat di parlemen. Namun, di mata rakyat, koalisi selama ini tidak lebih dari oligarki kekuasaan. Daulat elite politik, bukan daulat rakyat. Pragmatisme politik untuk berbagi kue kekuasaan. Koalisi hanya menyempurnakan persekongkolan yang melibatkan unsur eksekutif dan legislatif.

Konflik kepentingan dalam penyelenggaraan negara dibiarkan dan presiden tak mampu bertindak tegas untuk meluruskannya. Koalisi tidak berdampak langsung kepada kesejahteraan rakyat dan kemandirian bangsa. Indonesia belum keluar dari cengkeraman neokolonialisme ekonomi (korporatokrasi). Ini tentu tidak sehat bagi perkembangan demokrasi.

Korupsi dideklarasikan sebagai pembunuh bangsa, demikian sebuah spanduk yang dipasang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, pemerintah tidak serius memeranginya. Itu sebabnya kendati KPK kerja keras, pengumuman perusahaan konsultan Political and Economic Risk Consultancy (3/4) masih menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia.

Yang dinilai lebih baik daripada Indonesia adalah India, Kamboja, Thailand, dan Vietnam. Vietnam yang pernah dicabik-cabik perang saudara dan lebih lambat membangun kini lebih berprestasi dalam pemberantasan korupsi. Yang lebih penting lagi, kemajuan pemberantasan korupsi di negeri itu memiliki korelasi dengan pertumbuhan ekonomi.

Etika berkoalisi

Indonesia memang bukan Vietnam. Jalan demokrasi telah dipilihnya. Namun, demokrasinya belum menyejahterakan rakyat. Tujuan akhir pemilu dan juga koalisi sebenarnya adalah masa depan bangsa yang lebih baik, terlebih di era persaingan ketat antarbangsa. Tetapi, elite politik menjadi parasit demokrasi. Tujuan akhir koalisi berhenti di Senayan, tidak berakhir pada kesejahteraan bangsa yang lebih baik.

Politik dagang sapi ini mengingkari hak rakyat untuk menjadi lebih sejahtera. Seusai pemilu, politisi menjauh dari aspirasi dan kepentingan rakyat. Demokrasi kita dibajak elite politik. Hanya segelintir orang di lingkaran kekuasaan yang diuntungkan. Tingginya angka golput kali ini juga harus dibaca sebagai peringatan bahwa mereka terpilih disertai banyak catatan dan skeptisisme publik.

Pemilu adalah kesempatan untuk mereposisi dan meluruskan tujuan akhir koalisi partai. Memang perolehan suara Partai Demokrat meningkat secara fenomenal, sementara partai-partai lain terkena degradasi (kecuali PKS). Padahal, calon PD relatif tak dikenal. Infrastruktur partainya juga belum mengakar di masyarakat.

Jelas PD amat bergantung pada ketokohan SBY (politik figur), yang dalam hal ini banyak diuntungkan karena posisinya sebagai incumbent. Maka, suka atau tidak, PD lima tahun yang akan datang secara tak langsung bergantung pada langkah politik SBY.

Persoalan besar PD yang mendadak menjadi demikian populer adalah bayang-bayang menjadi partai gembos pada tahun 2004, sebab SBY tidak mungkin maju lagi sebagai calon presiden. Itu akan terjadi jika PD mengabaikan prinsip-prinsip partai modern yang kuat dalam kaderisasi dan infrastruktur.

Dilema cawapres

Meski posisi SBY enteng jodoh, penentuan calon wakil presiden tidak sederhana. Selain menentukan suara pemilih dalam pemilihan berikut, juga menentukan perjalanan PD pada Pemilu 2014. Tentu tidak elok mengambil jatah cawapres dari PD lagi.

Masalahnya, secara tak langsung itu ikut mempersiapkan calon presiden dari partai lain untuk 2014. Praksis koalisi seperti itu terbukti melahirkan persaingan terbuka antara presiden dan wakilnya, seperti terjadi antara SBY dan JK. Sebuah fenomena persaingan yang tidak lazim dan jalannya pemerintahan terdistorsi.

Alternatifnya, SBY memilih cawapres yang tidak membuat kalangan partai-partai papan tengah iri, yakni dari nonpartai.

Bagaimana dengan JK dan Megawati, yang masing-masing sudah diberi mandat oleh partai mereka untuk menjadi capres? Dapatkah mereka berkoalisi? Belum lagi ada Prabowo dan Wiranto yang juga ingin menjadi capres atau paling tidak cawapres. Idealnya, siapa pun yang terpilih sebagai presiden harus diterima dengan besar hati dan pihak-pihak yang kalah dapat mengimbanginya sebagai koalisi oposisi di parlemen.

Yang penting adalah koalisi untuk kemaslahatan bangsa karena kekuatan eksekutif yang dominan dan didukung mayoritas legislatif akan cenderung korup- tif. Bahkan, tidak mustahil akan teramat korup!

Yonky Karman Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta

Koalisi dan Kinerja Pemerintah

Eko Prasojo

Meski hasil pemilihan umum legislatif belum resmi ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum, partai politik sudah disibukkan berbagai manuver untuk membangun koalisi.

Hasil penghitungan cepat oleh sejumlah lembaga memang cenderung memberikan hasil yang sama sehingga hasil akhir pemilu dipercaya tidak terlalu berbeda. Manuver koalisi berbagai partai politik menjelang pemilu presiden patut dicermati, terutama dalam kaitan membangun pemerintahan yang kuat dan berkinerja.

Platform koalisi

Koalisi antarparpol dalam rangka menentukan calon presiden dan wakil presiden tak boleh hanya didasarkan hitung-hitungan kepentingan politik jangka pendek. Idealnya, koalisi parpol dibangun berdasarkan kesamaan platform ideologi. Tetapi, seperti diketahui, sulit membangun koalisi berbasis platform ideologi karena hampir semua parpol di Indonesia tidak memiliki kejelasan ideologi. Hal ini pun terlihat dari corak koalisi dalam pemilihan langsung kepala daerah, di mana koalisi lebih didasarkan pada kepentingan untuk memenangi pemilihan. Tidak bisa dihindarkan, koalisi semacam itu hanya merupakan strategi berbagi kekuasaan daripada memperjuangkan kepentingan masyarakat.

Berbagai manuver koalisi parpol menjelang pilpres menunjukkan kebutuhan membentuk sistem politik yang lebih baik di masa datang melalui penguatan ideologi partai dan pembentukan sistem merit politik. Pada sisi lain, hal ini membuktikan masih belum terbentuknya budaya oposisi di kalangan elite dan pengurus parpol. Menjadi oposisi belum dianggap bagian terpenting penguatan sistem demokrasi. Ketidaksiapan elite dan parpol untuk berada di luar ring kekuasaan dan menjadi oposisi melahirkan kesulitan tersendiri dalam membentuk koalisi pemerintahan.

Jika kelak koalisi yang terbentuk hanya didasarkan kepentingan mempertahankan kekuasaan di pemerintahan, dapat dipastikan hal itu tidak akan menciptakan kinerja pemerintahan yang baik. Hal ini tidak saja akan mengaburkan kontrol DPR terhadap pemerintah, tetapi juga akan menyebabkan terlalu bervariasinya kepentingan politik di pemerintahan. Tidak jelas siapa yang menjadi partai yang memerintah dan siapa yang menjadi partai oposisi. Tidak heran jika Presiden SBY beberapa waktu lalu mengeluh, sejumlah menteri justru ikut menyikapi secara kritis kebijakan pemerintah. Selain bertentangan dengan etika berpolitik, hal itu juga sangat kontraproduktif dengan soliditas pemerintahan.

Karena itu, perlu dikembangkan diskursus tentang apa yang harus menjadi tujuan akhir sebuah koalisi. Jika platform ideologi parpol sulit dijadikan dasar koalisi, paling tidak harus ada nilai dasar (basic/core value) yang akan dicapai koalisi pemerintahan. Esensi dasar pemerintahan adalah terselenggaranya pelayanan dan kesejahteraan masyarakat sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Dengan kata lain, berpemerintahan adalah memperjuangkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Keberadaan pemerintah baru akan dirasakan masyarakat jika ada peningkatan kualitas pelayanan dan kesejahteraan, bukan sebaliknya.

Pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat merupakan nilai dasar yang harus dijadikan syarat koalisi. Tampaknya hal ini sulit diwujudkan jika para elite politik hanya menganggap koalisi sebagai cara mempertahankan kekuasaan.

Karena itu, amat penting mengembangkan kontrak politik sebagai dasar koalisi seperti dilontarkan Presiden SBY. Kontrak politik tidak hanya berisi kewajiban dan hak parpol dalam koalisi, tetapi yang lebih penting adalah tujuan yang akan dicapai koalisi dalam pemerintahan. Misalnya disetujui beberapa kesepakatan koalisi: pemerintahan yang bersih, berwibawa, dan profesional; terjadinya reformasi birokrasi; peningkatan kualitas pelayanan publik; dan terpenuhinya hak ekonomi, sosial, dan politik masyarakat sebagai hak-hak asasi warga. Kesepakatan terhadap tujuan yang akan dicapai koalisi dalam pemerintahan jauh lebih penting daripada mengatur hak dan kewajiban parpol dalam koalisi.

Kabinet profesional

Hal lain yang harus mendapat perhatian dalam koalisi adalah pengisian kabinet. Karena mesin pemerintahan ditentukan dan digerakkan kabinet, kesepakatan pengisian kabinet harus menjadi bagian pembicaraan koalisi. Terlalu banyak partner koalisi akan menyulitkan presiden terpilih dalam mengisi kabinet.

Sebaliknya, presiden terpilih juga harus mendapatkan dukungan politik dari DPR. Karena itu, gabungan parpol dalam koalisi pengusung calon presiden setidaknya memiliki 30 persen suara di DPR dan tidak lebih dari tiga parpol. Idealnya, partai pengusung calon presiden meraih suara mayoritas mutlak di DPR dengan komposisi koalisi partai yang sederhana.

Namun, melihat perolehan suara dalam pemilu legislatif lalu, sulit rasanya meraih suara mayoritas di DPR hanya dengan melibatkan tiga parpol. Perlu dicatat, terlalu banyak partner koalisi untuk memenuhi mayoritas di DPR akan menyebabkan beragam kepentingan dalam pemerintahan. Karena itu, perimbangan jumlah partner koalisi yang sederhana dan dukungan minimal di DPR merupakan kombinasi yang baik untuk mewujudkan kinerja pemerintahan yang efektif.

Pada sisi lain, perlu dipikirkan untuk membentuk pemerintahan yang berdasar prinsip profesionalisme. Pengisian kabinet pemerintahan hendaknya tidak hanya didasarkan pertimbangan politis, tetapi juga kemampuan, kompetensi, komitmen, dan pengalaman seseorang. Bisa saja syarat-syarat itu berasal dari kalangan parpol yang tergabung dalam koalisi, tetapi apabila diperlukan dan hanya bisa ditemukan di luar parpol, tidak ditutup kemungkinan untuk mengambil kalangan profesional di luar partner koalisi.

Pertimbangan profesionalisme ini penting agar koalisi pemerintahan tidak hanya menjadi ajang politisasi pemerintahan, tetapi merupakan upaya untuk mewujudkan tujuan-tujuan bernegara.

Eko Prasojo Guru Besar FISIP UI

Minggu, 26 April 2009

Politik "Combinazione"

A Setyo Wibowo

Penghitungan suara hasil pemilu legislatif masih jauh dari selesai. Dan, quick count praktis menjadi landasan para pembesar partai politik untuk berimajinasi tentang combinazione.

Istilah bahasa Italia ini cocok untuk menggambarkan cara berpolitik yang ditandai kebetulan, hal-hal ajaib, dan akal-akalan. Combinazione menjadi lebih menggigit saat membandingkan pencontrengan Pemilu 2009.

Kebetulan

Pengamat netral akan melihat isu bergabungnya, misalnya, PD-PKS-Golkar atau PDIP-Hanura-Gerindra sebagai murni kebetulan, sebuah peristiwa politis biasa. Takdir perolehan suara membuat mereka mau tidak mau menengok kanan kiri, menemukan apa pun untuk dijadikan topangan langkah selanjutnya. Keniscayaan politik menjadi pembenaran bagi bergabungnya partai-partai yang di lapangan sebenarnya seperti minyak dan air.

Bak chef restoran, para petinggi parpol melakukan combinazione. Saat politik didefinisikan melulu sebagai kekuasaan, maka kekurangan persentase suara justru menumbuhkan kreativitas untuk mencari tambahan bahan agar masakan-kekuasaan bisa terlahap. Di mata mereka, tidak ada yang kontradiktif saat bahan aliran nasionalis-inklusif dan berlabel demokrat dimasak bercampur aliran yang kental agenda agama eksklusifnya.

Mereka semua menjustifikasi sebagai keniscayaan politik. Pengamat nakal akan mendecakkan lidah, mengagumi combinazione bergabungnya korban penindasan dan penindasnya. Takdir, nasib, atau orang Yunani senang mengatakannya sebagai Diké, menjadi wasit cerdik yang menyatukan hal-hal bertentangan lewat kebetulan-taktis.

Tujuan combinazione para petinggi partai adalah meraih kekuasaan lima tahun ke depan, perkara konstituen di lapangan pernah bermusuhan, itu hanya dipandang sebagai bagian dari dinamika politik. Konstituen tak berhak menentukan ke mana suara mereka bermuara. Dengan tenang, nasib tragis para calon anggota legislatif yang stres atau bunuh diri karena modal uang tidak kembali dianggap bagian dari proses. Demi kekuasaan, semua itu dianggap relatif.

Akal-akalan

Namun, lebih dalam dari sekadar penyerahan diri kepada kebetulan (Diké, hasard), wilayah berkabut dan misterius yang menolak pemahaman rasional, combinazione bisa jadi menguakkan lekatnya kepentingan pribadi yang gelap dalam berpolitik. Orang Italia mengungkapkan kata combinazione dengan tangannya bergerak menyimbolkan patgulipat, mata dan caranya berbisik menyiratkan ketidakberesan. Combinazione berarti manipulasi (Latin: manipulus, manus, artinya genggaman, tangan).

Pertama, orang mencontreng sebuah partai karena menolak semua partai lain. Namun di atas, suara itu praktis menjadi layang-layang putus yang ditangkap dan digunakan semaunya oleh petinggi partai. Nilai suara tiap orang, pertimbangan dan pemikiran di baliknya, praktis tidak relevan lagi saat dikapitalkan si pemilik partai menjadi modal bargaining dengan siapa saja seturut pertimbangannya. Dan, ini bisa dipahami mengingat motivasi orang mencontreng partai ternyata kadang karena uang. Combinazione hanya kelanjutan logis praktik money politics yang mengakar sampai ke bawah.

Kedua, kabar santer koalisi partai-partai yang saling antagonis tidak sejalan dengan harapan Reformasi 1998. Namun, siapakah dari petinggi partai yang masih peduli? Bukan hanya era pemerintahan SBY, bukankah sejak era Megawati atau Gus Dur kasus para aktivis yang hilang atau korban penembakan Trisakti tidak pernah diselesaikan? Tampaknya basic instinct para petinggi politik era Reformasi hanya sekadar mempertahankan atau merebut kekuasaan. Bila ini fokusnya, tidak heran combinazione menjadi cara berpolitik.

Demokrasi dengan pemilunya yang amat mahal adalah mekanisme melanjutkan dan mengisi reformasi. Mempertanyakan soal daftar pemilih tetap dan kesemrawutan Pemilu 2009 adalah amat legitim. Jawaban cepat dari pemerintah bahwa kritik atas pemilu merupakan bagian dari demokrasi dan janji penyelesaian secara hukum adalah sesuatu yang membanggakan. Namun, jangan lupa, sebagian besar pelaku bisnis dan rakyat sudah lega karena proses pemilu berjalan lancar. Daripada berlarut-larut ribet, di mana concern untuk betul-betul memakmurkan rakyat yang selama era Reformasi justru melemah daya belinya dari hari ke hari?

Ketiga, paling mendasar, combinazione akal-akalan ini muncul karena absennya perdebatan ideologi. Demokrasi memang mengakomodasi semua aliran, tetapi tiadanya ideologi yang jelas dari tiap aliran membuat, di satu sisi, banalitas janji-janji politis yang populis (menegakkan kebenaran, melawan korupsi, memperjuangkan rakyat), di sisi lain, maraknya hidden agenda yang tidak pernah diperdebatkan secara publik di depan umum (isu syariat, politik sebagai lahan mendulang uang).

Politik ”basic needs”

Combinazione hanya fenomena yang menunjukkan absennya politik berakal budi. Bila politik tidak pernah beranjak dari combinazione, demokrasi bisa luntur. Tanpa platform ideologi yang jelas, campur aduk aliran yang dinamai ”koalisi” akhirnya hanya menunjukkan wajah perpolitikan kita sebagai tempat bertarungnya basic instinct: menangguk uang dan kekuasaan.

Platon menggambarkan polis (negara) yang disetir nafsu-nafsu gelap sebagai negara babi (Politeia 372d). Ketiadaan perencanaan yang serius atau ketidakseriusan memandang keadilan sebagai tujuan hidup bersama membuahkan sebuah komunitas yang disetir hasrat-hasrat rendah, seperti makan, minum, dan seks yang tak pernah terpuaskan. Kaum philokrematos (pencinta harta kekayaan, uang) dijadikan pemimpin oleh rakyat yang tingkatnya masih butuh survival. Dan persis, politik berakal budi mengandaikan, para politisi tidak mengeksploitasi kondisi survival rakyatnya dengan ber-combinazione.

A Setyo Wibowo Pengajar STF Driyarkara, Jakarta

Menjadi Negara (Demokrasi) Tanpa Tuan?

Paulinus Yan Olla Setelah Komisi Pemilihan Umum menolak disalahkan (Kompas, 15/4), pemerintah menolak bertanggung jawab, bahkan menuduh rakyat ikut andil dalam kekisruhan daftar pemilih tetap (Kompas, 16/4).

Keadaan ini seakan menampilkan wajah sebuah negeri tanpa tuan. Jika semua penanggung jawab kebijakan publik cuci tangan, kita sedang dalam sistem negara demokrasi tanpa tuan?

Pemilu dalam kerangka negara demokratis merupakan ajang para pemimpin mendapat legitimasi atas kekuasaannya. Namun, ia bukan sekadar masalah jumlah suara. Legitimasinya terkait soal bagaimana jumlah suara itu diperoleh. Ia terkait nilai-nilai yang diperjuangkan.

Kekacauan daftar pemilih tetap mencederai salah satu nilai dasar yang ingin ditegakkan dalam demokrasi, yakni kedaulatan rakyat. Aturan pemilu legislatif yang lalu gagal memaksimalkan partisipasi warga untuk menggunakan hak politiknya terkait nilai-nilai dasar yang ingin dijamin dalam kehidupan publik pada masa mendatang. Pemerintah seharusnya penjamin proses itu.

Absennya penanggung jawab untuk menjamin kepentingan umum mengingatkan lemahnya usaha menghayati demokrasi. Hannah Beech memperlihatkan pengamatan yang mengesan praktik demokrasi di Asia. Menurut dia, banyak negara Asia berlomba mengadakan proses demokratisasi pemerintahan, mendukung nilai-nilai ideal demokrasi, tetapi belum meninggalkan mentalitas yang bertentangan dengan demokrasi.

Mentalitas itu misalnya tampak dalam kepercayaan naif rakyat terhadap moralitas pejabatnya dengan memberikan kuasa kepada mereka tanpa kontrol (Time, 1/1). Indonesia tampaknya tidak luput dari bentuk demokrasi yang demikian.

Sebuah judul berita yang provokatif, ”Elu Dapat Apa, Gue Dapat Apa?” (Kompas, 5/4), mengungkap apa yang terjadi pada kompetisi merebut kursi legislatif dalam pemilu 9 April lalu. Kampanye para caleg dari pintu ke pintu tidak terarah pada pembeberan nilai dan visi yang ditawarkan guna kepentingan umum, tetapi diubah menjadi tawar-menawar kepentingan, dilandasi mentalitas do ut des (aku memberi agar engkau memberi). Dalam kondisi itu, sarana demokratisasi seperti pemilu diubah menjadi cara menghasilkan para pengambil kebijakan publik yang tidak demokratis dan bebas dari kontrol publik.

Demokrasi yang sejati melibatkan aneka prosedur yang dilandasi nilai dan terarah pada kepentingan umum. Pengakuan akan hak politik (baca: hak memilih) tidak cukup hanya tertulis dalam UUD 1945. Hak demokratis itu mengandaikan adanya penanggung jawab yang menjamin pelaksanaannya. Karena itu, sebuah demokrasi sejati hanya mungkin terlaksana dalam sebuah negara di mana hukum berfungsi. Sebuah demokrasi tanpa nilai-nilai yang dijamin dalam negara hukum akan dengan mudah berubah menjadi totalitarisme terbuka, sebagaimana terjadi dalam sejarah (Yohanes Paulus II, Centesimus annus, 1991).

Kesan kurang tanggapnya para pemimpin untuk mengemban tanggung jawab publik sering disaksikan saat rakyat dilanda bencana. Dalam bencana, sering terjadi sikap saling melempar tanggung jawab antarpejabat dan antarinstansi pemerintahan berhadapan dengan urusan publik. Kejadian itu menampakkan betapa kurang disadarinya keberpihakan negara pada kepentingan umum sebagai nilai utama demokrasi.

Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi memindahkan rapat kabinetnya dari Roma ke Aquila yang baru saja dilanda gempa bumi untuk menyatakan solidaritas dengan ribuan penduduk yang sedang menderita. Pemerintahan negara-negara demokratis berlomba memenangkan hati rakyat dengan melayani, bukan dengan menyalahkan.

Bagi Indonesia, kiranya penting mencamkan pengamatan filsuf-biarawati Edith Stein, murid filsuf-fenomenolog Edmund Husserl, tentang peran negara. Dalam pandangan fenomenologisnya, negara sebagai negara hanya mempunyai fungsi jika membantu individu-individu dan kelompok-kelompok masyarakatnya bertumbuh kehidupannya.

Bantuan pertumbuhan itu diwujudkan negara dengan memenuhi aneka kebutuhan pokok mendasar (bisogni vitali) dan melindungi nilai-nilai dasar (valori vitali) yang menopang keberadaan individu dan kelompok masyarakat di dalamnya (Edith Stein, Una ricerca sullo stato, 1999: 137-139).

Saat rakyat bertanya, untuk apa pemilu? Apa manfaatnya bagi rakyat? Di sana negara dan kehadirannya diragukan kegunaannya. Klaim kemenangan golput sekitar 30 persen dalam pemilu legislatif (Kompas, 14/4) menjadi tanda peringatan kaburnya peran negara bagi rakyatnya. Bila keadaan itu masih diperparah dengan arogansi dan cuci tangan pejabat dalam memikul tanggung jawab bagi kepentingan publik, kita dapat bertanya, masih perlukah negara? Bila masih perlu, kita prihatin, mengapa negara ini seakan berjalan tanpa tuan?

Paulinus Yan Olla MSF Rohaniwan; Lulusan Program Doktoral Universitas Pontificio Istituto di Spiritualità Teresianum, Roma

Pembagian Kursi dan Penetapan Calon Terpilih DPR

OLEH Ramlan Surbakti

Komisi Pemilihan Umum sudah mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 yang mengatur tiga hal, yaitu tata cara pembagian kursi DPR, DPD, dan DPRD di setiap daerah pemilihan kepada peserta pemilu; tata cara penetapan calon terpilih anggota DPR, DPD, dan DPRD; dan tata cara penggantian calon terpilih anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Tulisan berikut ini hanya akan membahas pengaturan untuk DPR saja karena lebih rumit daripada pengaturan untuk DPD dan DPRD. Sekurang-kurangnya lima catatan yang dapat diberitakan terhadap peraturan KPU tersebut.

Pertama, peraturan ini tidak hanya cacat secara konstitusional, tetapi juga cacat dari segi pertimbangan hukum. Disebut cacat dari secara konstitusional karena KPU mengatur substansi undang-undang, yaitu mengatur tata cara penetapan calon terpilih anggota DPR dan DPRD sebagai pengganti Pasal 214 UU No 10/2008 yang sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan UUD 1945, DPR dan Presiden-lah yang berwenang membuat undang-undang, termasuk merumuskan pengganti Pasal 214 yang oleh MK dinyatakan bertentangan dengan UUD.

Karena Amar Putusan MK tersebut hanya berisi pernyataan Pasal 214 UU No 10/ 2008 tidak lagi berlaku karena bertentangan dengan UUD 1945, dan sama sekali tidak berisi pernyataan tentang suara terbanyak, tampaknya KPU melakukan penafsiran terhadap pertimbangan hukum MK mengenai penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak.

KPU menafsirkan suara terbanyak versi pertimbangan hukum MK sebagai penetapan calon terpilih ”didasarkan atas peringkat suara sah terbanyak pertama, kedua, ketiga. dan seterusnya....”

Independensi KPU akan terancam apabila melakukan penafsiran hukum yang niscaya akan menguntungkan sebagian dan merugikan sebagian parpol peserta pemilu lainnya.

Peraturan KPU ini dipandang cacat dari segi pertimbangan hukum karena tampaknya KPU lalai dalam menempatkan Pasal 215 UU No 10/ 2008 dalam Menimbang huruf d. Kalau Pasal ini tidak ditempatkan dalam pertimbangan hukum, atas dasar apa KPU merumuskan tata cara penetapan calon terpilih anggota DPD dan penetapan calon pengganti antarwaktu anggota DPD sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 59 Peraturan KPU tersebut?

Kalau betul KPU menggunakan Amar Putusan MK sebagai dasar hukum menetapkan rumusan pengganti Pasal 214, seharusnya Amar Putusan MK tersebut ditempatkan dalam Menimbang huruf d. Akan tetapi, dalam Peraturan KPU tersebut, KPU menempatkan Amar Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tanggal 24 Desember 2008 tidak dalam Menimbang, melainkan dalam Memerhatikan sejajar dengan Surat MK Nomor 122/HP.00.00/I/2009 tanggal 23 Januari 2009.

Mungkin KPU menyadari bahwa amar putusan MK mengenai pengujian undang-undang tidak termasuk dalam hierarki perundang-undangan.

Pembagian kursi

Kedua, pembagian kursi DPR dan DPRD kepada Partai Politik Peserta Pemilu dengan undian merupakan penghinaan terhadap kedaulatan rakyat karena pembagian kursi tidak didasarkan pada suara rakyat, melainkan atas dasar keberuntungan dan merupakan pengingkaran terhadap pemilihan umum sebagai proses konversi suara pemilih menjadi kursi penyelenggara negara karena pembagian kursi tidak didasarkan pada suara pemilih melainkan pada nasib alias hasil ”judi”. Pembagian kursi DPR dan DPRD haruslah konsisten berdasarkan suara pemilih, termasuk sebaran dukungan menurut wilayah.

Tata cara

Ketiga, rumusan pengganti ketentuan Pasal 214 mengenai tata cara penetapan calon terpilih yang diadopsi KPU sebagai hasil penafsiran terhadap pertimbangan hukum MK ternyata bertentangan dengan ketentuan Pasal 55 Ayat 1 UU No 10/2008.

Kalau susunan nama calon ditetapkan berdasarkan nomor urut, calon terpilih harus pula ditetapkan berdasarkan nomor urut. Akan tetapi, dalam Peraturan KPU tersebut penetapan calon terpilih dilaksanakan berdasarkan peringkat suara sah terbanyak pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya.

Ketentuan lain yang tidak konsisten dengan Pasal 55 Ayat 1 UU Pemilu adalah Pasal 50 Peraturan KPU tersebut. Apabila partai politik memperoleh sejumlah kursi tetapi tidak ada nama calon yang memperoleh suara sah di dapil tersebut, penetapan calon terpilih diusulkan oleh pimpinan partai politik peserta pemilu dari DCT Dapil yang bersangkutan untuk ditetapkan oleh KPU.

Penetapan calon terpilih dalam situasi seperti ini seharusnya tidak diserahkan kepada pimpinan partai politik, melainkan didasarkan pada nomor urut calon karena secara institusional nomor urut calon adalah urutan nama calon terbaik berdasarkan keputusan partai politik.

Keempat, tidak seperti UU No 12/2003 yang mendefinisikan secara operasional apa itu sisa suara, UU No 10/2008 sama sekali tidak mendefinisikan apa saja yang termasuk sisa suara. UU No 12/ 2003 dengan jelas mendefinisikan operasional apa saja yang termasuk kategori sisa suara, yaitu baik berupa jumlah suara sah yang tertinggal setelah memperoleh satu atau lebih kursi maupun jumlah suara sah yang tidak mencapai BPP.

Karena itu, dalam peraturan tersebut, KPU sekali lagi melakukan penafsiran hukum dengan merujuk pada definisi sisa suara yang dirumuskan dalam UU No 12/2003. Definisi sisa suara macam apakah yang digunakan, apakah dalam arti yang sesungguhnya (jumlah suara yang tertinggal setelah dibagi dengan BPP) ataukah dalam arti luas (jumlah suara di bawah BPP), jelas akan menguntungkan sebagian dan merugikan sebagian parpol peserta pemilu lain.

Definisi seperti ini seharusnya diputuskan DPR dan Presiden yang memang mendapat mandat dari rakyat melalui pemilihan umum untuk membuat undang-undang.

Kelima, tata cara penetapan calon terpilih khusus untuk partai politik yang tidak lagi memiliki calon di suatu daerah pemilihan tidak hanya terlalu rumit karena harus mengukur panjang perbatasan suatu dapil dengan dapil terdekat secara geografis apabila terdapat dua atau lebih dapil yang berbatasan, tetapi juga tidak masuk akal karena kursi diberikan kepada calon berdasarkan suara terbanyak di dapil tetangga.

Apabila terdapat dua atau lebih dapil yang berbatasan dengan dapil yang memiliki kursi tetapi tidak lagi tersedia calon untuk mengisinya, penentuan dapil mana yang akan memperoleh kursi tersebut cukup diserahkan kepada partai politik pemilik kursi tersebut.

Siapa calon yang akan mengisi kursi partai tersebut juga lebih tepat diserahkan kepada partai politik pemilik kursi daripada berdasarkan suara terbanyak karena calon terpilih itu tidak akan mewakili ”suara terbanyak” di dapil tetangga tersebut. Pengambilan keputusan untuk situasi khusus seperti ini lebih tepat diserahkan kepada partai politik sebagai peserta pemilu.

Ramlan Surbakti Guru Besar Perbandingan Politik, FISIP Universitas Airlangga, Surabaya

Pecundang dan Demokrasi Kita

Syafiq Hasyim

Wacana publik pascapemilu 9 April 2009 bisa dikatakan lebih didominasi pembicaraan tentang kisah sukses para pemenang: calon anggota legislatif yang lolos dan partai yang menang.

Hal ini setidaknya bisa dilihat dari bagaimana media kita menempatkan para pemenang dalam pemberitaan. Para pemenang dipuji dan diapresiasi meski tidak semua kemenangan dicapai secara fair dan demokratis. Ditambah lagi, para pemenang juga larut dalam euforia.

Sebaliknya, mereka yang kalah (caleg gagal dan partai kalah) menempati ruang pemberitaan yang kurang positif di media yang secara intensif menampilkan fenomena, misalnya caleg yang stres, depresi, marah serta fenomena lain yang timbul akibat kalah dalam pemilu legislatif lalu.

Kesannya, seolah-olah pecundang (the losers) kehilangan kontribusinya dalam kehidupan demokrasi kita. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Przeworski (1991), profesor politik New York University, pernah mengatakan, kehidupan demokrasi itu tidak hanya bergantung kepada para pemenang, tetapi juga kepada mereka yang kalah. Artinya, keduanya berperan penting untuk menjaga keberlanjutan kehidupan yang demokratis.

Pemojokan yang kalah

Persoalan bagi kita—terutama bagi para pemenang—adalah bagaimana memikirkan the losers ini. Kecenderungan media kita yang lebih cenderung menampilkan berita ”memojokkan” the losers dengan olok-olok dan satir harus diakhiri. Hal ini bisa mengakibatkan keadaan mereka kian terpojok dan kehilangan ruang dalam demokrasi. Lebih parah, ini juga bisa menggiring wacana publik, yang tidak kritis, kian meminggirkan eksistensi dan peran mereka (the losers).

Akibatnya, citra sebagai the losers kian terpuruk. Ini bisa mengancam masa depan kehidupan demokrasi kita. Memang ekspos atas the losers akan membantu publik dan mereka yang kalah untuk mawas diri dan mengambil lessons-learned atas proses politik yang sudah mereka lalui.

Namun, pada sisi lain, pengungkapan yang eksesif juga bisa menimbulkan trauma berat bagi mereka. Ini bisa mematikan ambisi mereka untuk mencalonkan diri lagi sebagai anggota DPR pada pemilu mendatang karena jika kalah (lagi), mereka akan menjadi obyek pemberitaan yang berat seperti sekarang. Matinya ambisi untuk berperan dalam politik elektoral akan berdampak pada matinya demokrasi. Jika demikian, kita telah melakukan investasi buruk atas pendidikan politik kita.

Pewacanaan para pemenang adalah hal penting. Namun, fakta menunjukkan, mayoritas the losers adalah bukan orang biasa saja. Minimal mereka adalah, pertama, orang yang telah membuktikan keberanian untuk berlaga dalam pemilu. Terlepas kalah atau menang, keberanian mereka patut dihargai.

Kedua, the losers, sedikit atau banyak, telah membangun dan memiliki network di daerah masing-masing. Selama kampanye, mereka telah membangun komunikasi, saling pengertian dan kerja sama lumayan lama dengan konstituennya. Bahkan, mayoritas mereka adalah pelopor, sekecil apa pun kepeloporannya di masyarakat. Ada juga yang tidak. Namun, dilihat dari profil masing-masing, hampir bisa dikatakan mayoritas mereka adalah pemimpin. Pendek kata, mereka memiliki kapital sosial-uang, jaringan, dan kepercayaan (Putnam, 1993).

Ketiga, jumlah mereka yang melebihi satu juta adalah aset demokrasi kita. Bayangkan jika satu juta dari mereka menggalang kekuatan melakukan perlawanan atas proses demokrasi yang sah, ini akan menjadi kemunduran besar bagi demokrasi kita. Karena itu, kita perlu membangun agenda untuk mengonsolidasikan the losers agar kekalahannya tidak menjadi alasan untuk merusak proses demokrasi.

Konsolidasi demokrasi

Alexis de Tocqueville mengibaratkan kehidupan demokratis laksana bangunan di atas pasir, artinya amat rentan akan berbagai guncangan, (Wolfgang Merkel, 2005). Jika demokrasi tidak dilapisi dengan budaya masyarakat sipil, nasib kehidupan demokrasi akan terpuruk.

The losers adalah bagian dari masyarakat sipil. Karena itu, salah satu hal yang perlu diperhatikan agar konsolidasi demokrasi berjalan baik adalah bagaimana kita memberikan apresiasi kepada the losers atas kontribusinya dalam Pemilu 2009. Pembiaran atas mereka dalam pemilu legislatif maupun presiden mendatang akan mengakibatkan munculnya persoalan yang bisa membahayakan konsolidasi demokrasi.

Benar, dalam politik lazim ada yang kalah dan menang. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana pihak yang menang, dengan kemenangannya, bisa memberikan apresiasi atas pihak yang kalah. Ingat, mereka yang menang tidak akan selalu menjadi pihak yang menang. Sebaliknya, mereka yang kalah tidak selalu akan menjadi pihak yang kalah. Apalagi dalam sistem demokrasi, pertarungan politik masih mungkin terjadi di luar jalur politik elektoral. The losers masih memiliki kesempatan untuk bermain pada jalur politik non-elektoral, misalnya melalui organisasi profesi, LSM, dan civil society.

Atas dasar itu, apresiasi atas the losers adalah hal yang penting bagi demokrasi kita. Kita perlu mendukung the losers bahwa kegagalan kali ini bukan berarti kegagalan selamanya. Hal ini pula yang disarankan Przeworski, bahwa demokrasi akan terus terjaga jika the losers memiliki kesadaran bahwa kekalahan pada putaran pemilu bukan akhir segalanya, tetapi peluang untuk menang dalam pemilu mendatang. Hal ini lebih baik bagi mereka untuk menunggu putaran pemilu berikut daripada menjadi pemberontak. (Przeworski, 1991).

Namun, harus diakui, penanaman kesadaran seperti ini tidak mudah, perlu kesabaran terutama dari pihak yang menang dan pemerintah. Dengan kata lain, kita memerlukan pemenang yang mampu memberikan toleransi atas yang kalah. Salah satu caranya adalah bagaimana meyakinkan the losers dengan argumen, bukan dengan kekerasan. Pertanyaannya, mampukah para pemenang dan pemerintah menjalankan hal ini?

Syafiq Hasyim Deputi Direktur International Center for Islam and Pluralism, Jakarta

Nasionalisme dan Politik "Sakit Jiwa"

Dominggus Elcid Li

Bagi para nasionalis, rakyat dalam negara selalu dibayangkan sebagai ”persaudaraan setara” (horizontal comradeship), dengan mengabaikan ketidaksetaraan dan eksploitasi dalam komunitas ini (Anderson, 2006 [1983]).

Hal itu diutarakan dalam definisi Imagined Communities guna menjelaskan paradoks pengertian ”komunitas” negara.

Pandangan semacam ini kuat dalam retorika di negara-negara baru hingga 1960-an. Di Asia, stagnasi retorika nasionalisme dan kontradiksi ini dialami Jawaharlal Nehru di India (Das, 2000) dan Soekarno di Indonesia yang berujung tragedi 1965. Di RRC, Mao Tse Tung melanjutkan ide ini dengan ”revolusi kebudayaan” untuk mencapai horizontal comradership. Perlu dicatat, meski telah melakukan sekian jilid revolusi kebudayaan, tidak berarti RRC telah dan akan lepas dari kontradiksi ini.

Pascanegara Orde Baru

Negara Orde Baru, meminjam istilah Dhakidae (2003), hingga akhir hayatnya, melakukan politik massa mengambang. Dalam paradigma ini hubungan elite penguasa dengan ”rakyat” hanya ada di tataran simbolik, tidak dalam kenyataan sehari-hari.

Ketidakmampuan Orde Baru menjawab kontradiksi di masyarakat kian kontras dengan definisi ”umat” yang eksistensinya lebih nyata dibandingkan jargon untuk rakyat partai-partai politik saat itu. Persaudaraan setara menemukan maknanya di sana.

Pasca-Orde Baru, berbagai cara dilakukan untuk menjawab kontradiksi ini. Berbagai organisasi keagamaan bertransformasi menjadi partai-partai baru dan mengambil bentuk serupa seperti dalam Pemilu 1955. Dalam perjalanannya, konsep ”rakyat” dan ”umat” tidak mudah dipertemukan. Contohnya, baik PAN maupun PKB selalu ada dalam posisi mendua dalam gerak majunya untuk memperbarui horizontal comradeship. Hal serupa dialami PKS sebagai partai kader yang mencoba untuk populis.

Sedangkan partai-partai nasionalis, semacam PDI-P, tetap ada dalam situasi yang sama pada tahun 1965. Kaum Marhaen masih retorika yang tidak mudah menemukan bentuk nyatanya. Retorika yang dibawa Megawati pun tetap pada masa lampau.

Para bekas jenderal sebagai pilar utama Orde Baru ”bergerilya” dengan sejumlah partai politik baru. Partai Demokrat disimbolkan sebagai partai kaum modern dan demokratis. SBY disimbolkan sebagai ”Jenderal yang tidak bermasalah dengan HAM”. Tetapi oleh berbagai kalangan dikritik karena ”peragu” dalam menjawab kontradiksi kebijakan ekonomi yang menomorsatukan investor-pebisnis dan tidak mampu membela ”rakyat”. Di sini rakyat adalah yang ”ada” di pinggiran kekuasaan politik-ekonomi dan tidak bisa bersuara.

Kritik terhadap SBY ini coba dijawab Prabowo dengan kehadiran Gerindra. Platform ekonomi disusun sebagai antidominasi ”pemodal asing”, tetap tidak menjawab kontradiksi internal tentang oligarki pribumi yang telah tumbuh sejak era Soeharto.

Rakyat ”Zelf-Bewust”

Kita semua adalah ”anak ingatan” Orde Baru dan hidup dalam kontradiksi yang diwariskan.

Kontradiksi pertama, dalam pengorganisasian parpol kita tidak mampu keluar dari politik massa mengambang maupun turunannya. Politik di fase ini dimengerti dan dijalankan sebagai aktivitas padat modal (capital). Maka, yang tidak punya modal bukan bagian dari lingkaran inti.

Kontradiksi kedua, politik padat modal akhirnya hanya akan tiba di titik bagaimana alur modal akan mengalir. Kedua kubu politik terkini menjelaskan kontradiksi lanjutan politik padat modal. Sudut yang diwakili SBY adalah milik para pemodal yang berpandangan, asal-usul pemilik modal tidak perlu diperhitungkan, selain modal itu sendiri. Sedangkan Megawati-Prabowo mewakili pandangan para pemilik modal ada dua jenis: ”pribumi” dan ”asing”. Kedua kontradiksi ini menghasilkan ilusi ganda.

Padahal, bagi orang Indonesia, rasa persaudaraan setara itu hingga kini masih dirindukan. Dalam contoh populer diwakili Laskar Pelangi yang mengusung pesan: persahabatan, kemandirian, dan prinsip materi bukanlah segalanya. Ide yang diusung Laskar Pelangi paralel dengan pidato Bung Karno pada tahun 1948.

Pada tahun itu Bung Karno (Soekarno, 1948:59) berpidato: ”Buatlah rakjat-djelata kita zelf- bewust!” Ia menjelaskan, rakyat jelata harus dibuat sadar arti golongannya sendiri. Mungkin ia berharap, suatu saat rakyat jelata di Indonesia mampu berbicara untuk membela diri sendiri. Kini jangankan zelf-bewust (sadar diri), sebaliknya rakyat jelata terjebak ”ilusi ganda” dan sebagian menjadi pasien rumah sakit jiwa. Semoga tragedi ini bisa dimengerti para kandidat presiden.

Dominggus Elcid Li Anggota Persindo (Persaudaraan Indonesia); Co-Editor Jurnal Academia NTT

Menggugat Industri Politik

Garin Nugroho

Televisi Indonesia luar biasa dalam meliput pemilu legislatif. Namun, jika tidak cukup berani mengkritisi, bangsa ini akan kehilangan masyarakat politiknya.

Masyarakat tidak lagi menjadi warga negara, yang punya ikatan atas dasar cita-cita berbangsa, tetapi menjadi warga konsumen dan warga penonton. Masyarakat Indonesia juga akan kehilangan negarawan yang ditunggu ucapannya oleh pemirsa dalam situasi dan kondisi apa pun. Yang tertinggal hanya ikatan hiburan olok-olok, tragedi, dan puncak drama politik dengan medium pemilu penuh kemasan.

Inilah ucapan seorang pembuat dokumenter dari Jerman melihat aneka bentuk program televisi terkait pemilu legislatif, saat televisi berubah menjadi televisi pemilu dan terjadi lomba kompetisi menarik perhatian masyarakat menuju rating.

Harus dicatat, sejak awal kelahirannya, hubungan televisi dengan demokratisasi telah menjadi kajian sendiri yang penuh dialektika. Sebutlah relasi yang saling memakan alias kanibalistik yang dikumandangkan Bernard Ingham dari Kantor Pers Kementerian Inggris (1991) atau hubungan penuh adaptasi lewat kajian Blumer dan Gurevitch, atau kajian yang menekankan pluralisme lewat pengamatan Seaton dan Pimmlot. Semua melahirkan bentuk-bentuk program inovatif yang memperkaya nilai-nilai masyarakat demokratis.

Contohnya adalah lahirnya TVOne yang harus dipuji karena mendeklarasikan diri sebagai Televisi Pemilu dengan program inovatif yang melahirkan kompetisi antarstasiun televisi dalam mengelola program komunikasi politik.

Teknokapitalis politik

Pemilu 2009 hakikatnya adalah pemilu di tengah era politik, bisnis, dan industri populer. Kondisi ini telah diramalkan dalam iklan televisi RCA pertama kali di surat kabar Amerika (1950), ”Televisi adalah mimbar politik terbesar di ruang keluarga”.

Sejarah kemudian mencatat lahirnya era perlombaan keterampilan mengelola kandidat dan citra partai lewat industri televisi sebagai teknokapitalisme. Bentuknya serba melipatgandakan penyebaran, percepatan, dan sifatnya yang terus-menerus dan terbuka.

Jangan heran, saat itu Eishenhower memilih duduk di studio televisi, sebelum menyapa langsung basis-basis politiknya yang tersebar luas. Televisi adalah lompatan kuantum untuk masuk ke pelosok masyarakat, dari ruang keluarga, ruang tunggu bandara, hingga ke bar-bar. Inilah era ketika televisi dikelola menjadi mimbar headline berita politik di tiap detiknya.

Bisa ditebak, relasi televisi dengan pemilu senantiasa seperti Dewa Yanus dalam mitologi Yunani, senantiasa berwajah dua. Di satu sisi, televisi menjadi medium sosialisasi, konsultasi publik, dan dialog demokratisasi yang terbuka dan inovatif. Di sisi lain, politik justru menjadi budak televisi sebagai industri kapitalis. Pemilu tidak lebih sebagai tontonan alias dikelola layaknya program komersial yang mengejar rating dengan menghalalkan segala cara.

Coba simak, hanya di Indonesia, para kandidat legislator berperilaku layaknya pengikut kuis di televisi, ramai-ramai mau melontarkan yell-yell yang kadang tidak sesuai dengan karakter gerakan politik dan kenegarawanan.

Simak pula, pemirsa hampir tidak bisa membedakan status dan peran pelawak, pemandu acara, hingga politikus, bahkan iklan-iklan politik hampir 95 persen hanya iklan mengingatkan nama, lambang, nomor partai, dan wajah tokoh. Sebuah gejala ketakutan politikus atas pengakuan publik.

Alhasil, iklan menjadi politik hafalan yang lebih pada penetrasi tayangan daripada inovasi komunikasi politik. Kita menjadi mafhum jika komunikasi politik telah kehilangan fungsi pendidikan warga negaranya.

Politik ”rating”

Dilema industri politik sebenarnya terletak pada dua aspek. Pertama, industri politik masuk dalam era kompetisi televisi yang jauh dari kompetisi yang sehat melayani masyarakat sipil.

Yang muncul adalah lomba meraih rating dengan jurus meraih perhatian tiap detik, lewat program-program dengan jurus gampangan guna meraih penonton. Yakni serba hadiah, konsumtif, vulgar, olok-olok, instant, serba kemasan, sering abai pada etika yang melekat di televisi. Sebut, etika konsumen, etika jurnalistik, etika politik, dan lainnya. Sebut acara kekerasan dalam keluarga, atau acara anak-anak dengan kemasan dewasa.

Dilema kedua, pemilu legislatif ini ditandai dengan popularitas partai yang merosot, juga melahirkan kandidat dan partai baru yang tidak memiliki prestasi publik. Akibatnya, televisi menjadi mimbar penetrasi perkenalan serta iklan kemampuan kerja dan cita-cita partai maupun kandidat yang ingin serba melompat. Ironisnya lagi, televisi juga menjadi mimbar laporan keberhasilan pembangunan. Para menteri berlomba memasang iklan institusi dan talk show yang berlebihan.

Situasi itu menjadikan wajah pemilu di televisi serba paradoksal. Di satu sisi penuh kemasan, tetapi kehilangan esensi, penuh tokoh yang menghibur tetapi kehilangan negarawan yang memesona, terbuka tetapi kehilangan etika politik seperti nilai rasa hormat, ingar-bingar tetapi sering terkikis daya ucap kebangsaannya, penuh lompatan inovasi tetapi juga kedangkalan.

Jika sifat kritis terhadap industri politik tidak melekat pada para elite politik, bisa ditebak, masa depan politik Indonesia dipenuhi elite politik yang serba vulgar, instant, konsumtif, serba gaya, tetapi tak memiliki esensi profesionalisme politik.

Artinya, elite politik layaknya produk iklan dan selebriti, serba pandai bicara dan terampil tampil di televisi, tetapi dalam realitas, warga negara tidak merasakan dinamika kerja kebangsaan memecahkan masalah-masalah hidup mereka sehari-hari.

Alhasil, kita kehilangan warga negara dengan hak-hak dan kewajiban yang perlu ditumbuhkembangkan dalam ikatan kebangsaan. Yang tersisa hanya warga penonton dan warga konsumen yang diikat hiburan, tontonan olok-olok tanpa respek, dan politik sebagai opera sabun yang dipenuhi hadiah serta impian.

Garin Nugroho Pemerhati Komunikasi Politik

Kekalahan, Kemenangan, Keindahan

Gede Prama

Entah sejak kapan, sudah lama manusia hidup hanya dengan sebuah tema: memburu kemenangan, mencampakkan kekalahan.

Di Jepang dan berbagai belahan dunia, banyak orang mengakhiri hidupnya hanya karena kalah. Hal-hal yang melekat pada kekalahan dinilai serba negatif: jelek, hina.

Sekolah sebagai tempat untuk menyiapkan masa depan juga ikut-ikutan. Melalui program serba juara, sekolah menguatkan keyakinan ”kalah itu musibah”. Tempat kerja juga serupa, tak ada yang absen dari kegiatan sikut-sikutan. Semua mau naik pangkat, tak ada yang ingin turun. Terutama dunia politik, kekalahan hanyalah kesialan. Dan aroma seperti inilah yang mewarnai Indonesia pada awal April 2009, menjelang pemilu dan pilpres.

Kalah juga indah

Tidak ada yang melarang manusia mengejar kemenangan. Ia pembangkit energi yang membuat kehidupan berputar, pemberi semangat agar manusia tidak kelelahan. Tapi, seberapa besar energi dan semangat manusia, bila putaran waktunya kalah, tidak ada yang bisa menolaknya.

Karena itu, orang bijaksana melatih diri untuk tersenyum di depan kemenangan maupun kekalahan. Berjuang, berusaha, bekerja, berdoa tetap dilakukan. Namun, bila kalah, hanya senyuman yang memuliakan perjalanan.

Dihormati karena menang itu indah. Namun, tersenyum di depan kekalahan, hanya orang yang mendalam pandangannya yang bisa melakukan. Sebagian orang bijaksana malah bergumam, kekalahan lebih memuliakan perjalanan dibandingkan kemenangan. Di depan kekalahan, manusia sedang dilatih, dicoba, dihaluskan. Kekalahan di jalan ini berfungsi menghaluskan.

Kesabaran, kerendahhatian, ketulusan, keikhlasan, itulah kualitas-kualitas yang sedang dibuka oleh kekalahan. Ia yang sudah membuka pintu ini akan berbisik, kalah juga indah!

Jarang terjadi ada manusia mengukir makna mendalam di tengah gelimang kemenangan. Terutama karena kemenangan mudah membuat manusia lupa diri. Para pengukir makna yang mengagumkan, seperti Kahlil Gibran, Jalalludin Rumi, Rabindranath Tagore, Thich Nhat Hanh, semuanya melakukannya di tengah kesedihan. HH Dalai Lama bahkan menerima Hadiah Nobel Perdamaian sekaligus penghargaan sebagai warga negara kelas satu oleh Senat AS setelah melewati kesedihan dan kekalahan puluhan tahun di pengasingan.

Memaknai kekalahan

Mengukir makna memang berbeda dengan mengukir kayu. Dalam setiap konstruksi makna terjadi interaksi dinamis antara realitas sebagaimana apa adanya dan kebiasaan seseorang mengerti (habit of undestanding). Ia yang biasa mengerti dalam perspektif tidak puas, serba kurang, selalu menuntut lebih, akan melihat kehidupan tak menyenangkan ada di mana-mana. Sebaliknya, ia yang berhasil melatih diri untuk selalu bersyukur, ikhlas, tulus lebih banyak melihat wajah indah kehidupan.

Belajar dari sini, titik awal memaknai kekalahan adalah melihat kebiasaan dalam mengerti, the blueprint is found within our mind. Membiarkan kemarahan dan ketidakpuasan mendikte pengertian akan memperpanjang penderitaan yang sudah panjang.

Seorang guru mengambil gelas yang berisi air, meminta muridnya memasukkan sesendok garam dan diaduk. Saat dicicipi, asin rasanya. Setelah itu, guru ini membawa murid itu ke kolam luas dengan sesendok garam yang dicampurkan ke air kolam dan rasanya tidak lagi asin.

Itulah batin manusia. Bila batinnya sempit dan rumit (fanatik, picik, mudah menghakimi), kehidupan pun menjadi mudah asin rasanya (marah, tersinggung, sakit hati). Saat batinnya luas, tak satu hal pun bisa membuat kehidupan menjadi mudah asin.

Dengan modal ini, lebih mudah memaknai kekalahan bila manusia berhasil mendidik diri berpandangan luas sekaligus bebas. Berusaha, bekerja, belajar, berdoa adalah tugas kehidupan. Namun, seberapa pun kehidupan menghadiahkan hasil dari sini, peluklah hasilnya seperti kolam luas memeluk sesendok garam.

Apa yang kerap disebut menang-kalah, sukses-gagal, dan hidup-mati hanyalah wajah putaran waktu. Persis saat jam menunjukkan pukul 06.00, saat Matahari terbit. Pukul 18.00, putaran waktu Matahari tenggelam. Memaksa agar pukul 06.00 Matahari tenggelam tidak saja akan ditertawakan, tetapi juga korban karena kecewa.

Memang terdengar aneh. Pejalan kaki yang sudah jauh ke dalam diri bila ditanya mau kaya atau miskin, akan memilih miskin. Atas menang atau kalah, ia akan memilih kalah. Kaya adalah berkah, namun sedikit ruang latihan di sana. Meski ditakuti banyak orang, kemiskinan menghadirkan daya paksa tinggi untuk senantiasa rendah hati. Menang memang membanggakan, namun godaan ego dan kecongkakan besar sekali. Nyaris semua orang tak ingin kalah, tetapi kekalahan adalah ibu kesabaran.

Seorang guru meditasi yang sudah sampai di sini pernah berbisik, finally I realize there is no difference between mind and sky. Inilah buah meditasi. Batin menjadi seluas langit. Tidak ada satu awan (awan hitam kesedihan, awan putih kebahagiaan) pun yang bisa mengubah langit. Dan ini lebih mungkin terjadi dalam manusia yang sudah berhasil memaknai kekalahan.

Gede Prama Bekerja di Jakarta; Tinggal di Bali Utara

Arsip Blog