Kamis, 02 Juli 2009

Catatan Menjelang Pemilu Presiden 8 Juli

VALINA SINGKA SUBEKTI

Selain berita berpulangnya legendaris ”The King of Pop” Michael Jackson, ada tiga berita penting yang saya catat menjelang pilpres.

Pertama, publikasi Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengatakan bahwa 60 persen pemilih pendidikannya rata-rata tamatan SD atau tidak tamat SD.

Kedua, sebesar 2,1 juta daftar pemilih tetap (DPT) fiktif ditemukan di Jawa Timur. Ketiga, spanduk sosialisasi KPU yang disebar ke KPUD seluruh Indonesia berisi contoh mencontreng dengan menandai nomor urut salah satu pasangan capres-cawapres.

Mengapa tiga hal itu saya catat? Hasil LSI menguatkan realitas masih rendahnya kualitas pemilih Indonesia. Padahal, sistem pemilihan presiden langsung membutuhkan pemilih rasional yang memilih berdasarkan pertimbangan program, bukan emosi semata.

Masih adanya DPT fiktif semakin mencuatkan kelemahan administrasi pemilu. Kehebohan pemilih yang kehilangan hak pilihnya, seperti pada pemilu legislatif lalu, tampaknya akan berulang kembali.

Sementara spanduk KPU yang mengesankan ”berpihak” dan ”tidak netral”, baik disadari maupun tidak, semakin merusak independensi KPU dan melemahkan trust (kepercayaan) masyarakat. Tiga masalah ini secara berkelindanan pasti memengaruhi kualitas pilpres.

Indonesia menghadapi masalah klasik: kesempatan pendidikan. Struktur pendidikan sampai saat ini masih seperti piramida. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tipis lapisannya. Kemiskinan, akses lapangan kerja yang sulit, dan struktur pendapatan yang timpang menjadi semacam lingkaran setan. Pendidikan menjadi sesuatu yang mahal dan sulit dijangkau sehingga memberi andil pada rendahnya kualitas pemilih. Mereka umumnya tinggal di pedesaan yang wilayahnya secara geografis kadang sulit dijangkau informasi.

Masih ingat Pemilu 2004, di pelosok Banten yang tidak jauh dari Jakarta, pemilih tidak mampu membaca nama caleg yang tertera pada surat suara. Membaca saja sulit, apalagi memahami tawaran program calon. Hal serupa terjadi di tempat pemungutan suara (TPS) di Jakarta Selatan pada Pemilu Legislatif 2009 karena masih ada kelompok ibu-ibu yang tidak tahu bagaimana cara mencontreng dengan benar.

Dilematis

Memang dilematis bagi negara yang memilih sistem demokrasi, tetapi tidak didukung tingkat pendidikan dan kesejahteraan rakyat yang memadai. Padahal, demokrasi bekerja efektif dalam masyarakat yang tingkat pendidikan dan kesejahteraannya cukup. Pada saat yang sama pemilu berkualitas menghendaki pemilih berkualitas.

Mengapa diperlukan pemilih berkualitas? Sebab, pemilu puncaknya perhelatan demokrasi. Di situlah ”daulat” rakyat bekerja dalam bentuknya yang paling jelas. Rakyat berdaulat penuh menentukan siapa yang akan menjadi wakil mereka di parlemen dan pemerintahan. Di sini dibutuhkan kemampuan pemilih menyeleksi dan memilih calon terbaik. Bagaimana mungkin mereka dapat memilih secara benar dan rasional apabila tidak disertai oleh pengetahuan dan keterampilan untuk memilih secara benar dan rasional?

Ini bukanlah pekerjaan mudah sebab rendahnya kualitas pemilih Indonesia berbaur dengan budaya permisif dan pragmatisme, kualitas partai, dan elite politik yang rendah serta birokrasi yang belum netral dan kurang profesional. Pemilu Jepang dilaksanakan oleh Departemen Dalam Negeri, tetapi mengapa pemilunya demokratis? Itu karena PNS Jepang netral dan profesional. Polisinya juga profesional sehingga mereka tak memerlukan Bawaslu atau Panwaslu. Kecurangan pemilu cukup dilaporkan kepada polisi untuk ditindaklanjuti.

Sebenarnya pemilih kita, meskipun pendidikannya rendah, dapat menjadi potensi besar apabila diimbangi oleh pemahaman dan kapasitas KPU mengenai pentingnya pendidikan pemilih. Secara sosiologis dan kultural pemilih kita relatif mudah diarahkan dan dididik.

Ironisnya, potensi yang demikian dibiarkan saja dan justru dijadikan obyek partai dan para calon untuk meraih kemenangan pemilu. Kalau ini terus berlangsung, pemilu menjadi sekadar seremoni demokrasi prosedural semu belaka.

Selain komitmen penyelenggara pemilu, diperlukan dukungan negara sebagai penyandang dana. Sebaiknya pendidikan pemilih masuk ke dalam ketentuan UU Pemilu yang mengatur tugas dan kewajiban KPU sehingga bersifat imperatif. Negara yang sudah maju demokrasinya pun memberi porsi besar pendidikan pemilih. Bahkan, menjadi bagian administrasi pemilu.

Penyelenggara pemilu di Amerika Serikat, Jepang, Meksiko, dan Australia mengintegrasikan program pendidikan pemilih ke dalam pendidikan kewarganegaraan dan kurikulum sekolah. Bahkan, di Jepang sejak SD sudah diberikan simulasi pemilu. Di Australia, tepatnya di Canberrra, ada Pusat Pendidikan Pemilih (Australian Election Center) yang jadwalnya selalu penuh untuk satu tahun.

Pelajar mulai dari tingkat SD berdatangan mempelajari seluk-beluk pemilu. Di Amerika, pendidikan pemilih, selain menggunakan bahasa Inggris, juga menggunakan bahasa Spanyol dan bahasa China sebab masih banyak yang berbicara dalam bahasa tersebut.

Pilar demokrasi

KPU sebenarnya dapat berperan sebagai pilar demokrasi, membantu menutupi kelemahan modal sosial Indonesia. Selain bersikap profesional, independen, dan cermat melaksanakan administrasi pemilu, juga mengintensifkan pendidikan pemilih.

KPU 2004 telah memulainya dengan mendirikan Pusat Dokumentasi Pemilu, antara lain, mengundang pelajar SMA ke KPU untuk belajar mengenai pemilu. Juga sebenarnya sudah direncanakan pembangunan pusat pendidikan pemilih secara bertahap di seluruh Indonesia.

Meski demikian, ”waktu” dan ”kesempatan” masih kurang berpihak akibat dari lemahnya ”agenda setting” demokratisasi Indonesia. Masih kurang kesadaran para pengambil kebijakan mengenai betapa strategisnya institusi KPU untuk dijadikan sebagai lokomotif percepatan menuju demokrasi yang substansial.

Mendidik dan mencerdaskan pemilih memang tidak seperti membalik tangan. Perlu ketekunan dan upaya sistematis sehingga dapat menjadi alat pembentukan budaya politik demokratis, yaitu budaya politik partisipatif atau sering disebut sebagai the civic culture. Mungkinkah terwujud pada Pemilu 2014?

PARTAI POLITIK Parpol Baru, yang Bertahan dan yang Tersingkir

SUWARDIMAN

Orde reformasi membalikkan sistem kepartaian menjadi sistem multipartai yang diikuti fenomena hadirnya partai politik baru. Di antara partai-partai baru yang muncul dalam setiap penyelenggaraan pemilu itu, hanya beberapa yang mampu bertahan. Lebih banyak lagi yang menjadi partai politik sekali tampil untuk kemudian tersingkir atau membentuk partai baru lain yang berbeda pada pemilu berikutnya. 

Dalam perspektif perilaku pemilih, rendahnya identifikasi kepartaian pemilih Indonesia menjadi salah satu faktor yang membuka peluang bagi parpol-parpol baru merebut suara. Kehadiran parpol baru ini mengubah dinamika politik dalam setiap penyelenggaraan pemilu. Kecenderungan seragamnya isu dan program yang ditawarkan oleh parpol selama ini menjadi faktor yang menyulitkan pemilih membedakan satu parpol dan parpor lainnya. Pada akhirnya, pertarungan politik terasa berkutat pada dikotomi partai berbasis nasionalis dan partai berbasis Islam.

Pada Pemilu 1999 lahir 45 parpol baru, 18 parpol di antaranya merebut kursi DPR. Pada pemilu pertama era reformasi, akumulasi suara yang direbut parpol baru sebanyak 35 juta suara atau 33 persen dari total suara sah. Sementara kursi Dewan di tingkat nasional yang berhasil direbut oleh 18 parpol itu sebanyak 131 kursi. Jumlah ini setara 28 persen dari total kursi yang tersedia di Senayan.

Pada Pemilu 2004 tercatat 24 parpol peserta pemilu. Di antara parpol-parpol itu, tercatat beberapa parpol yang baru terbentuk menjelang pemilu yang untuk pertama kalinya dilakukan secara langsung. Parpol pendatang baru itu, antara lain, adalah Partai Demokrat, Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PIB), dan Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PDK).

Selain parpol baru, Pemilu 2004 juga diramaikan oleh sejumlah peserta Pemilu 1999 yang tidak lolos electoral threshold dan berganti nama, di antaranya adalah Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Sarikat Indonesia (PSI), dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI). Tercatat pula beberapa parpol yang merupakan pecahan partai besar peserta Pemilu 1999, seperti Partai Bintang Reformasi (pecahan dari PPP) dan Partai Penegak Demokrasi Indonesia (pecahan dari Partai Demokrasi Indonesia).

Hasil Pemilu 2004 mencatat 16 parpol yang meraih kursi DPR, separuhnya adalah parpol baru. Adapun pada Pemilu 2009 yang diikuti 38 parpol, sebanyak 18 peserta adalah parpol baru. Dua partai baru, Gerakan Indonesia Raya dan Hati Nurani Rakyat, lolos parlementary threshold dan meraih kursi DPR.

Eksistensi partai

Partai Keadilan Sejahtera menjadi parpol yang mampu mempertahankan eksistensinya dengan konsistensi perolehan suara dalam setiap pemilu. Partai yang merebut 7,3 persen suara pada Pemilu 2004 ini mampu mempertahankan basis perolehan suara pada Pemilu 2009 dengan merebut 7,8 persen suara.

Fenomena sukses partai baru dengan mencolok dipertontonkan oleh Partai Demokrat. Pada Pemilu 2004, partai ini mencatat sejarah sebagai parpol baru yang langsung menggebrak peta perpolitikan nasional dengan keberhasilannya meraup 8,46 juta suara (7,5 persen) dan berhasil mendudukkan 56 kadernya di Senayan. Tidak cukup di situ, prestasi cemerlang Partai Demokrat ditoreh dengan kesuksesan mengusung Susilo Bambang Yudhoyono sebagai orang nomor satu di negeri ini. Pada Pemilu 2009, partai berlambang bintang segitiga ini menjadi pemenang menggeser dominasi kekuatan partai lama.

Ada sejumlah faktor yang menentukan parpol bisa bertahan atau tersingkir. Basis massa yang jelas dan figur ketokohan yang kuat terbukti bisa menjadi faktor yang cukup menentukan untuk menggalang pemilih dari kelompok masyarakat yang masih kuat kultur primordialisme.

PKB dan Partai Amanat Nasional (PAN) adalah dua partai yang besar dari kekuatan identitas kelompok pemilihnya, tetapi kurang berhasil mempertahankan kekuatan basis massanya. Ini tecermin dari kecenderungan melorotnya perolehan suara kedua partai tersebut.

PKB secara jelas lekat dengan kelompok masyarakat Nahdlatul Ulama. Basis massa yang jelas dan disertai jaringan organisasi yang sudah tertata menjadi salah satu kekuatan PKB. Pada Pemilu 1999, PKB langsung melejit dengan perolehan 13,3 juta suara (12,6 persen) dan menduduki 51 kursi DPR. Gambaran yang sama juga berlaku pada PAN. Dengan modal basis pemilih Muhammadiyah, PAN pada Pemilu 1999 meraup 7,5 juta suara (7,1 persen) dan menduduki 34 kursi DPR.

Kedua partai tersebut sesungguhnya memiliki sosok ketokohan yang kuat. PKB pernah hadir dengan sosok kuat Abdurrahman Wahid dan PAN dengan Amien Rais. Sayangnya, basis massa yang khas dan hadirnya tokoh pemimpin yang kuat tidak cukup menjamin eksistensi suara partai dalam pemilu. Perolehan suara kedua partai itu merosot pada pemilu berikutnya. Perpecahan dan konflik internal menggoyang soliditas kedua parpol ini sekaligus memicu kemerosotan perolehan suara mereka.

Suara yang berhasil diraih PKB turun menjadi 11,99 juta suara (10,6 persen) dan PAN hanya mampu mempertahankan 7,3 juta suara (6,5 persen) pada Pemilu 2004. Pada Pemilu 2009, perolehan suara kedua partai itu melorot lagi. PKB kehilangan lebih dari separuh suaranya, hanya 5,2 juta suara atau 4,98 persen dari total suara sah. Sementara PAN hanya mampu bertahan dengan 6,2 juta suara (6 persen).

Ketokohan

Sebenarnya, keberhasilan sejumlah partai baru meraup suara di ajang kontestasi tidak bisa dilepaskan dari peran ketokohan pemimpin partai tersebut. Ramlan Surbakti (Kompas, 6/1/2003) menyebutkan, titik terlemah parpol di Indonesia adalah rendahnya derajat kesisteman dalam suatu partai. Hal ini disebabkan oleh peran kepemimpinan partai lebih dominan daripada kedaulatan anggota dan juga kepentingan faksi, kelompok lebih dominan daripada kepentingan partai sebagai organisasi.

Peran pemimpin dominan akan menimbulkan akibat buruk apabila sang pemimpin menggunakan karismanya untuk melanggengkan dominasinya. Sebaliknya, peran dominan pemimpin menimbulkan akibat yang positif bila sang pemimpin menggunakan karismanya membangun kesisteman dalam partai.

Kegagalan parpol menjalankan peran ideal ini mendorong apatisme masyarakat terhadap parpol. Beragam survei, termasuk yang dilakukan harian ini, menyimpulkan buruknya citra parpol di mata publik. Apatisme telah mempertebal jarak dan memperlonggar ikatan parpol terhadap pemilihnya.

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa keterikatan, terutama ikatan ideologi, antara pemilih dan partainya di Indonesia masih sangat lemah. Di sisi lain, pilihan publik lebih banyak didorong oleh peran ketokohan. Fenomena pilkada, di mana dua entitas yang menentukan, yakni partai pengusung dan tokoh yang diusung, seolah menjadi ajang penentuan faktor apa yang paling kuat memengaruhi arah pilihan masyarakat.

Hasil survei pascapencoblosan (exit poll) yang diselenggarakan Litbang Kompas pada pemilihan gubernur di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur menunjukkan hasil yang seragam. Masyarakat pemilih menentukan arah pilihan mereka lebih dipengaruhi oleh sosok ketokohan calon yang bertarung ketimbang kesamaan parpol yang dipilihnya dalam pemilu.

Hasil survei pada exit poll saat pemilihan gubernur DKI Jakarta (8/8/2007) menyimpulkan, sebesar 78,9 persen responden memilih karena faktor kepercayaan pada kemampuan calon gubernur yang dipilih. Hanya 14,6 persen yang menyebutkan memilih satu pasangan karena kesesuaian mereka dengan partai pengusungnya.

Sementara itu, pada survei pascapencoblosan saat berlangsung Pilkada Jabar (13/4/2008), hasilnya menunjukkan bahwa 61,8 persen responden yang memilih atas dasar kecocokan mereka dengan calon yang dipilihnya. Sementara 20,4 persen lainnya memilih calon yang diusung partai pilihan mereka.

Gambaran pilkada yang mengawinkan dua entitas, parpol dan tokoh calon, kurang lebih juga tergambar pada pelaksanaan Pemilu 2009. Hasil survei Litbang Kompas yang dilakukan sebelum pemilihan anggota legislatif menunjukkan kecenderungan serupa. Dari 3.000 responden yang terjaring dalam survei tersebut, 43 persen menyatakan lebih suka memilih nama calon ketimbang lambang parpol dan 27,3 persen yang menyatakan sebaliknya. Sisanya, 29,5 persen, tidak mempermasalahkan memilih partai atau caleg.

(LITBANG KOMPAS)