Kamis, 02 Juli 2009

PARTAI POLITIK Parpol Baru, yang Bertahan dan yang Tersingkir

SUWARDIMAN

Orde reformasi membalikkan sistem kepartaian menjadi sistem multipartai yang diikuti fenomena hadirnya partai politik baru. Di antara partai-partai baru yang muncul dalam setiap penyelenggaraan pemilu itu, hanya beberapa yang mampu bertahan. Lebih banyak lagi yang menjadi partai politik sekali tampil untuk kemudian tersingkir atau membentuk partai baru lain yang berbeda pada pemilu berikutnya. 

Dalam perspektif perilaku pemilih, rendahnya identifikasi kepartaian pemilih Indonesia menjadi salah satu faktor yang membuka peluang bagi parpol-parpol baru merebut suara. Kehadiran parpol baru ini mengubah dinamika politik dalam setiap penyelenggaraan pemilu. Kecenderungan seragamnya isu dan program yang ditawarkan oleh parpol selama ini menjadi faktor yang menyulitkan pemilih membedakan satu parpol dan parpor lainnya. Pada akhirnya, pertarungan politik terasa berkutat pada dikotomi partai berbasis nasionalis dan partai berbasis Islam.

Pada Pemilu 1999 lahir 45 parpol baru, 18 parpol di antaranya merebut kursi DPR. Pada pemilu pertama era reformasi, akumulasi suara yang direbut parpol baru sebanyak 35 juta suara atau 33 persen dari total suara sah. Sementara kursi Dewan di tingkat nasional yang berhasil direbut oleh 18 parpol itu sebanyak 131 kursi. Jumlah ini setara 28 persen dari total kursi yang tersedia di Senayan.

Pada Pemilu 2004 tercatat 24 parpol peserta pemilu. Di antara parpol-parpol itu, tercatat beberapa parpol yang baru terbentuk menjelang pemilu yang untuk pertama kalinya dilakukan secara langsung. Parpol pendatang baru itu, antara lain, adalah Partai Demokrat, Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PIB), dan Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PDK).

Selain parpol baru, Pemilu 2004 juga diramaikan oleh sejumlah peserta Pemilu 1999 yang tidak lolos electoral threshold dan berganti nama, di antaranya adalah Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Sarikat Indonesia (PSI), dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI). Tercatat pula beberapa parpol yang merupakan pecahan partai besar peserta Pemilu 1999, seperti Partai Bintang Reformasi (pecahan dari PPP) dan Partai Penegak Demokrasi Indonesia (pecahan dari Partai Demokrasi Indonesia).

Hasil Pemilu 2004 mencatat 16 parpol yang meraih kursi DPR, separuhnya adalah parpol baru. Adapun pada Pemilu 2009 yang diikuti 38 parpol, sebanyak 18 peserta adalah parpol baru. Dua partai baru, Gerakan Indonesia Raya dan Hati Nurani Rakyat, lolos parlementary threshold dan meraih kursi DPR.

Eksistensi partai

Partai Keadilan Sejahtera menjadi parpol yang mampu mempertahankan eksistensinya dengan konsistensi perolehan suara dalam setiap pemilu. Partai yang merebut 7,3 persen suara pada Pemilu 2004 ini mampu mempertahankan basis perolehan suara pada Pemilu 2009 dengan merebut 7,8 persen suara.

Fenomena sukses partai baru dengan mencolok dipertontonkan oleh Partai Demokrat. Pada Pemilu 2004, partai ini mencatat sejarah sebagai parpol baru yang langsung menggebrak peta perpolitikan nasional dengan keberhasilannya meraup 8,46 juta suara (7,5 persen) dan berhasil mendudukkan 56 kadernya di Senayan. Tidak cukup di situ, prestasi cemerlang Partai Demokrat ditoreh dengan kesuksesan mengusung Susilo Bambang Yudhoyono sebagai orang nomor satu di negeri ini. Pada Pemilu 2009, partai berlambang bintang segitiga ini menjadi pemenang menggeser dominasi kekuatan partai lama.

Ada sejumlah faktor yang menentukan parpol bisa bertahan atau tersingkir. Basis massa yang jelas dan figur ketokohan yang kuat terbukti bisa menjadi faktor yang cukup menentukan untuk menggalang pemilih dari kelompok masyarakat yang masih kuat kultur primordialisme.

PKB dan Partai Amanat Nasional (PAN) adalah dua partai yang besar dari kekuatan identitas kelompok pemilihnya, tetapi kurang berhasil mempertahankan kekuatan basis massanya. Ini tecermin dari kecenderungan melorotnya perolehan suara kedua partai tersebut.

PKB secara jelas lekat dengan kelompok masyarakat Nahdlatul Ulama. Basis massa yang jelas dan disertai jaringan organisasi yang sudah tertata menjadi salah satu kekuatan PKB. Pada Pemilu 1999, PKB langsung melejit dengan perolehan 13,3 juta suara (12,6 persen) dan menduduki 51 kursi DPR. Gambaran yang sama juga berlaku pada PAN. Dengan modal basis pemilih Muhammadiyah, PAN pada Pemilu 1999 meraup 7,5 juta suara (7,1 persen) dan menduduki 34 kursi DPR.

Kedua partai tersebut sesungguhnya memiliki sosok ketokohan yang kuat. PKB pernah hadir dengan sosok kuat Abdurrahman Wahid dan PAN dengan Amien Rais. Sayangnya, basis massa yang khas dan hadirnya tokoh pemimpin yang kuat tidak cukup menjamin eksistensi suara partai dalam pemilu. Perolehan suara kedua partai itu merosot pada pemilu berikutnya. Perpecahan dan konflik internal menggoyang soliditas kedua parpol ini sekaligus memicu kemerosotan perolehan suara mereka.

Suara yang berhasil diraih PKB turun menjadi 11,99 juta suara (10,6 persen) dan PAN hanya mampu mempertahankan 7,3 juta suara (6,5 persen) pada Pemilu 2004. Pada Pemilu 2009, perolehan suara kedua partai itu melorot lagi. PKB kehilangan lebih dari separuh suaranya, hanya 5,2 juta suara atau 4,98 persen dari total suara sah. Sementara PAN hanya mampu bertahan dengan 6,2 juta suara (6 persen).

Ketokohan

Sebenarnya, keberhasilan sejumlah partai baru meraup suara di ajang kontestasi tidak bisa dilepaskan dari peran ketokohan pemimpin partai tersebut. Ramlan Surbakti (Kompas, 6/1/2003) menyebutkan, titik terlemah parpol di Indonesia adalah rendahnya derajat kesisteman dalam suatu partai. Hal ini disebabkan oleh peran kepemimpinan partai lebih dominan daripada kedaulatan anggota dan juga kepentingan faksi, kelompok lebih dominan daripada kepentingan partai sebagai organisasi.

Peran pemimpin dominan akan menimbulkan akibat buruk apabila sang pemimpin menggunakan karismanya untuk melanggengkan dominasinya. Sebaliknya, peran dominan pemimpin menimbulkan akibat yang positif bila sang pemimpin menggunakan karismanya membangun kesisteman dalam partai.

Kegagalan parpol menjalankan peran ideal ini mendorong apatisme masyarakat terhadap parpol. Beragam survei, termasuk yang dilakukan harian ini, menyimpulkan buruknya citra parpol di mata publik. Apatisme telah mempertebal jarak dan memperlonggar ikatan parpol terhadap pemilihnya.

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa keterikatan, terutama ikatan ideologi, antara pemilih dan partainya di Indonesia masih sangat lemah. Di sisi lain, pilihan publik lebih banyak didorong oleh peran ketokohan. Fenomena pilkada, di mana dua entitas yang menentukan, yakni partai pengusung dan tokoh yang diusung, seolah menjadi ajang penentuan faktor apa yang paling kuat memengaruhi arah pilihan masyarakat.

Hasil survei pascapencoblosan (exit poll) yang diselenggarakan Litbang Kompas pada pemilihan gubernur di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur menunjukkan hasil yang seragam. Masyarakat pemilih menentukan arah pilihan mereka lebih dipengaruhi oleh sosok ketokohan calon yang bertarung ketimbang kesamaan parpol yang dipilihnya dalam pemilu.

Hasil survei pada exit poll saat pemilihan gubernur DKI Jakarta (8/8/2007) menyimpulkan, sebesar 78,9 persen responden memilih karena faktor kepercayaan pada kemampuan calon gubernur yang dipilih. Hanya 14,6 persen yang menyebutkan memilih satu pasangan karena kesesuaian mereka dengan partai pengusungnya.

Sementara itu, pada survei pascapencoblosan saat berlangsung Pilkada Jabar (13/4/2008), hasilnya menunjukkan bahwa 61,8 persen responden yang memilih atas dasar kecocokan mereka dengan calon yang dipilihnya. Sementara 20,4 persen lainnya memilih calon yang diusung partai pilihan mereka.

Gambaran pilkada yang mengawinkan dua entitas, parpol dan tokoh calon, kurang lebih juga tergambar pada pelaksanaan Pemilu 2009. Hasil survei Litbang Kompas yang dilakukan sebelum pemilihan anggota legislatif menunjukkan kecenderungan serupa. Dari 3.000 responden yang terjaring dalam survei tersebut, 43 persen menyatakan lebih suka memilih nama calon ketimbang lambang parpol dan 27,3 persen yang menyatakan sebaliknya. Sisanya, 29,5 persen, tidak mempermasalahkan memilih partai atau caleg.

(LITBANG KOMPAS)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar