Sabtu, 20 Juni 2009

Bali

Memudarnya Loyalitas Politik


Oleh Yuliana Rini

Sekalipun PDI Perjuangan tetap menguasai ajang perebutan suara pemilih di Bali, indikasi memudarnya dukungan terhadap partai ini mulai terasakan.

Hasil Pemilu Legislatif 2009 memang tetap mengukuhkan dominasi PDI Perjuangan (PDI-P) di Bali. Pada ajang kontestasi politik kali ini, PDI-P menguasai 40,1 persen suara. Namun, jika dibandingkan dengan perolehan partai ini pada beberapa pemilu sebelumnya, perolehan suara kali ini tergolong menurun. Bahkan, jika dirunut hingga penyelenggaraan pertama kalinya pemilu di negeri ini (Pemilu 1955), penguasaan suara kalangan nasionalis kali ini tergolong yang terendah.

Dukungan menyusut

Saat era pemilu demokratis 1955 digelar, Bali secara administratif masih bergabung dengan Provinsi Nusa Tenggara atau Sunda Kecil. Dari 19 partai politik dan golongan fungsional yang bersaing, PNI yang menjadi embrio dari PDI-P mampu meraih suara terbanyak. Partai berlambang banteng ini mampu meraih simpati separuh lebih suara pemilih Bali.

Pemilu demokratis kedua, di tahun 1999, kembali partai bercorak nasionalis ini berjaya. Di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, pemilih Bali yang dikenal sangat loyal terhadap Soekarno, presiden pertama RI, mencoblos PDI-P secara mayoritas (79 persen) dan menyapu seluruh wilayah administratif pemerintahan daerah.

Kondisi demikian tetap bertahan pada Pemilu 2004, sekaligus juga menjadikan Bali sebagai salah satu dari teramat sedikit provinsi yang di seluruh kabupaten dan kotanya menjadi kantong suara partai politik secara loyal, dapat bertahan dari gempuran partai politik pesaing. Meski demikian, sebenarnya pencapaian suara PDI-P tersebut dari sisi total suara mulai menunjukkan penurunan. Saat itu, 52,5 persen suara yang berhasil diraup partai ini.

Demikian pula, indikasi memudarnya loyalitas massa terhadap partai ini mulai terasakan dalam berbagai ajang kontestasi politik lokal yang memperebutkan kursi kepala daerah. Tidak semua calon yang diusung oleh PDI-P di ajang pilkada sembilan kabupaten dan kota berhasil dimenangkan. Kabupaten Badung, misalnya, pasangan A Gede Agung dan I Ketut Sudikerta yang diusung oleh Partai Golkar dan koalisinya berhasil mengalahkan calon dari PDI-P. Demikian juga di Kabupaten Karangasem dan Gianyar, Golkar berhasil mengusung calonnya menduduki tampuk pemerintahan tertinggi di kabupaten.

Hilangnya penguasaan beberapa kursi kepala pemerintahan daerah kabupaten inilah yang terus berlanjut hingga Pemilu 2009. Jika sebelumnya setiap kabupaten dan kota berhasil di-”merah”-kan, kali ini Kabupaten Jembrana berhasil dikuasai Partai Demokrat. Selain itu, kabupaten Karangasem berhasil dikuasai Golkar. Menariknya, dengan penguasaan Kabupaten Karangasem, Golkar menjadikan wilayah tersebut dalam penguasaannya secara mutlak, yaitu sebagai pemenang pilkada kabupaten sekaligus juga suara bagi pemilu legislatif tingkat nasional. Suatu pencapaian yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah pemilu di Bali yang selama ini selalu dikuasai PDI-P.

Lama dan baru

Menyusutnya perolehan PDI-P dan munculnya Demokrat serta Golkar sebagai pemenang baru di sebagian (dua) kabupaten di Bali ini memunculkan kenyataan baru bahwa faktor homogenitas Bali dan betapa kuatnya sisi emosional penduduk akan trah Soekarno bisa saja tidak bertahan selamanya. Perubahan di Bali seakan tidak terelakkan.

Namun, sisi menarik lain adalah munculnya kekuatan politik baru sebagai penanding di provinsi ini tidak serta-merta pula dapat dikatakan mencerminkan adanya perubahan. Kenyataan demikian setidaknya terlihat dari sosok caleg yang diusung partai-partai mewakili Bali. Sebagaimana penetapan KPU, hasil Pemilu 2009 Bali memiliki sembilan kursi DPR. Golkar dan Demokrat masing-masing mendapat jatah dua kursi, sedangkan Partai Gerindra satu kursi. PDI-P meraih kursi terbanyak, empat kursi DPR.

Sosok yang tampak dari keseluruhan anggota DPR terpilih tersebut merupakan mereka yang sebagian besar merupakan anggota legislatif periode sebelumnya. Tidak hanya itu, dari sisi usia, anggota legislatif rata-rata berusia tua, di atas 50 tahun. Golkar sendiri diwakili oleh I Gusti Ketut Adhiputra yang sebelumnya Wakil Ketua DPRD Provinsi Bali. Selain itu, nama Gde Sumarjaya Linggih tercatat untuk kedua kalinya terpilih menjadi anggota DPR mewakili Bali lewat Partai Golkar. Wakil dari Demokrat pun demikian. Jero Wacik, misalnya, saat ini menjabat Menteri Kebudayaan dan Pariwisata di pemerintahan SBY-JK. Selain Jero Wacik, terdapat nama I Wayan Sugiana, dosen yang juga merupakan anggota DPR periode 2004-2009.

Wajah-wajah lama dalam bangku legislatif ini semakin dominan jika digabung dengan sosok wakil rakyat dari PDI-P. Tiga dari empat wakil dari PDI-P termasuk sosok lama yang berhasil memperpanjang masa tugasnya, yaitu I Gusti Rai Wirajaya, I Made Urip, dan Wayan Koster.

Bagi Wayan Koster, yang mengawali kariernya pada tahun 1988 sebagai peneliti di Balitbang Depdiknas dan dosen Universitas Tarumanegara, jabatan legislator ini merupakan periode kedua, demikian juga I Gusti Rai Wirajaya. Sementara bagi I Made Urip merupakan periode ketiga. I Nyoman Dhamantra, Ketua Kadin Pusat Komite Indonesia-Polandia, merupakan satu-satunya legislator dari PDI-P yang baru dalam periode 2009-2014.

Berbeda dengan anggota DPR yang sebagian besar merupakan wajah lama dengan posisi yang sudah mapan, anggota DPD dari Bali sebagian besar merupakan wajah baru dengan latar belakang pekerjaan yang bervariasi. Hanya satu orang, I Wayan Sudirta, yang untuk kedua kalinya menjabat sebagai anggota DPD. Tiga anggota DPD yang lain merupakan wajah baru, yaitu I GN Kesuma Kelakan, I Nengah Wiratha, dan I Kadek Arimbawa. I Kadek Arimbawa alias Lolak merupakan anggota DPD paling muda berusia 32 tahun. Lulusan STM Negeri Singaraja ini mempunyai latar belakang seniman yang tergabung dalam Paguyuban Lawak Bali.(Yuliana Rini/Litbang Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar