Selasa, 09 Juni 2009

Sulawesi Tengah

BUDIAWAN SIDIK ARIFIANTO

Meskipun tetap menduduki urutan pertama di Provinsi Sulawesi Tengah, kini perolehan suara Partai Golongan Karya mulai merosot. Hasil pemilu legislatif April lalu telah membuat pamor partai ini kian memudar perbawanya.

Tren penurunan suara Golkar sebenarnya sudah terpotret sejak Pemilu 1999. Meskipun masih menjadi partai pemenang di seluruh daerah, pilihan masyarakat mulai beralih dari partai ini. Saat itu, perolehan suaranya menjadi 54,5 persen.

Lima tahun kemudian, pada Pemilu 2004, kekuatannya pun semakin memudar, menjadi 38,6 persen. Sebagian benteng beringin mulai roboh, salah satunya adalah Kabupaten Poso. Kabupaten yang pernah dilanda konflik ini sebelumnya merupakan salah satu basis kekuatan yang harus rela diserahkan pada partai bercorak Kristen, yakni Partai Damai Sejahtera (PDS).

Pemilu berikutnya hasilnya semakin buruk bagi Golkar. Tidak hanya Poso, tetapi tiga daerah lain juga turut lepas dari peta kemenangan pada pemilu legislatif tahun ini. Contrengan surat suara yang terbukukan pada Pemilu 2009 hanya 18,5 persen, menyebabkan partai ini harus berbagi kapling kemenangan dengan partai lain. Partai Demokrat berhasil mengibarkan benderanya di Kabupaten Morowali, Banggai, dan Poso. Sementara itu, di daerah ibu kota provinsi direbut oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai bercorak Islam ini berhasil menancapkan benderanya di Kota Palu.

Perubahan konstelasi politik di Ranah Kaili ini cukup fenomenal. Paling tidak, ada tiga peristiwa penting yang menjadi catatan sejarah bagi dunia perpolitikan di Bumi Dato Karama itu. Sebut saja surutnya perolehan suara dan terkikisnya daerah kemenangan Golkar, naiknya pamor Demokrat dan PKS, serta cepatnya perubahan pilihan politik dari partai yang bercorak Kristen ke partai nasionalis di Poso.

Bila ditelisik satu per satu, anjloknya suara Golkar terbilang cukup drastis karena dalam kurun tiga kali pemilu, peminatnya telah berkurang hingga 65 persen. Bahkan, pemilu tahun ini perolehan suaranya hanya terpaut 0,66 persen di atas Partai Demokrat yang membukukan suara sebanyak 17,8 persen.

Menurut Syahruddin Hattab, pengamat politik sekaligus dosen Fisip Universitas Tadulako, Palu, surutnya suara Golkar di Sulteng salah satunya karena ada tokoh-tokoh Golkar, baik lokal maupun nasional, yang beralih ke partai lain. Perpindahan ini dapat memengaruhi pilihan masyarakat yang menganut tokoh tersebut. Selain itu, adanya faktor kekerabatan, seperti saudara atau pertemanan, yang saling memengaruhi pilihan satu dengan lainnya. Faktor eksternal yang turut mengakselerasi turunnya suara Golkar adalah penetrasi dari partai populer lain, seperti Demokrat dan PKS.

Partai Demokrat tampaknya mendapat perhatian serius dari masyarakat Sulteng yang notabene beragam masyarakatnya. Figur Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menjadi ikon partai ini dan program-program yang dilakukan pemerintah membuatnya menjadi populer di mata masyarakat. Akibatnya, Kabupaten Poso hanya bertahan satu periode pemilu dalam cengkeraman PDS.

”Rasa aman yang telah tercipta pada masa pemerintahan saat ini membuat sebagian besar masyarakat Poso menaruh harapan besar kepada SBY dan Demokrat untuk melanjutkan keamanan, stabilitas, dan pembangunan di daerah konflik itu,” tutur Syahruddin.

Selain Demokrat, pencitraan positif juga tersemat pada PKS. Partai ini dinilai mampu menunjukkan kualitas para anggota dewannya atau kader partai yang bersih serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Partai ini dapat menarik simpati masyarakat di wilayah perkotaan. Tak heran bila Kota Palu menjadi satu-satunya basis kekuatan massa PKS di Sulteng.

Meski suara akumulatif PKS hanya menduduki peringkat ketiga, perolehan suara dari calon legislatifnya cukup signifikan.

Adhyaksa Dault yang juga menjabat Menteri Negara Pemuda dan Olahraga ini mendapat dukungan hingga 82.873 suara atau terpaut sekitar 5.000 suara di bawah Muhidin, caleg incumbent dari Golkar yang mendapat suara terbanyak.

Contoh lain adalah terpilihnya Verna Gladies Merry Inkiriwang sebagai anggota legislatif pusat. Gadis berusia 24 tahun yang pernah menjadi finalis Miss Indonesia 2007 ini memiliki figur yang kuat dalam meraih simpati warga. Ketenaran yang diperoleh dalam ajang kecantikan itu kian diperkokoh dengan sosok Verna yang memiliki pekerjaan sebagai dokter sekaligus anak orang terpandang, yakni Piet Inkiriwang, Bupati Poso.

Kemenangan yang relatif mudah itu juga direngguk oleh caleg Dewan Perwakilan Daerah incumbent, Nurmawati Dewi Bantilan. ”Kemenangan para tokoh itu karena memiliki pemfiguran yang baik dan memiliki hubungan kekerabatan yang erat,” kata Sulaiman Mamar, guru besar antropologi Universitas Tadulako, Palu.

Faktor kedekatan dan popularitas menjadi salah satu faktor utama kelolosan caleg ke kancah nasional. Maka tidak heran jika mayoritas anggota dewan yang terpilih saat ini memiliki latar belakang demikian. Dari enam anggota DPR yang lolos, semuanya memiliki latar belakang pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengangkat ketenaran sang tokoh.

(BUDIAWAN SIDIK ARIFIANTO, Litbang Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar