Rabu, 17 Juni 2009

Papua

Luluhnya Dominasi Parpol Lama

Oleh IGNATIUS KRISTANTO

Kultur pilihan politik masyarakat Papua kini semakin cair. Hasil Pemilu Legislatif 2009 menunjukkan hal itu. Partai-partai lama yang dulu mencengkeram kuat provinsi paling timur ini sekarang mulai melemah daya pikatnya.

Berbeda dengan di Papua Barat yang semakin mengukuhkan Golkar sebagai pemenang pemilu, pilihan politik masyarakat di Provinsi Papua justru ada kecenderungan untuk beralih dari partai-partai lama, termasuk Golkar. Berturut-turut dalam tiga pemilu terakhir, Golkar terus menurun perolehan suaranya.

Pada pemilu tahun 1999, Golkar masih kokoh dengan perolehan 35,6 persen, lalu menurun menjadi 24,7 persen. Pada pemilu kali ini merosot menjadi 19,6 persen. Perolehan suara ini sama dengan yang diraih oleh Partai Demokrat.

Tidak hanya Golkar yang turun. Fenomena serupa juga dialami oleh PDI-P yang juga tergolong partai nasional besar. Bahkan, penurunan perolehan suara partai ini lebih tragis. Jika pada Pemilu 1999 partai berlambang kepala banteng ini masih mampu meraih 32,5 persen suara, pada Pemilu 2004 meraup 8 persen, kini hanya 3 persen saja. Jika sebelumnya partai ini menang di tiga kabupaten, kini hanya satu kabupaten.

Hasil ini sekaligus menunjukkan bahwa pilihan politik masyarakat Papua, terutama ditujukan untuk suara DPR, semakin cair. Kini tidak ada lagi kekuatan politik yang dominan.

Partai Golkar dan Partai Demokrat memperoleh suara yang berimbang. Posisi ini sebenarnya mirip dengan hasil Pemilu 1999. Pada waktu itu juga tidak ada partai politik yang dominan. Perolehan suara Partai Golkar hampir sama dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Mengapa bisa terjadi demikian?

Pola penguasaan wilayah politik atas partai-partai besar di Papua mulai berubah semenjak pemekaran daerah gencar dilakukan sejak tahun 2000-an. Semakin banyak daerah baru yang bermunculan, semakin berkuranglah kekuasaan parpol besar. Namun, sebaliknya bagi partai-partai kecil, pemekaran justru merupakan berkah. Beberapa daerah yang baru dipecah berhasil dimenangi partai kecil.

Tawaran baru dari partai-partai baru pun membuat pilihan politik warga Papua juga berubah. Kekuatan parpol baru pelan-pelan menggerogoti kekuatan partai-partai besar. Ini kentara sekali terlihat di kabupaten-kabupaten yang terletak di wilayah Pegunungan Tengah.

Di wilayah ini, pemekaran memang gencar dilakukan, dampaknya pun terlihat dari peta politiknya. Setiap kali pemilu dilakukan, partai pemenangnya pun berubah. Kondisi wilayah tersebut sangat dinamis.

Seperti kultur masyarakat di daerah-daerah lain pada umumnya, secara umum kultur politik masyarakat Papua masih paternalistik. Tokoh adat atau tokoh lokal masih menjadi rujukan pilihan politik. Ketika pemekaran gencar dilakukan berdasarkan kelekatan unsur subetnis, maka partai-partai baru berlomba mendekati tokoh tersebut agar dapat memenangi pemilu.

Selain faktor pemekaran, karakteristik masyarakat Papua yang mempunyai mental ingin mencoba yang baru berpengaruh juga dalam pilihan politiknya. Hal ini pernah diungkapkan pula oleh Jan Honore Maria Cornelis Boelaars (1986) dalam bukunya Manusia Irian, Dahulu, Sekarang, Masa Depan.

Menurut dia, ada kecenderungan warga di sana ingin selalu mencoba, tetapi tidak akan bertahan lama. Realitas sosial ini pula yang membuat pilihan politiknya cenderung untuk melihat yang baru dan meninggalkan partai-partai lama. Jika tidak mengajukan calon-calon yang baru, partai-partai lama akan ditinggalkan oleh pemilih Papua.

Tokoh baru

Perubahan pilihan warga Papua terhadap partai politik untuk tingkat DPR ternyata ikut pula berpengaruh pada siapa yang terpilih sebagai wakil rakyat. Ada kecenderungan mayoritas calon anggota legislatif yang terpilih adalah wajah-wajah baru.

Dari 10 kursi yang tersedia untuk daerah pemilihan Provinsi Papua, 6 kursi berhasil diraih oleh tokoh-tokoh baru. Hanya 4 kursi yang diraih oleh tokoh-tokoh lama yang sudah populer dan malang melintang di tingkat nasional.

Dua tokoh lokal dan baru yang mampu memperoleh suara melebihi perolehan dari tokoh-tokoh politik lama adalah Paskalis Kossay dari Golkar dan M Ali Kastela dari Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Bahkan, perolehan suara Paskalis Kossay yang sebelumnya anggota DPRD Papua melebihi angka bilangan pembagi pemilih (BPP).

Partai-partai lama memang ada kecenderungan masih mengandalkan para politikus lama. Mereka pun akhirnya banyak yang lolos, seperti Yorrys Raweyai dari Golkar. Tokoh ini sudah menjadi wakil rakyat di MPR sejak 1997, lalu menjadi anggota DPR pada periode 2004-2009.

Tokoh lainnya adalah Etha Bulo dan Freddy Numberi dari Partai Demokrat. Etha adalah anggota DPR periode 2004-2009, sedangkan Freddy Numberi adalah Menteri Kelautan dan Perikanan pada kabinet yang dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini.

Pembaruan juga terjadi pada para tokoh yang menjadi wakil di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari provinsi ini. Dua dari empat wakil yang terpilih adalah muka-muka baru, yakni Herliona Murib dan Paulus Yohanes Sumino. Bahkan, Herlina yang tamatan setingkat SLTA ternyata mampu meraih 291.609 suara dan menduduki urutan kedua setelah Tony Tesar.

Wajah-wajah baru inilah yang akan mengisi aspirasi suara masyarakat Papua di Gedung DPR nantinya. Pilihan politik yang dinamis telah meluluhkan kekuatan dominasi partai lama dan akhirnya membuahkan wakil-wakil rakyat yang baru pula. (IGNATIUS KRISTANTO, Litbang Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar