Rabu, 03 Juni 2009

Kalimantan Barat


Wajah Baru Bersolek Identitas
Selasa, 2 Juni 2009 | 03:35 WIB

Hasil pemilu legislatif yang baru berlangsung memberikan gambaran faktor identitas yang masih mewarnai pilihan politik masyarakat Kalimantan Barat. Munculnya kepala daerah beretnis Dayak yang diusung PDI Perjuangan di sejumlah wilayah provinsi itu berdampak pada pergeseran dominasi suara Partai Golkar ke partai berlambang banteng bermoncong putih. Bima Baskara

Pada Pemilu 2004, akar Partai Golkar tampak masih tertancap kokoh di Kalimantan Barat. Partai Golkar meraih 24,5 persen dari total suara, mengungguli PDI Perjuangan (PDI-P) yang memperoleh 17,6 suara. Namun, posisi itu berbalik pada pemilu kali ini. PDI-P meraih 23,5 persen suara, sedangkan Partai Golkar hanya 14,5 persen suara.

Mengacu pada hasil Pemilu Legislatif 2004 dan 2009, partai banteng bermoncong putih tercatat mampu memperluas basis kemenangan mereka di tingkat kabupaten/kota. PDI-P berhasil ”memerahkan” enam wilayah kabupaten, yakni Kabupaten Sekadau, Sintang, Melawi, Sanggau, dan Kapuas Hulu yang sebelumnya menjadi lumbung suara Partai Golkar.

Dua kabupaten yang disebut belakangan itu bahkan sebelumnya konsisten dimenangi Golkar sejak Pemilu 1971. PDI-P juga tetap mempertahankan dominasinya di Kota Singkawang serta Kabupaten Bengkayang dan Landak.

Menurut Ketua Asosiasi Ilmu Politik se-Kalimantan Barat Gusti Suryansyah, perubahan peta politik di Kalbar dalam pemilu legislatif tahun ini antara lain dipengaruhi oleh identitas etnis Dayak yang berpatron pada sosok kepemimpinan lokalnya. Hal tersebut tidak lepas dari pengalaman politik masyarakat Dayak yang sebelumnya ”termarjinalisasi” di dalam pemerintahan.

Figur kepemimpinan lokal dari etnis Dayak sebenarnya sempat muncul saat pelaksanaan pemilihan umum pertama di Indonesia. Pada Pemilu 1955 itu, di Kalimantan lahir partai lokal, Partai Persatuan Daya (PPD), yang mampu bersaing dengan partai politik nasional.

Partai yang pada Pemilu 1977 berfusi ke PDI ini menunjukkan diri sebagai salah satu partai yang memiliki basis massa kuat di Kalimantan Barat.

Di Kalbar, PPD bisa mendulang 31,3 persen suara, kalah tipis dari Masyumi yang saat itu berhasil merebut 33,3 persen suara. Lima tahun kemudian, PPD mendudukkan Oevaang Oeray menjadi gubernur Dayak pertama di Kalbar pada 1 Januari 1960. Pada era itu juga tercatat ada lima warga Dayak yang menjabat sebagai kepala daerah di tingkat kabupaten.

Sejak masa Orde Baru, posisi kepemimpinan tak lagi dijabat warga dari kalangan Dayak. Fenomena 1950-an baru kembali terulang di era reformasi. Tercatat keturunan etnis Dayak menjabat sebagai bupati ataupun wakil bupati, seperti di Kabupaten Bengkayang dan Landak. Gubernur Kalbar yang menjabat saat ini juga berlatar belakang dari etnis tersebut.

Para pejabat daerah dari kalangan Dayak itu meraih kemenangan lewat dukungan PDI-P, baik dengan atau tanpa berkoalisi dengan partai lain. Jejaring partai PDI-P yang mendapat dukungan dari para kepala daerah tersebut, menurut Gusti, efektif memperkuat basis suara PDI-P pada pemilu legislatif kali ini.

Meskipun demikian, kejatuhan Partai Golkar pada pemilu legislatif kali ini juga tak lepas dari pengaruh kehadiran Gerindra dan Partai Hanura.

Dua partai baru yang memecah soliditas massa pendukung Golkar tersebut mampu mencuri suara cukup besar. Jika digabungkan, suara pemilih yang diperoleh Gerindra dan Hanura mencapai 7 persen dari total suara sah pemilih.

DPR dan DPD

Seiring dengan pergeseran pemenang pemilu dari Partai Golkar ke PDI-P, kedua partai tersebut kini saling ”bertukar” perolehan kursi di Senayan. Kalau pada Pemilu Legislatif 2004 Partai Golkar bisa mendapatkan 3 kursi dan PDI-P 2 kursi, pada pemilu legislatif tahun ini terjadi hal sebaliknya. Partai Golkar meraih 2 kursi, PDI-P ”giliran” mendapat 3 kursi. Kedua partai tersebut menempati separuh dari total jatah 10 kursi anggota DPR dari Kalbar.

Dari seluruh anggota Dewan yang terpilih itu, enam orang berpendidikan S-1 dan tiga lainnya menamatkan S-2. Dua di antara anggota DPR terpilih yang berpendidikan sarjana itu adalah nama yang sangat dikenal masyarakat Kalbar sebagai representasi masyarakat Dayak.

Karolin Margret Natasa—satu-satunya anggota DPR perempuan terpilih dari Kalbar—adalah salah satu sosok Dayak tersebut. Putri dari Gubernur Kalbar yang kini masih menjabat tersebut juga meraih popularitas terbesar dengan mendulang 222.021 suara. Perolehan suara Margret merupakan satu-satunya calon legislatif di Kalbar yang berhasil melewati batas bilangan pembagi pemilih.

Anggota DPR terpilih yang lain, yakni Lasarus, adalah politisi Dayak yang menjabat sebagai Ketua DPD PDI-P Kabupaten Sintang.

Meski demikian, hasil Pemilu Legislatif 2009 menunjukkan etnis besar lainnya, yakni Melayu, juga menempatkan wakilnya di Senayan. Etnis Melayu Provinsi Seribu Sungai ini diwakili oleh Usman Ja’far, mantan Gubernur Kalbar periode 2003-2008.

Tidak hanya di DPR, anggota Dewan Perwakilan Daerah atau DPD yang terpilih pada pemilu legislatif tahun ini sedikit banyak merepresentasikan pengaruh etnis dominan di di Kalbar itu.

Dari empat anggota DPD terpilih—semuanya adalah perempuan—dua di antaranya berlatar belakang etnis Dayak dan dua perempuan lainnya mewakili masyarakat Melayu.

Hasil Pemilu Legislatif 2009 menggambarkan bahwa ciri kultur politik masyarakat Kalbar yang masih lekat dengan identitas memberikan warna lain dalam menentukan partai ataupun sosok wakil yang dipilihnya. Peta politik di Borneo Barat kali ini berubah wajah, dengan tetap bersolek dari kesamaan identitas.(Bima Baskara/Litbang Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar