Kamis, 18 Juni 2009

Fenomena Kemenangan Partai Demokrat

TEMPO Interaktif, Jakarta: Partai Demokrat kembali menjadi hal yang fenomenal dalam Pemilu 2009 ini sebagai satu-satunya partai politik era reformasi yang mampu menjadi parpol besar dengan peningkatan jumlah suara sekitar 300 persen dibanding Pemilu 2004. Lima tahun yang lalu partai ini juga sempat menjadi sorotan banyak pihak ketika membuat shocked pasar politik saat itu. Kejutannya karena, sebagai parpol yang baru muncul, bisa langsung masuk kelompok parpol level menengah, bahkan kemudian berhasil menjadikan calon presiden yang diusungnya menang dalam pemilihan presiden 2004. 

Ada satu hal yang tidak berbeda ketika kita berbicara tentang keberhasilan Partai Demokrat pada Pemilu 2009 dibandingkan dengan Pemilu 2004, yakni bicara tentang tokoh utamanya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sosok SBY adalah faktor pertama dan utama kemenangan Partai Demokrat pada pemilu sekarang. Partai Demokrat identik dengan SBY. Sulit untuk memberikan penjelasan tentang kemenangan Demokrat kalau kita mengabaikan variabel utama ini.

Lalu, mengapa figur SBY ini kembali menjadi faktor penentu kemenangan Partai Demokrat? Secara singkat, kita dapat mengatakan bahwa SBY adalah jualan utama Partai Demokrat dalam pasar politik, khususnya berkaitan dengan kinerjanya sebagai incumbent. Partai Demokrat sejak Juli 2008 sampai minggu tenang secara gencar dan massif beriklan di berbagai media tentang kinerja kabinet yang dipimpin oleh ketua dewan pembinanya tersebut. Dengan jangkauan media TV saja yang mencapai sekitar 80 persen pemilih atau sekitar 110 juta orang di seluruh Indonesia--belum lagi iklan di media-media lainnya--tidak mengherankan kalau serangan udara yang dilakukan oleh Partai Demokrat efektif memenangi pertempuran. Tetapi benarkah hanya karena faktor iklan yang berdurasi panjang dan massif tentang kinerja dan prestasi SBY tersebut yang menentukan keberhasilan Partai Demokrat dalam Pemilu 2009? 

Tentu saja tidak. Menurut hemat saya, persepsi positif pemilih terhadap Partai Demokrat/SBY diakselerasi oleh setidaknya dua hal berikut. Pertama, tidak hadirnya oposisi yang prima terhadap pemerintah SBY. Oposisi utama terhadap SBY relatif hanya dari PDI Perjuangan sebagai oposisi di DPR, serta dari Partai Hanura dan Gerindra dari kalangan parpol baru. Tetapi, bagi masyarakat, kritik dari parpol telah dipersepsikan sebagai tidak obyektif dan bertujuan semata-mata untuk menjatuhkan.

Bandingkan ketika Gus Dur dan Megawati berkuasa, oposan terhadap mereka bukan hanya datang dari parpol di DPR, tapi juga dari masyarakat madani, bahkan aksi parlemen jalanan yang dilakukan oleh kalangan mahasiswa yang terjadi secara berkelanjutan (sampai menjelang Pemilu 2004) dan cukup massif. Kegagalan partai oposisi mengikutsertakan komponen masyarakat madani untuk bersama-sama bersikap kritis terhadap pemerintah secara berkelanjutan menyebabkan tidak ada counter dan dialektika yang proporsional terhadap klaim-klaim keberhasilan SBY oleh Partai Demokrat, yang memudahkan iklan-iklan Partai Demokrat berpenetrasi dengan mudah dalam benak publik.

Kedua, logika komparasi pemilih. Istilah ini saya simpulkan dari komentar penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) pada dua tempat yang berbeda, yakni Palembang dan Bogor. Sangat menarik mengetahui mereka bisa sampai pada titik kesimpulan yang hampir sama. Mereka melakukan komparasi kondisi kehidupan ekonomi mereka pada periode SBY dengan periode pemerintahan sebelumnya (di era reformasi tentunya). Dalam masalah kehidupan ekonomi, sebenarnya tidak jauh berbeda, yakni sama-sama sulit mendapatkan pekerjaan. Tetapi di era SBY mereka bisa mendapatkan BLT, sesuatu yang tidak mereka dapatkan pada pemerintahan sebelumnya. Dan ada semacam ketakutan bahwa akses mereka terhadap BLT akan hilang jika kepemimpinan nasional berpindah ke tangan oposisi. Maklum, Megawati dan Prabowo mengkritik program ini dan orang-orang yang menerimanya. 

Sebagaimana diketahui, menurut laporan lembaga-lembaga survei, ada sekitar 60 persen pemilih yang tidak loyal. Bagi pemilih yang tidak loyal ini, pilihan mereka salah satunya ditentukan oleh logika komparasi. Dan tampaknya, dengan menggunakan prinsip logika komparasi ini, bukan hanya masyarakat kecil seperti penerima BLT, bahkan masyarakat perkotaan-metropolitan dan terdidik pun memiliki persepsi bahwa kondisi di bawah pemerintah SBY/Partai Demokrat lebih baik dibanding pemerintah sebelumnya. Penentuan pilihan kepada Demokrat/SBY ini karena proses komparasi diniscayakan oleh, pertama, kegagalan parpol dan tokoh-tokoh kepemimpinan alternatif untuk memberikan harapan baru bagi pemilih. Kedua, kekecewaan terhadap kinerja elite dan pejabat publik yang berasal dari parpol pilihan mereka tahun 2004. Logika komparasi inilah yang menyebabkan Partai Demokrat mendapatkan eksternalitas positif terbesar dari swing voter.

Tetapi yang perlu kita ingatkan kepada pemenang pemilu legislatif ini adalah bahwa kemenangan Partai Demokrat adalah kemenangan political marketing. Political marketing itu menyebabkan mereka berhasil membentuk citra yang baik dibanding para kompetitornya. Tetapi citra tanpa jati diri yang kongruen akan sulit mempertahankan kemenangan dalam jangka waktu panjang. Membangun jati diri, yakni dengan jalan menjadikan dirinya sebagai partai politik dengan sistem organisasi yang prima yang didukung oleh kader di struktur partai dan di lembaga-lembaga negara yang kompeten, kredibel, dan berkenegarawanan, diiringi dengan kebernasan strategi political marketing, akan meniscayakan keberlanjutan kemenangan tersebut pada masa-masa mendatang. *

Dr Andi Irawan, dosen Universitas Bengkulu dan STEI Tazkia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar