Kamis, 11 Juni 2009

Sulawesi Barat


Pelangi Politik di Bumi Mandar

Sugihandari

Konfigurasi politik di Sulawesi Barat tidak lagi monoton. Pada kesempatan pertama mengikuti Pemilu Legislatif 2009, muncul sosok politisi dan partai politik pemenang yang beragam. Akankah keragaman politik semacam ini menjadi kekuatan bagi provinsi termuda di Indonesia ini?

Pada pemilu legislatif tahun ini, Sulawesi Barat yang berpenduduk sekitar 1 juta jiwa menempatkan tiga sosok wakil masyarakat untuk duduk di kursi DPR nasional dan empat sosok politisi di kursi DPD. Berdasarkan hasil perolehan suara pemilu, jatah kursi yang ada dibagi rata untuk tiga partai dengan suara terbanyak. Partai Golkar, Partai Demokrat, dan PAN masing-masing memperoleh satu kursi.

Selanjutnya, tiga orang yang akan mewakili rakyat Sulbar di DPR adalah mereka yang berhasil meraup suara terbanyak di partainya masing-masing. Dari Partai Golkar muncul nama Ibnu Munzir, politisi kampiun yang pernah menjadi anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan (1992-1997) serta DPR (1997-1999 dan 1999-2004). Pada periode DPR 2004-2009, ia tidak lagi menjabat sebagai wakil rakyat dan memilih bergelut di sektor swasta. Kini, Munzir kembali ke parlemen.

Di sisi lain, Partai Demokrat mengutus Salim Mengga. Purnawirawan TNI AD ini pernah mencalonkan diri sebagai Gubernur Sulbar pada 2006. Kali ini pencalonannya sebagai wakil rakyat membawa keberhasilan. Bahkan, di antara calon anggota legislatif yang bertarung di daerah pemilihan Sulbar, ia yang berhasil meraup suara tertinggi. Kursi terakhir DPR berhasil direbut Hendra S Singkarru dari PAN yang dikenal sebagai pengusaha dari Polewali Mandar.

Sayangnya, jika dilihat dari persentase suara masing-masing anggota DPR terpilih terhadap bilangan pembagi pemilih (BPP) Sulbar, tidak ada yang menembus batas BPP tersebut. Salim Mengga, sekalipun menjadi peraih suara terbanyak (50.354 suara), perolehannya itu tidak lebih dari 40 persen BPP. Bisa dikatakan pada pemilu pertama di Sulbar, di mana calon wakil rakyat ditentukan berdasarkan suara terbanyak, para pemilih di Sulbar masih lebih dominan merujukkan pilihan pada partai politik, bukan pada sosok yang dicalonkan.

Popularitas caleg

Tingginya popularitas tokoh sebenarnya secara ideal akan tampak jelas pada perebutan kursi DPD. Namun, hasil Pemilu 2009 di Sulbar belum melahirkan sosok pilihan masyarakat yang menonjol dari sisi perolehan suara. Tidak seperti yang terjadi pada berbagai provinsi lainnya, perolehan suara calon anggota DPD masih lebih kecil di bandingkan dengan perolehan suara DPR.

Muh Asri, yang selama ini dikenal sebagai kader Golkar, misalnya, meraih suara 43.750. Perolehan sebesar itu sudah merupakan suara terbanyak yang berhasil diperoleh dari setiap calon anggota DPD. Posisi terakhir kursi DPD diraih oleh Mulyana Isham (33.156 suara), satu-satunya perempuan, pensiunan PNS yang aktif dalam keorganisasian majelis taklim di Sulbar.

Menariknya, popularitas yang terbangun pada anggota DPD ini tampaknya tidak lepas pula dari pamor leluhur yang telah ditorehkan pada masa silam. Setidaknya, dua dari empat calon anggota DPD terpilih di Sulbar menikmati kelebihan semacam ini. Muhammad Syibli Sahabuddin, misalnya, selain dikenal sebagai Rektor Universitas Al Asyariah Mandar, ia juga merupakan putra dari ulama karismatik Mandar, KH Sahabuddin. Demikian pula Iskandar Muda Baharuddin Lopa, yang dari namanya saja sebagian masyarakat telah mengenal akrab sosok besar yang ada di belakang pria yang kini berprofesi sebagai pengusaha tambak di wilayah Polewali Mandar ini.

Dari pemaparan semua wakil rakyat Sulbar, baik ketiga anggota DPR maupun keempat anggota DPD terpilih, tampak benar bahwa latar belakang mereka sangat beragam. Dari sisi latar belakang pekerjaan, misalnya, baik unsur pensiunan militer, pengusaha, politisi partai, dosen, pensiunan PNS, maupun aktivis sosial keagamaan, terepresentasikan dari semua sosok wakil rakyat. Kenyataan ini setidaknya menguak harapan baru yang cukup menjanjikan bagi pemenuhan aspirasi masyarakat Sulbar yang beragam di dalam kancah perpolitikan nasional.

Namun, dari sisi kontestasi politik dan keragaman politik yang terbentuk, dapat dinilai pula menjadi sesuatu yang kurang menggairahkan. Setidaknya hal demikian dialami oleh Golkar. Maklum, hasil pemilu lalu mengurangi dominasi partai ini yang sebelumnya sudah mengakar kuat. Sebelumnya, di provinsi yang sebelum tahun 2004 masuk wilayah Sulawesi Selatan ini selalu diidentikkan dengan lumbung politik Golkar. Partai ini selalu menguasai peta kemenangan pemilu sejak Pemilu 1971. Namun, pada Pemilu Legislatif 2009 ternyata Golkar sudah tak mampu lagi mempertahankan dominasinya di seluruh kabupaten Sulbar. Meskipun secara keseluruhan provinsi partai ini tetap unggul, dua dari lima kabupaten di Sulbar, yaitu Polewali Mandar dan Majene berhasil dikuasai Partai Demokrat.

Bahkan, yang amat mengkhawatirkan, di Polewali Mandar, Golkar terdesak ke urutan ketiga di bawah PAN. Padahal, pada Pemilu 2004, di kabupaten yang mayoritas beretnis Mandar ini menjadi salah satu basis terkuat Golkar. Perolehan suara kali ini merosot paling drastis dibandingkan kabupaten yang lain, yaitu kehilangan hingga 31 persen suara. Bagaimana nasib Golkar di tiga kabupaten yang lain? Di Kabupaten Mamuju, Mamuju Utara, dan Mamasa, partai berlambang pohon beringin ini memang masih menempati kursi pemenang. Namun, perolehan suaranya memprihatinkan, rata-rata hanya mampu meraup 25 persen suara.

Pamor meredup

Hasil pemilu kali ini jelas menunjukkan titik balik sejarah kejayaan Golkar di wilayah Sulbar.

Catatan sejarah menunjukkan bahwa setelah mampu menggeser partai dan kelompok yang merujuk pada identitas keagamaan pada Pemilu 1955, pada pemilu selanjutnya Golkar terus membukukan kemenangan besar. Pada pemilu pertama republik ini, mayoritas suara di wilayah Sulbar yang dulu disebut Mandar (pada masa Belanda disebut afdeling Mandar) dimenangi oleh Masyumi, NU, dan Partai Kristen Indonesia. Keikutsertaan Golkar pada Pemilu 1971 hingga saat ini mengubah peta politik tersebut. Pencapaian tertinggi partai ini berlangsung hingga Pemilu 1997. Pada pemilu terakhir sebelum reformasi tersebut suara yang diraih Golkar mencapai puncaknya, yaitu 95 persen.

Secara bertahap setelah mencapai puncak tersebut, dominasi partai pemerintah selama masa Orde Baru ini menyusut. Pemilu 1999 adalah awalnya. Saat itu perolehan suara Golkar turun drastis dari prestasi fantastis pada pemilu sebelumnya menjadi 61 persen. Angka ini terus mengecil pada pemilu selanjutnya (2004) dengan 45 persen dan semakin kurus pada pemilu yang baru saja lewat ini dengan hanya mengumpulkan 20,5 persen suara. Sebaliknya, Partai Demokrat dan PAN yang pada Pemilu 2004 masing-masing ada di urutan ketujuh dan keenam, kali ini mampu mengambil alih posisi kedua dan ketiga. Di sisi lain, PDI-P dan PKS tergeser ke urutan keempat dan kelima.

Selain pengaruh dari pergeseran pada peta politik nasional, perubahan konstelasi politik di sejumlah daerah di Sulbar tampaknya juga dipengaruhi oleh hasil pemilihan kepala daerah dalam beberapa tahun terakhir. Sepanjang pilkada 2005 hingga 2008, Golkar mampu menguasai Kabupaten Mamasa, Mamuju, Mamuju Utara, dan juga di tingkat provinsi. Pada sebagian besar wilayah itu pula Golkar masih mampu mempertahankan suaranya dalam Pemilu Legislatif 2009. Pilkada di Mamasa pada tahun lalu memenangi pasangan Obednego Depparinding dan Ramlan yang diusung tunggal oleh Partai Golkar. Demikian juga pemilihan gubernur pada 2006, pasangan Anwar Adnan Saleh dan M Amri Sanusi dari Golkar yang memimpin. Sementara untuk Mamuju, meskipun pemimpin daerahnya pada pilkada 2005 tidak diusung Golkar, posisinya sebagai ibu kota provinsi tidak dapat lepas dari pengaruh Golkar.

(Sugihandari/Litbang Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar