Kamis, 04 Juni 2009

Lanjutan Perebutan Kursi Sisa


KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pemohon antre di ruang penerimaan pemohon untuk menyerahkan berkas-berkas bukti setelah disidangkan dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum di Gedung Mahkamah Konst itusi, Jakarta, Rabu (3/6). Agenda sidang masih dalam tahap pembuktian.
Kamis, 4 Juni 2009 | 03:25 WIB

Susana Rita K dan Sidik Pramono

Persidangan perselisihan hasil pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi mencuatkan masalah lama yang muncul sejak pembahasan RUU Pemilu sampai hari-hari mendekati penetapan hasil pemilu secara nasional. Dalam persidangan di MK akhir Mei, masalah pembagian kursi DPR lewat penghitungan tahap ketiga muncul kembali.

Kali ini ujung soalnya bukan lagi soal perolehan suara. Adalah anggota DPR, Dedy Djamaluddin Malik, yang menjadi saksi Partai Amanat Nasional, antara lain menyatakan, ”Kami meminta perlindungan kepada MK atas ketidakkonsistenan KPU, pelanggaran KPU atas Pasal 205 UU Pemilu.”

Dedy yang juga caleg DPR dari PAN untuk Daerah Pemilihan Jawa Barat II menilai KPU sebagai penyelenggara pemilu memahami Pasal 205 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 mengenai Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD hanya secara sepotong-sepotong. ”Dan yang paling menyakitkan adalah perubahan itu dipengaruhi oleh rapat tertutup sebagian parpol dengan KPU. Ini mengusik rasa keadilan,” ungkap Dedy.

Beda interpretasi

Pada dasarnya, pembagian kursi anggota DPR terbagi menjadi tiga tahap penghitungan sebagaimana termuat dalam Pasal 205 UU No 10/2008.

Singkatnya, penghitungan ketiga atau yang terakhir diterapkan untuk provinsi yang jumlah daerah pemilihan anggota DPR-nya lebih dari satu.

Rujukannya adalah Pasal 205 Ayat (5), ”… penghitungan perolehan kursi tahap ketiga dengan cara seluruh sisa suara partai politik peserta pemilu dikumpulkan di provinsi untuk menentukan BPP (bilangan pembagi pemilih) DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan.”

Rumusan tersebut sejatinya dirancang untuk ”memproporsionalkan”, mengatasi kesenjangan perolehan suara dengan perolehan kursi di sebuah provinsi. Ide awal rumusan tersebut muncul dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) DPR yang menilai hasil Pemilu 2004 tidak cukup adil karena perolehan kursinya tak sebanding dengan persentase perolehan suaranya.

Seperti dinyatakan saksi ahli Indera Ginting dalam persidangan di MK, nuansa kebatinan rumusan tersebut adalah menarik seluruh sisa suara yang belum terkonversi menjadi kursi ke provinsi. Sisa suara itu berasal dari seluruh daerah pemilihan di provinsi bersangkutan.

Indera juga menyayangkan ”inkonsistensi” penerapan sistem tersebut yang tidak bisa ditoleransi karena diterapkan saat hasil pemilu sudah diketahui.

Faktanya kemudian memang KPU menyatakan bahwa sisa suara yang ditarik ke tahap ketiga hanya berasal dari daerah pemilihan yang berkontribusi pada sisa kursi yang ditarik ke provinsi itu. Rumusan tersebut dipertegas dengan kesepakatan dalam rapat konsultasi antara pimpinan Komisi II, mantan Pansus RUU Pemilu, pemerintah, dan KPU pada awal Mei—sebelum KPU menetapkan hasil pemilu secara nasional.

Penetapan calon

Saat sembilan parpol yang lolos parliamentary threshold (PT) (termasuk PDI-P yang awalnya bertentangan pandangan dengan KPU) menyatakan bisa ”memahami” rumusan ala KPU tersebut, persoalan bukan berarti berhenti.

Persoalan berikutnya muncul dalam hal pengalokasian sisa kursi itu. Jika merujuk Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 antara lain disebutkan, sisa kursi dialokasikan untuk daerah pemilihan yang masih memiliki sisa kursi; diberikan kepada parpol dengan sisa suara terbanyak di daerah pemilihan bersangkutan ketimbang parpol lain; serta parpol tersebut punya sisa suara terbanyak di daerah pemilihan bersangkutan dibandingkan dengan daerah pemilihan lainnya.

Ringkasnya, untuk mendapatkan sisa kursi tersebut, parpol harus memiliki sisa suara yang secara ”horizontal” ataupun ”vertikal” lebih tinggi untuk mendapatkan sisa kursi yang ditarik ke provinsi itu.

Kerumitan dan perbedaan persepsi yang muncul menjadikan Rapat Pleno KPU yang mengagendakan penetapan calon terpilih anggota DPR/DPD pada Minggu (24/5) lalu meriah oleh perdebatan alot soal alokasi sisa kursi itu. Sempat terjadi pertemuan tertutup antara wakil sembilan parpol yang memenuhi PT dengan pihak KPU. Toh pada akhirnya, pertemuan tidak menghasilkan kesepahaman yang bulat dan KPU pun menetapkan hitungannya sendiri.

Namun, soal konsistensi atas ketentuan itu pun masih dipersoalkan—salah satunya yang berujung pada kemungkinan KPU terpaksa ”mengoreksi” hasil pleno yang ditetapkan pada 24 Mei itu, terkait dengan hasil calon terpilih untuk dua daerah pemilihan di Jawa Timur.

Siapa-siapa saja yang hadir dalam Rapat Pleno KPU saat itu setidaknya bisa menggambarkan seberapa alot pertarungan memperebutkan kursi sisa.

Dalam rapat itu, hadir sejumlah saksi parpol, misalnya, dari Partai Kebangkitan Bangsa hadir Wakil Sekjen PKB Helmy Faishal Zaini. Adapun saksi dari Partai Amanat Nasional kali itu ”diperkuat” dengan kehadiran Didik J Rachbini dan juga fungsionaris PAN yang lain, seperti Dedy Djamaluddin Malik dan Putrajaya Husin.

Tentu bukan kebetulan jika Helmy, Didik, dan Dedy hadir. Helmy adalah calon anggota PKB dari Daerah Pemilihan Jawa Barat IX, Didik adalah caleg DPR dari PAN di Daerah Pemilihan Jawa Barat VI, sedangkan Dedy juga dari PAN untuk Jawa Barat II.

Ketiga daerah pemilihan tersebut termasuk dalam 7 daerah pemilihan di Jawa Barat yang menyisakan sisa kursi yang mesti dihitung ke tahap ketiga.

Apa pun, dalam kasus PAN dan Dedy, seperti diutarakan di awal tulisan, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md yang turut memeriksa kasus tersebut telah menyatakan bahwa cara penghitungan akan diadili, tetapi tidak mengubah angka yang sudah ditetapkan.

Jika memang cara penghitungan KPU diputuskan tidak benar, dengan sendirinya perubahan pengalokasian sisa-kursi akan terjadi pula.

Kali ini MK memang harus ”dipaksa” mengutak-atik cara penghitungan.

Bagaimana hasil akhirnya nanti, memang mesti ditunggu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar