Selasa, 09 Juni 2009

Menyambut DPR Kaum Muda

M Fadjroel Rachman

Pasca-Pemilu Legislatif 2009, kaum muda menguasai 63,2 persen DPR meski penggembosan dan penggelembungan daftar pemilih tetap menjadi catatan hitam lima tahun ke depan.

Dari penelusuran Kompas (26/5), 560 anggota DPR yang akan dilantik pada 1 Oktober 2009 yang berusia 25-50 tahun cenderung membesar. Tercatat sebanyak 38,8 persen tahun 1999-2004, 49,0 persen (2004- 2009), dan 63,2 persen (2009- 2014).

Sedangkan anggota DPR usia 50 tahun lebih cenderung menurun. Ada 57,5 persen tahun 1999- 2004, 50,6 persen (2004-2009), dan 36,1 persen (2009-2014). Selain itu, tingkat pendidikan tinggi yang disandang calon anggota juga meningkat. Pascasarjana sebesar 18,6 persen (1999-2004), 33,6 persen (2004-2009), dan 41,1 persen (2009-2014). Sarjana 56,3 persen (1999-2004), 49,1 persen (2004-2009), dan 49,5 persen (2009-2014). Berarti profil DPR periode 2009-2014 mengalami (1) regenerasi keanggotaan DPR, (2) embrio DPR kaum muda generasi kedua pascareformasi, serta (3) perbaikan dan kenaikan tingkat pendidikan.

Habitus semidemokrasi

Seharusnya regenerasi DPR dan meningkatnya pendidikan menjadi pertanda baik untuk keberlanjutan demokrasi, sebagaimana dicatat Samuel P Huntington, (Gelombang Demokratisasi Ketiga, 1995). Di Jerman dan Jepang, warga negara berusia lebih muda dan berpendidikan lebih tinggi menunjukkan sikap lebih prodemokrasi. Hanya 2 persen warga negara Jerman yang memilih republik federal yang baru (1950), bahkan 30 persen mengatakan akan mendukung atau acuh tak acuh terhadap upaya Partai Nazi baru untuk merebut kekuasaan, lalu tahun 1959 dukungan terhadap republik federal menjadi 42 persen dan memuncak 81 persen tahun 1970.

Artinya, demokrasi berkembang sejalan dengan perubahan generasi dan terciptanya lingkungan demokratis sebagai habitus warganya. Namun pada 2009-2014, partai politik dan lingkungannya masih semidemokratis. Sejumlah parpol yang lolos ke DPR masih antipenegakan dan pengadilan HAM, bahkan koalisi parpol pasangan capres- cawapres untuk pemilu presiden 8 Juli 2009 meninggalkan pendekatan HAM sebagai basis penentuan koalisi dan platform kerja koalisi.

Dalam habitus semidemokrasi, dapatkah embrio DPR kaum muda menuntaskan transisi dan konsolidasi demokrasi? Transisi demokrasi adalah sebuah tahapan antara dari sistem antidemokrasi ke sistem demokrasi. Tahapan antara itu mensyaratkan sejumlah agenda, arena, regulasi, dan aktor yang dapat menjamin berakhirnya sistem antidemokrasi dan berkelanjutannya perkembangan sistem demokrasi.

Tahap transisi demokrasi mensyaratkan diskontinuitas terhadap tahap otoriter/totaliter yang antidemokrasi, sedangkan tahap sistem demokrasi yang diperluas dan diperdalam mensyaratkan kontinuitas dengan transisi demokrasi. Secara sederhana, ketiga tahapan itu adalah, pertama, tahap otoriter/totaliter sistem antidemokrasi; kedua, tahap transisi demokrasi; ketiga, tahap sistem demokrasi berkelanjutan yang diperluas dan diperdalam.

Pada tahap transisi demokrasi, arena apa saja yang harus dikonsolidasi? Kata Juan J Linz dan Alfred Stephan dalam Problems of Democratic Transition and Consolidation (1996), ada lima arena utama konsolidasi demokrasi modern: (1) civil society; (2) political society; (3) rule of law; (4) state apparatus; dan (5) economic society.

Demarkasi demokrasi

Tahap transisi selalu memiliki agenda demarkasi demokrasi dan antidemokrasi, umumnya berpusat pada konstitusi antidemokrasi, kejahatan HAM, kejahatan KKN, dan pemilu curang. Karena itu harus dibentuk (1) konstitusi demokrasi, (2) komisi kebenaran dan rekonsiliasi (KKR), (3) pengadilan HAM, (4) komisi antikejahatan KKN, dan (5) pemilu jujur dan adil. Amandemen UUD 1945 Kelima seharusnya adalah upaya membuat konstitusi demokrasi menyeluruh, demokratis, dan progresif, idealnya dilakukan Komisi Konstitusi Independen di Filipina atau Afrika Selatan. Agendanya termasuk menyetarakan wewenang DPD dan DPR, membolehkan capres independen selain capres parpol/gabungan parpol, serta menyerap pendekatan HAM, ekologi, dan demokrasi secara utuh.

Bersediakah ”embrio” DPR kaum muda melakukan amandemen UUD 1945 Kelima? Bersediakah membuat undang-undang untuk menghentikan swastanisasi BUMN, minyak, gas dan sumber daya alam lain, menasionalisasi/merenegosiasi, serta menetapkan reformasi agraria/perburuhan dan pajak progresif?

Agenda transisi lainnya, membuat kembali UU KKR yang berpihak kepada korban, merevisi kewenangan KPK membongkar KKN prareformasi (Soeharto, keluarga, dan kroni) serta pascareformasi atau membentuk lembaga seperti Presidential Commission on Good Government di Filipina untuk mengejar harta KKN Marcos, keluarga, dan kroni.

Dalam konsolidasi aparatus negara, tentu merujuk pada reformasi dan reorganisasi birokrasi, TNI dan Polri. TNI dan Polri profesional berarti melepaskan fungsi teritorial, bisnis, dan menempatkan TNI di bawah Departemen Pertahanan serta Polri di bawah Departemen Dalam Negeri. Termasuk memfokuskan TNI Angkatan Laut sebagai ujung tombak pertahanan Indonesia sebagai negara maritim.

DPR/presiden muda

Perubahan generasi sekaligus perubahan paradigma yang berjalan kini secara perlahan dapat melengkapi persyaratan penuntasan agenda, arena, regulasi, dan aktor transisi demokrasi sehingga tercapai tahap demokrasi dan habitus demokrasi. Lahirnya ”embrio” DPR kaum muda 2009 ini melahirkan sikap positif skeptis-optimistis untuk penuntasan transisi dan konsolidasi demokrasi. Bila integritas moral dan intelektual serta keberpihakan pada si miskin dan tertindas terjaga baik, pada 2014 secara serentak akan muncul DPR kaum muda dan presiden kaum muda.

Di tengah habitus semidemokrasi yang dilengkapi godaan masif kekuasaan, harta, dan pengkhianatan, saat berakhir masa jabatan, mereka harus dapat membayangkan akan ada intelektual yang menulis, seperti Harsya W Bachtiar menulis teladan Soe Hok Gie, ”Di tengah pertentangan politik, agama, dan kepentingan golongan, ia tegak berdiri di atas prinsip perikemanusiaan dan keadilan serta secara jujur dan berani menyampaikan kritik atas dasar prinsip itu demi kemajuan bangsa”.

M Fadjroel Rachman Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar