Rabu, 24 Juni 2009

Para Pemburu Rente Politik

Dalam Pilpres 2009, kontestasi antarkandidat bukan hanya terjadi di ”üdara”, tetapi tengah berlangsung sengit ”di darat”. Dalam pertarungan di darat, perkembangan praktik elektoral dalam lima tahun terakhir ini menghadirkan bentuk-bentuk pengorganisasi politik baru dalam memobilisasi dukungan pemilih. Salah satu yang fenomenal adalah pengorganisasian melalui jaringan di luar partai.

Kehadiran bentuk pengorganisasi ini sesungguhnya bisa dilacak mulai dari pemilu Presiden 2004. Pada saat itu, dalam upaya meraih dukungan pemilih, para kandidat bukan hanya mengandalkan sokongan mesin partai dan sayapnya, tetapi juga bergantung pada bergeraknya jaringan nonpartai yang secara khusus menjaring suara pemilih di akar rumput yang tak berafiliasi pada partai.

Ada banyak nama yang digunakan untuk mengidentifikasi jaringan ini: mulai dari sebutan tim sukses, tim pemenangan, atau tim relawan.

Model pengorganisasi melalui jaringan nonpartai ini tidak berhenti pada Pilpres 2004 saja, tetapi berlanjut terus pada prosesi pilkada langsung yang mulai digelar tahun 2005.

Seperti halnya pemilu presiden, dalam pilkada para kandidat berpijak pada dua kaki: kaki pertama mengandalkan bekerjanya mesin partai politik pendukung dan kaki kedua mengandalkan kelincahan pengorganisasian jaringan relawan.

Dari dua kaki yang dimiliki para kandidat ini, pengorganisasian jaringan nonpartai yang dilakukan para relawan justru dianggap lebih murah dan efektif dibandingkan dengan menggerakkan mesin partai.

Politik pertautan

Kehadiran jaringan nonpartai dalam sistem demokrasi elektoral berbasis multipartai seperti yang berlangsung saat ini di Indonesia menunjukkan pergeseran dari pola pengorganisasi politik secara institusional-formal ke arah model

pertautan.

Dalam politik pertautan, karakter hubungan kekuasaan lebih bersifat menyebar. Basis untuk membangun pertautan bisa bervariasi mulai dari jaringan pertemanan, alumni, kekerabatan, sampai jaringan kedaerahan.

Ketika musim kampanye tiba, berbagai jaringan yang pernah dimiliki capres diingat kembali, ditemukan, diiniasi, distrukturisasi, dan selanjutnya didayagunakan untuk proses mobilisasi dukungan politik.

Tidak aneh jika selama kampanye banyak usaha untuk ”menghidupkan” jaringan, misalnya mulai digalang pertemuan para saudagar antardaerah, penggalangan jaringan kelompok tani-nelayan dan pedagang pasar, penggalangan ke berbagai jaringan pesantren, dan lainnya.

Selain memiliki karakter yang menyebar, politik pertautan juga cenderung bersifat cair. Berbagai titik simpul politik yang coba ditautkan oleh kandidat tidak bisa begitu saja diisolasi dari pertautan dengan kandidat lain. Maka, dalam politik pertautan ini, tidak ada struktur otoritas.

Dengan demikian, hubungan kekuasaan antara para kandidat dengan berbagai titik simpul politik sangat bergantung pada kapasitas kandidat untuk membangun ruang negosiasi dengan berbagai titik simpul itu. Semakin lemah dasar pertautan antara kandidat dan simpul-simpul jaringan, akan semakin mudah bagi simpul jaringan itu untuk berayun ke kandidat yang lain.

Dasar pertautan

Ketika ada upaya para kandidat untuk membangun pertautan dengan berbagai simpul politik, pertanyaan selanjutnya adalah apa yang menjadi dasar bagi pertautan itu? Apakah pertautan itu memang digerakkan oleh semangat kesukarelaan atau voluntarisme, seperti muncul dalam istilah tim relawan? Apakah kemunculan relawan-relawan adalah aktivitas yang sukarela atau bahkan swadaya?

Berpijak pada praktik elektoral dalam lima tahun terakhir ini terlihat bahwa pertautan itu tak hanya didasarkan pada semangat voluntarisme, melainkan dibangun oleh tiga modus berikut ini: pertama, politik pertautan didasarkan pada modus memburu kebijakan, di mana dukungan jaringan atas seorang kandidat selalu bersyarat. Para simpul jaringan akan bersedia memobilisasi dukungan jaringan yang dimilikinya apabila dukungan mereka bisa dipertukarkan dengan kebijakan tertentu pascapemilihan.

Dalam perkembangan selanjutnya, pertukaran ini sering kali dikuatkan dengan sebuah pakta politik-kebijakan yang diharapkan dapat mengikat kandidat. Strategi membangun pertautan melalui pakta politik-kebijakan terlihat mulai digunakan pada Pilpres 2009 dalam bentuk penandatanganan kontrak politik dengan beberapa simpul jaringan.

Kedua, politik pertautan antara para kandidat Capres dan jaringan pendukung sering kali terbangun atas dasar kehendak memburu jabatan. Dalam model ini, hubungan para kandidat dengan jarigan pendukung dibangun berdasarkan landasan transaksi jabatan. Proses mobilisasi dukungan oleh elite dalam simpul jaringan dilakukan untuk memaksimalkan keuntungan yang bisa diperoleh dalam proses perebutan posisi pascapemilihan. Imbalan atas kerja keras membangun jaringan pemenangan adalah posisi-posisi penting dalam kabinet, birokrasi pemerintahan, maupun BUMN.

Terakhir, politik pertautan dikelola dengan menggunakan logika pemburu rente (rent seeking). Dalam model ini, elite yang menjadi simpul jaringan mendayagunakan proses elektoral untuk memperoleh rente ekonomi sebanyak-banyaknya. Ketika kandidat ingin mendapatkan dukungan akar rumput, sudah dipastikan mereka akan bertemu dengan para broker yang menjadi pemilik massa dan penguasa jaringan.

Akses masuk ke jaringan pemilih tidak bisa tidak harus melewati broker itu. Posisi broker yang menjadi jembatan para kandidat dengan akar rumput selanjutnya dimanfaatkan untuk mengakumulasi sumber dana dari para kandidat. Tentu saja dengan imbalan seluruh jaringan di bawahnya dapat digunakan untuk memenangkan kandidat tertentu.

Tiga modus pertautan itu sekali lagi menunjukkan bahwa aktivitas pertautan dalam Pilpres 2009 bukanlah semata-mata aktivitas relawan dengan semangat voluntarisme, melainkan sebuah negosiasi dalam membuka ruang pertukaran sumber daya kekuasaan.

Hal yang dipertukarkan dan dipertautkan bukan lagi hanya gagasan, ide, ataupun politik kebijakan, tetapi menyangkut pula pertukaran jabatan dan rente ekonomi. Kalau model pertautan semacam ini yang dominan, proses pemilihan presiden sesungguhnya telah dikuasai oleh para pemburu rente politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar