Rabu, 03 Juni 2009

"Berdarah-darah" Mengejar Kursi

Susana Rita Kumalasanti

Dua pekan terakhir, Mahkamah Konstitusi kebanjiran pencari keadilan yang datang dari sejumlah penjuru Tanah Air, dari Aceh hingga Papua. Sebanyak 623 kasus sengketa perolehan suara diajukan ke lembaga pengawal konstitusi ini.

Banyak cerita di balik hadirnya 623 kasus tersebut. Tentang duka para pencari keadilan yang merasa ”dikerjain”, baik oleh keadaan maupun oleh orang-orang yang mengambil untung atas kesulitan orang lain. Cerita-cerita itu mengamini kenyataan bahwa tak gampang duduk di kursi Senayan atau kursi ”senayan-senayan” daerah.

Lakon hidup itulah yang mesti dijalani, antara lain, oleh Suharto (calon anggota legislatif dari Partai Amanat Nasional), Sudaryanto (caleg Partai Golkar), Julianti (caleg Partai Golkar), serta Agus (caleg Partai PAN). Mereka ditemui saat berada di Gedung MK ketika tengah memupuk asa akan terwujudnya keadilan substantif.

Hampir satu bulan Suharto berada di Jakarta. Ia meninggalkan Jawa Tengah sejak awal Mei lalu. Awalnya, ia hanya ingin berkonsultasi ke MK mengenai bagaimana mengajukan keberatan terhadap penetapan Komisi Pemilihan Umum tentang perolehan suara dan kursi.

Ternyata, aturan MK tidak memungkinkan dirinya mengajukan perkara sengketa hasil pemilu secara perorangan. Ia harus memperoleh kuasa dari ketua umum dan sekretaris jenderal partai tempatnya berorganisasi.

Suharto tak sendiri. Banyak caleg lain yang menghadapi persoalan yang sama. Untungnya, PAN bersedia mengakomodasi kepentingan caleg-caleg tersebut. Dengan sebanyak 51 kasus yang diajukan ke MK, PAN tercatat sebagai parpol yang paling banyak mengajukan kasus. Urutan berikutnya Partai Golkar 44 kasus, PPP 35 kasus, serta PKS 31 kasus. Parpol yang mengajukan sengketa internal (antarcaleg di dalam satu partai) ke MK, antara lain, adalah Partai Golkar, PAN, dan PKB. Partai lain, seperti Partai Demokrat dan PDI-P, memilih menyelesaikan secara internal.

Suara hilang

Dalam perkara ini, mereka mempersoalkan perolehan angka di tiap-tiap daerah pemilihan. Orang sering menyebutnya sebagai ”matematika pemilu” sehingga wajar saja jika MK sejak awal menyatakan tidak akan menerima permohonan yang tidak jelas atau permohonan ngawur asal klaim suara.

Terkait dengan hal itu, bukti pendukung terutama formulir rekapitulasi penghitungan suara (tingkat TPS, kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi) sangat diperlukan, terutama formulir C1, rekapitulasi penghitungan di tingkat TPS yang dikeluarkan oleh Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Formulir C1 ini mestinya diberikan kepada saksi parpol dan Panitia Pengawas Lapangan (PPL).

Banyak caleg yang mengaku kesulitan mengumpulkan formulir model C1. Pasalnya, tak semua parpol menempatkan saksi-saksinya di TPS. Hal ini dialami Julianti, Sudaryanto, dan Agus. Bahkan, Sudaryanto menengarai adanya gerakan untuk tidak memberikan C1.

”Sulit banget. Saya dilempar-lempar. Ketika meminta ke petugas, saya disuruh minta ke saksi partai. Ketika menemui saksi partai, ia mengaku tidak punya. Saya kemudian menemui pimpinan partai di tingkat kabupaten ternyata juga tidak memiliki salinan C1. Lalu saya mencoba ke kelurahan, katanya sih ada, tetapi tidak boleh difotokopi,” ujar Julianti.

Padahal, untuk dapat membuktikan hilangnya suara, Julianti membutuhkan sebanyak 800 formulir. ”Setelah berjuang ke sana dan kemari, saya akhirnya berhasil mengumpulkan sekitar 200 C1,” kata Julianti.

Julianti sempat ditawari formulir C1 oleh seseorang dengan bayaran Rp 1,5 juta untuk tiap lembarnya. Julianti menolak karena untuk itu dibutuhkan uang hingga ratusan juta.

Sikap ini tak seragam. Ada pula caleg yang rela mengeluarkan uang demi mendapatkan barang bukti tersebut. Salah satu caleg mengaku membayar Rp 40 juta untuk mendapatkan C1.

Kebanyakan caleg mengaku tidak dapat mengandalkan persoalan tersebut ke parpolnya. Parpol justru terkesan tidak bersedia mengurus hal tersebut. Apalagi, sejak adanya putusan suara terbanyak, persaingan nyata justru terasa di antara caleg, bukan lagi di antara parpol.

”Berdarah-darah”

Terkumpulnya barang bukti bukan berarti masalah usai. Para caleg harus berjuang kembali agar parpol bersedia mendaftarkan kasusnya sebagai perkara ke MK. Pasalnya, MK hanya bersedia menerima permohonan perkara dari peserta pemilu, yaitu partai politik dan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah.

MK tidak menerima perkara dari perorangan calon anggota legislatif (DPR, DPRD provinsi/kabupaten/kota). Kalaupun akan beperkara di MK, mereka harus mengantongi surat kuasa dari ketua umum dan sekretaris jenderal partai masing-masing.

Persoalan kembali muncul. Meski beberapa parpol mengikrarkan tidak memungut apa pun, para caleg tersebut juga dimintai ”kontribusi”. Salah satu partai diungkapkan meminta kontribusi Rp 5 juta per caleg. Uang ini dibayarkan ke oknum partai. Namun, pembayaran kontribusi ini tak menjamin perkaranya didaftarkan. Lobi kepada tim pengacara pun perlu dilakukan jika ingin perkaranya dieksplorasi mendalam di persidangan. ”Ada yang membayar Rp 40 juta kepada pengacara supaya perkaranya diperhatikan,” kata seorang caleg.

Berdasar pengamatan di persidangan MK, hakim konstitusi memang meminta pemohon untuk tidak bertele-tele di persidangan. Hakim sering meminta agar pemohon langsung pada jumlah suara yang dipersoalkan. Padahal, sering kali di balik cerita penggembosan maupun penggelembungan suara terdapat cerita-cerita pelanggaran yang belum terselesaikan.

Proses selanjutnya adalah pembuktian. Pemohon mengajukan saksi dan mengadu alat bukti dokumen yang dimiliki dengan dokumen KPU. Untuk keterangan saksi, setiap caleg harus menyiapkan saksinya sendiri. Suharto, misalnya, sudah menyiapkan lima saksi yang didatangkan dari Jawa Tengah.

Caleg PAN asal Gorontalo harus mendatangkan saksi dan memfasilitasi akomodasi saksi-saksi itu selama di Jakarta. Meski ada fasilitas teleconference, mereka enggan menggunakannya. ”Kami kan harus berkoordinasi dulu apa yang harus mereka ungkapkan di persidangan. Kalau jarak jauh kan repot,” ujar mereka.

Bagi yang dananya cekak, fasilitas video conference memang pilihan terbaik. Banyak yang kesulitan bertahan di Jakarta. Beberapa di antara mereka rela menginap di musala-musala karena tak punya saudara di Jakarta yang bisa ditumpangi.

Beperkara di MK memang gratis. Namun, pada praktiknya begitu banyak uang yang harus dikeluarkan para calon anggota legislatif ini. Suharto mengaku sudah mengeluarkan lebih dari Rp 20 juta selama hampir sebulan tinggal di Jakarta. Nilai ini masih relatif kecil dibandingkan caleg lain yang berasal dari luar Jawa, yang mesti bolak-balik ke Jakarta dalam rangka menyerahkan bukti dan saksi.

Koordinator Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch Fahmy Badoh menyatakan, tiap warga negara memang berhak untuk memperjuangkan keadilan melalui MK. Namun, apabila hal itu dilakukan dengan menghalalkan segala cara, akan menjadi masalah di kemudian hari.

Misalnya, caleg yang mengamini tawaran jual-beli formulir C1. Dikhawatirkan, ketika mereka terpilih dan mendapat kursi di DPR/DPRD, caleg-caleg itu akan ”bermasalah”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar