Minggu, 31 Mei 2009

Gagalnya Partai Islam



Oleh: Testriono
(Peneliti di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta)

Hampir 90 persen penduduk Indonesia adalah Muslim. Faktanya, partai-partai Islam tak pernah jadi kekuatan politik mayoritas di Indonesia. Kenyataan ini makin menegaskan bahwa 'politik aliran' sebuah istilah yang dipopulerkan oleh antropolog Clifford Geertz—remuk redam. Ideologi Islam dalam politik kepartaian tak mampu menarik dukungan mayoritas. Artinya, politik yang dibentuk, didasarkan, dan diarahkan oleh nilai-nilai tradisional agama sudah tak lagi relevan.

Pemilu 9 April lalu kembali menegaskan kenyataan tersebut. Partai-partai Islam--baik yang berideologi Islam seperti PPP dan PKS maupun partai berideologi Pancasila, tapi berbasis Islam seperti PKB dan PAN--hanya mampu menembus papan tengah (medioker). Sebagian merosot suaranya sebab konflik internal maupun pecah dan melahirkan partai baru yang menggerogoti suara partai induk. Dari data KPU, keseluruhan suara partai Islam yang lolos parliamentary threshold adalah 24,15 persen (PKS 7,88 persen, PAN 6,01 persen, PPP 5,32 persen, dan PKB 4,94 persen). Angka ini menurun tajam dibandingkan suara seluruh partai Islam pada Pemilu 2004.

Ini bukan kali pertama partai-partai Islam gagal meraih dukungan mayoritas. Sejarah pemilu Indonesia mengonfirmasi kegagalan itu sejak pertama kali pemilu dilaksanakan. Di masa Orde Lama, pada pemilu pertama tahun 1955, partai-partai Islam yang terdiri atas Masyumi, Nahdlatul Ulama, PSII, dan Perti (ditambah dua partai Islam kecil: Tarekat Islam dan AKUI) memperoleh 44 persen kursi di parlemen atau sekitar 39 persen suara. Selain tak mencapai mayoritas, jumlah tersebut tak pernah meningkat di pemilu-pemilu sesudahnya.

Pada Pemilu 1971, pemilu pertama masa Orde Baru, jumlah suara kolektif partai Islam adalah 27,11 persen. Selanjutnya, pada Pemilu 1977, suara PPP--gabungan partai Islam yang dibentuk berdasar kebijakan penyederhanaan sistem kepartaian--adalah 29,29 persen, lalu turun drastis menjadi 15,97 persen pada Pemilu 1987.

Kebijakan depolitisasi Islam Orde Baru dinilai berpengaruh terhadap turunnya suara partai Islam. Oleh karena itu, ketika pintu demokratisasi dibuka, perolehan suara partai Islam sempat meningkat. Pada Pemilu 1999, pemilu pertama setelah runtuhnya Orde Baru, jumlah suara 10 partai Islam adalah 37,59 persen. Lima tahun kemudian, Pemilu 2004, sebanyak tujuh partai Islam memperoleh suara 38,35 persen. Tapi, angka ini justru turun drastis di pemilu pada April lalu. Apa pasal?

Akar kegagalan

Bahtiar Effendy punya jawaban menarik tentang kegagalan partai-partai Islam itu. Pertama, ketidakmampuan partai-partai Islam menerjemahkan identitas ideologi ke dalam program-program nyata. Sehingga, publik tak melihat sama sekali adanya perbedaan antara partai sekuler dan partai agama (Islam).

Kedua, beberapa partai Islam menderita perpecahan internal. Ini menyulitkan mobilisasi. Selain itu, lahir kesan di tengah masyarakat tentang inkonsistensi para politikus partai Islam: dakwah mereka mengenai Islam yang menekankan persatuan dan persaudaraan tak terwujud dalam praktik politik mereka. Ketiga, kegagalan para pemikir dan praktisi partai Islam untuk menyadari bahwa keadaan negara telah berubah dibandingkan tahun 1950-an yang masih ideologis. Situasi negara sekarang lebih pragmatis: yang material dan terlihat dianggap lebih penting daripada sesuatu yang abstrak, seperti ideologi.

Lantas, masih relevankah kehadiran partai-partai Islam? Menyadari kenyataan mayoritas penduduk Indonesia yang Muslim, kehadiran partai-partai Islam dalam kontestasi politik nasional tak bisa ditampik. Partai-partai Islam kemungkinan besar masih akan ada dalam pemilu-pemilu mendatang. Alasannya? Pada satu sisi, partai Islam masih menjadi saluran aspirasi politik sebagian Muslim Indonesia yang percaya bahwa Islam mengandung segalanya, termasuk politik. Pada aras lain, masih ada sejumlah politikus Muslim yang percaya bahwa simbol-simbol agama dapat digunakan untuk mendulang suara.

Namun, mengambil pelajaran dari perkembangan kontemporer, selayaknya para politikus partai Islam segera melakukan evaluasi diri. Ini penting agar kehadiran partai Islam tak sekadar jadi 'buih' (semata menambah jumlah partai kecil) dalam sistem politik Indonesia yang kini multipartai.

Berdasarkan laporan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada September 2008, 'Kekuatan Elektoral Partai-Partai Islam Menjelang Pemilu 2009', pemilih Muslim Indonesia pada dasarnya rasional. Artinya, persepsi kompetensilah dasar pilihan terhadap partai, bukan identitas. Dukungan yang tinggi pemilih Muslim terhadap partai-partai non-Islam bukan hanya karena partai-partai nasionalis-sekuler itu dipersepsi lebih Pancasilais, tapi juga secara umum dipersepsi lebih kompeten (punya program dan figur yang dipercaya) dan peduli pada rakyat. Ini mengindikasikan secara gamblang bahwa hanya partai yang mampu menjaga rasionalitaslah yang bakal dapat dukungan besar dari pemilih Muslim atau non-Muslim.

Selain itu, LSI juga menemukan bahwa meningkatnya dukungan satu partai Islam diikuti oleh turunnya suara partai-partai Islam lain. Artinya, di posisi medioker, partai-partai Islam ini jadi 'kanibal': saling menggerogoti satu sama lain. Dua temuan inilah yang mesti disadari para elite politik partai-partai Islam.

Berubah
Jalan apa yang tersedia? Pertama, mengikuti hukum 'kurva lonceng' bahwa sebagian besar orang tak menggandrungi perubahan radikal dan ekstrem partai Islam yang harus keluar dari captive market-nya dengan merambah konstituen baru yang selama ini bernaung di rumah-rumah partai nasionalis. Artinya, partai Islam harus menawarkan program-program kesejahteraan rakyat yang lebih terukur, tidak lagi mengandalkan retorika berdasar sentimen agama.

Kedua, mengingat kepemimpinan masih jadi basis penting dalam politik, partai-partai Islam perlu memperkuat diri dengan para pemimpin yang mumpuni dan berpengaruh. Belajar dari sejarah, menurut Bahtiar, tiadanya figur kuat dan karismatik, seperti Mohammad Natsir, Prawoto Mangkusasmito, Mohammad Roem, Wahid Hasyim, Idham Cholid, Subchan ZE, Zamroni, dan banyak lainnya, membuat para konstituen mengalihkan dukungannya kepada Susilo Bambang Yudhoyono atau Megawati Soekarnoputri.

Akhirnya, masa depan partai-partai Islam terletak pada kemauan dan kesiapan para pemimpinnya untuk berubah sesuai dengan tuntutan perkembangan politik Indonesia kontemporer. Jika tidak, kita mungkin perlu mengucapkan selamat tinggal kepada partai-partai Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog