Jumat, 08 Mei 2009

Caleg Selebriti, Aset yang Terlupakan

Oleh Benny H Hoed

Membicarakan manusia sebagai pelaku struktur sosial, kita sering berbicara tentang modal ekonomi dan modal sosial.

Modal ekonomi adalah uang atau aset material, sedangkan modal sosial adalah jejaring sosial yang dimiliki. Kedua modal ini merupakan bekal yang dapat membuat pelaku maju atau ketinggalan dalam kehidupan sosial atau ”emansipasi sosial”. Emansipasi sosial terjadi dalam aneka kehidupan sosial. Tulisan ini membatasi kata ”emansipasi sosial” di bidang politik.

Namun, dalam kajian sosial budaya kita tidak cukup hanya menggunakan konsep modal ekonomi dan sosial. Merujuk Bourdieu, sosiolog dan budayawan Perancis, kita perlu berbicara tentang modal budaya (cultural capital). Modal budaya antara lain terkait tingkat dan jenis pendidikan, kemampuan mengapresiasi seni, kemampuan di bidang seni, pengalaman budaya (misalnya, bergerak di bidang pengembangan kesenian), dan keagamaan (khususnya Islam).

Kategorisasi

Modal budaya ini dimiliki seseorang tidak hanya melalui kehidupan di masyarakat, tetapi juga dalam keluarga. Yang termasuk golongan ini adalah cendekiawan (akademisi dan intelektual), seniman, dan dai (terutama yang sudah menjadi selebriti).

Seseorang bisa memiliki modal ekonomi yang besar karena warisan atau meneruskan usaha atau karena hasil kemampuan berusaha. Orang seperti itu biasanya mempunyai modal sosial yang sepadan sehingga status sosialnya cenderung meningkat. Namun, belum tentu ia memiliki modal budaya sepadan.

Maksudnya adalah ada banyak orang yang tidak mempunyai modal ekonomi yang kuat, tetapi mempunyai modal sosial luas akibat pemilikan modal budaya. Seorang cendekiawan, seniman, atau dai bisa mempunyai jaringan sosial luas dengan kalangan konglomerat atau elite politik. Status sosialnya pun cepat meningkat karena kemampuannya berperan dalam kehidupan sosial, termasuk politik. Ini terbukti dari adanya sejumlah cendekiawan, artis, dan dai yang sering dirujuk, diwawancarai, atau diberitakan di media sehingga terangkat ke ”papan atas”.

Cendekiawan biasanya masuk kategori ”pakar” atau ”pengamat”, sedangkan seniman masuk kategori ”selebriti” dalam berbagai pemberitaan media. Kategorisasi sosial ”pakar”, ”pengamat”, dan ”selebriti” merupakan kategorisasi berdasarkan pemaknaan oleh masyarakat dan media. Ini saya sebut gejala ”semiotik sosial”.

Para dai tidak selalu jelas kategorinya, tetapi ada di antara mereka yang dapat dimasukkan ke kategori ”selebriti”. Dalam kaitan emansipasi sosial, kategori ”agamawan” tidak terbentuk dalam semiotik sosial meski memiliki modal sosial untuk mencapai ”emansipasi sosial”. Emansipasi sosial memberikan kemungkinan untuk memperoleh modal sosial dan modal ekonomi.

Emansipasi sosial

Dari apa yang dikemukakan itu, kita melihat sebuah penalaran berbeda dengan yang selama ini sering digunakan, yakni untuk mencapai emansipasi sosial di bidang politik mutlak diperlukan modal ekonomi. Betul, emansipasi sosial memerlukan modal sosial. Apabila modal sosial itu diperoleh karena relasi keluarga atau pertemanan, itulah yang dalam semiotik sosial mendapat nama ”KKN”.

Namun, kita melihat, ”pakar”, ”pengamat”, atau ”selebriti” banyak yang tidak beranjak dari modal ekonomi atau KKN, tetapi dari modal budaya. Kemampuan pengamat di bidang akademis atau intelektual, atau selebriti di bidang seni, dai di bidang dakwah, telah membawa sebagian dari mereka ke jenjang yang lebih tinggi dalam kehidupan sosial.

Pakar dan pengamat tidak sedikit yang menjadi ”anggota think tank” lembaga eksekutif, legislatif, maupun partai politik. Ini merupakan proses emansipasi sosial yang bertolak dari pemilikan modal budaya yang berdampak pada modal sosial seseorang.

Artis selebriti

Secara khusus akan disoroti gejala menarik yang akhir-akhir ini terjadi dalam kehidupan politik, yakni masuknya para artis ”selebriti” dalam kehidupan politik, khususnya lembaga legislatif. Secara umum mereka dikenal melalui media, khususnya televisi (terutama sinetron). Jika masuknya seseorang ke kehidupan politik merupakan emansipasi sosial, apa yang terjadi dengan para artis dan terpilih menjadi anggota DPR dan DPRD merupakan gejala emansipasi sosial.

Ketenaran mereka sebagai artis sudah merupakan hasil proses emansipasi sosial. Sebagian besar dari mereka memang hanya berfungsi sebagai vote getters. Namun, keanggotaan keberhasilan mereka masuk DPR dan DPRD merupakan peningkatan dan perluasan jangkauan peran dalam kehidupan bermasyarakat, yakni membawa arah kehidupan negara atau daerah melalui kegiatan mereka di lembaga legislatif.

Lepas dari motivasi tiap selebriti, ini semua merupakan gejala yang baik meski masih perlu dicermati setelah mereka duduk di lembaga itu.

Pertama, ini merupakan dampak proses demokratisasi. Gejala ini sudah mulai terlihat pada pemilu ”pasca-Reformasi” sebelum ini. Bahkan, pada masa Orde Baru, sejumlah artis sudah menjadi anggota partai. Beberapa selebriti sudah duduk di eksekutif di Jawa Barat dan masih perlu dilihat kemampuannya di bidang pemerintahan dan sosial.

Kedua, dengan modal budayanya, para artis selebriti diharapkan dapat berperan di lembaga eksekutif dalam memberikan warna budaya (bukan sekadar seni) dalam memberikan arah kehidupan negara dan masyarakat. Warna budaya merupakan kekurangan berbagai kebijakan eksekutif dan produk legislatif yang ada dalam lima tahun yang hampir rampung ini.

Salah satu isu yang belum tuntas penanganannya adalah ketersisihan kaum perempuan, anak-anak, dan kaum difabel dalam produk legislatif di pusat maupun daerah. Mampukah mereka? Kita lihat saja.

Benny H Hoed Profesor Emeritus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog