Senin, 04 Mei 2009

Politik Surplus Representasi

Oleh BUDIARTO DANUJAYA

Jika Anda mulai bingung kehilangan jejak menelusur janji ”perubahan” pada keriuhan peta koalisi belakangan ini, ingatlah hewan hermafrodit.

Laiknya negatites—istilah Jean Paul Sartre untuk pengalaman baur negatif dan positif—janji senantiasa berkelamin ganda. Menuding masa depan, menggugat masa kini. Membubungkan harapan sekaligus mengungkapkan kenyataan. Celakanya, kombinasinya bisa juga sekadar: membubungkan impian masa depan sekaligus mengungkapkan dusta masa kini.

Belum genap sebulan iklan kampanye sirna dari layar televisi, menguap tak berbekas pula janji-janji perubahan mereka. Dua dari tiga pengusung janji perubahan yang masuk 10 besar Pemilu Legislatif (Pileg) 2009 hampir pasti berkoalisi dengan masing-masing dari dua partai incumbent yang mereka kecam kebijakannya. Sementara satu lainnya sudah runtang-runtung dengan partai yang fungsionarisnya, bahkan kerap menyatakan ingin menganulir amandemen dan kembali ke UUD 1945 asli.

Janggalkah jika kita sangsi janji perubahan, progresivisme, ekonomi kerakyatan, pasar sosial, negara kesejahteraan, atau entah apa pun mereka sebut namanya, masih akan bisa mereka lancarkan lewat posisi subordinatif yang kompromistis semacam itu?

Naluri surplus representasi

Proses kekuasaan dalam politik demokrasi yang sehat mengandaikan ketegangan konstitutif antara pemusatan dan penyebaran kekuasaan. Antara ekuivalensi dan diferensiasi. Antara konsensus dan disensus.

Pentingnya ketegangan kreatif antara dua proses yang saling berkelindan dewasa-mendewasakan ini tampak dalam pewacanaan paradoks demokrasi Jean-Jacques Rousseau. Memang, niscaya kewajiban negara menghimpun dukungan orang banyak (rakyat) guna membangun legitimasinya untuk berdaulat. Namun, tak kalah penting, kewajiban menjaga agar penggalangan representasi tak mengantarkan negara pada daulat kuasa total seperti pada model Hobbesian. Segenap individu dalam entitas sosiopolitik bernama rakyat itu tetap tidak boleh kehilangan hak-hak individualnya, tidak boleh kehilangan kebebasan untuk berbeda, karena hanya dengan begitu partisipasi segenap pihak dapat tetap terpelihara.

Representasi memang ukuran legitimasi kuasa. Namun, politik demokrasi yang sehat mengandaikan kesetimpalan representasi dengan partisipasi dalam kelindan ketegangan kreatif yang saling mengaklimatisasi tanggap kritis segenap pihak bersangkutan atas pelbagai kemungkinan perbedaan (Connolly: 1995).

Dalam konteks inilah kita melihat naluri representasi berlebihan sebagai salah satu warisan Orba yang belum berhasil kita pupus. Muslihat-muslihat pemilu agar partai berkuasa memenangi mayoritas mutlak, seperti Golkar pada era Orba, sudah sulit dilakukan. Namun, derivasi psikologi politik semacam ini masih tampak dalam kecenderungan membangun koalisi besar berlebihan, sampai tak memedulikan perbedaan mendasar platform para mitra koalisi, sampai melupakan ”janji” mereka sendiri kepada para konstituen.

Naluri ini, misalnya, tampak jelas mewarnai koalisi besar kabinet SBY-JK. Tak mengherankan Golkar balik badan memilih memaksimalkan kadar representasi politik penguasa ketimbang tetap bermitra oposisi dengan PDI-P. Dalam psikologi politik warisan ini, oposisi bukan bagian representasi publik, tetapi sekelompok paria politik, sekadar pelengkap penderita untuk menyilap mata dunia luar seolah kita sudah demokratis.

Naluri ini juga mewarnai pengamanan berlebihan pada kemungkinan disensus. Koalisi berkuasa merasa perlu untuk melakukan penetrasi struktural ke tubuh sejumlah parpol, termasuk Golkar, dengan menempatkan wapres dan beberapa menteri sebagai ketua umum parpol-parpol pendukung koalisi.

Memang beda cara, katakanlah lewat pemilihan resmi ketua umum yang lebih demokratis, tetapi psikologi politiknya sama. Sebuah kecemasan berlebihan atas potensi perbedaan menimbulkan disonansi. Sebuah upaya konsensus menelan habis kemungkinan disensus karena tak percaya bahwa kehidupan koeksistensial membutuhkan agoni berkepanjangan tak kenal lelah untuk saling asah-asih-asuh. Atau, jangan-jangan sekadar keengganan harus senantiasa bersusah payah melakukan deliberasi menghadapi perbedaan kepentingan.

Politik tanpa politik

Jauh dari redup, naluri surplus representasi tetap merupakan fitur politik pasca-Pileg 2009. Lewat slogan ingin membangun pemerintahan yang efektif, ketiga pemenang pileg sama-sama menunjukkan naluri membangun pemerintahan yang kuat dengan menggalang koalisi besar.

Koalisi besar tetapi pragmatis semacam ini jauh lebih merugikan negeri ini jika berhasil ketimbang gagal. Naluri menggalang representasi lintas platform dan ideologi akan menyedot habis posibilitas pembangkangan politik, yang sesungguhnya wajar, bahkan penting karena politik memang percaturan perbedaan kepentingan, cara pandang, dan idealitas perjuangan. Momen-momen kritis semacam ini justru amat penting bagi politik karena merangsang tanggap kritis segenap pihak bersangkutan.

Banyak terbengkalainya agenda reformasi justru menunjukkan kurangnya tanggap kritis para pihak bersangkutan, khususnya pemerintah dan wakil rakyat, akibat kurangnya kekuatan politik penekan. Banyak keprihatinan publik gagal ditangani secara memadai karena lebih diseriusi LSM, pers, mahasiswa, dan pengamat, yang marjinal secara politis, ketimbang pemerintah dan DPR. Contoh paling kasatmata, upaya menghidupkan kembali pengusutan sejumlah kasus pelanggaran HAM berat dan megakorupsi masa lalu yang notabene perkara hukum, justru dihentikan secara politis di DPR.

Pemerintahan yang terlalu kuat sama mengkhawatirkannya dengan pemerintahan yang kekurangan legitimasi karena bisa menghidupkan kembali ironi yang pernah diucapkan mantan Wapres Adam Malik, ”Semua bisa diatur”. Kita jangan mengulang keyakinan Orba bahwa kita tidak butuh oposisi atau bangsa ini tidak punya budaya oposisi karena itu sama dengan memilih politik tanpa politik.

Oposisi kuat justru penting. Maka, deliberasi terus-menerus hukumnya wajib bagi kehidupan koeksistensial yang sungguh demokratis. Pemerintah menjadi efektif bukan karena representasi berlebihan, tetapi karena deliberasi rasionalitas publik.

BUDIARTO DANUJAYA Pengajar Filsafat Politik Departemen Filsafat FIB-UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog