Senin, 04 Mei 2009

Santun Dulu, Baru Berpolitik

Oleh SATJIPTO RAHARDJO

Saat ini udara di Indonesia penuh sesak dengan urusan bisnis politik. Para politisi dan elite politik berseliweran di pentas.

Hampir tidak ada jeda waktu bagi media massa untuk tidak mengabarkan hiruk-pikuk tontonan politik, baik pada pagi, siang, sore, maupun malam hari. Ada berita tentang perselingkuhan, penzaliman, gugat-menggugat politik, dan lain-lain yang biasanya diutarakan lewat langgam bahasa politik yang penuh lika-liku sehingga tidak jelas.

Panggung politik

Dalam politik, rupanya semua dibuat samar-samar sehingga di belakang hari mudah membantah dan mengelak.

Amat menarik untuk mengamati, betapa panggung politik sudah tidak lagi menjadi tempat untuk menunjukkan perilaku kenegarawanan seseorang, tetapi menjadi bursa pekerjaan, tempat orang mencari pekerjaan. Menjadi politisi sudah hampir identik dengan pekerjaan yang hasilnya amat menggiurkan.

Maka, alih-alih dunia politik dipenuhi citra kenegarawanan, ia menyedot orang-orang dari sekalian lapisan kehidupan masyarakat (from all walks of life) untuk berpindah pekerjaan menjadi aktor-aktor politik. Ini menyebabkan dunia politik tidak hanya dihuni kader-kader politik, tetapi oleh siapa saja, bahkan tanpa pengetahuan politik sama sekali atau amat minim.

Mereka meninggalkan pekerjaan lama dan mencoba peruntungan baru yang lebih menggiurkan. Media massa turut membangun citra menggiurkan itu. Selain pendapatan tetap yang dari waktu ke waktu terus meningkat, juga penghasilan musiman yang datang lewat amplop-amplop dengan isi yang aduhai (asal tidak tercium KPK). Maka birokrat, pendidik, pengusaha, teknisi, dan artis berbondong-bondong meninggalkan pekerjaannya yang lama untuk berubah menjadi politisi.

Patut dikhawatirkan

Fenomena itu amat mirip dengan apa yang terjadi pada awal era reformasi berupa demam demokrasi. Saat itu penulis menyebutnya sebagai era ”bangkitnya para preman” (”Demokrasi atau Bangkitnya Para Preman?”, Kompas, 4/5/2005).

Kejadian itu amat mirip dengan buku karya Ortega y Gasset (1930) yang berjudul La Rebelion de las Massas yang menggambarkan Eropa pada awal abad ke-20.

Di tangan para politisi dadakan itu, kualitas dan perkembangan demokrasi patut dikhawatirkan. Dalam pemilu legislatif dan presiden yang sedang kita jalani hari-hari ini, sudah muncul hal-hal yang mengkhawatirkan, seperti caleg-caleg yang gagal dan menjadi tidak waras, bahkan bunuh diri. Mereka itu jelas bukan petarung-petarung politik, tetapi benar-benar orang yang mencari pekerjaan. Dengan sistem perolehan suara terbanyak, kualitas kenegarawanan seseorang tidak lagi dipertaruhkan, tetapi dikalahkan oleh ”siapa yang bisa membayar”.

Akibatnya, orang-orang yang cerdas, berdedikasi, memiliki kredibilitas, dan berbudi pekerti baik, tetapi tidak mempunyai kaki politik, pagi-pagi sudah tidak dapat memperoleh tiket untuk bertarung. Demi menduduki kursi di parlemen, uang, materi, dan tampilan fisik menjadi paspor dengan konsekuensi menjadi gila jika gagal.

Peringatan

Perilaku politisi dari hasil ”rekrutmen” yang demikian itu, pagi- pagi sudah menimbulkan kekhawatiran. ”Perekrutan” wakil rakyat yang mengandalkan hal-hal tersebut di atas mendorong kapasitas dan kapabilitas serta budi pekerti yang baik ke belakang.

Hal-hal dan perilaku buruk yang akhir-akhir ini ditampilkan sebagian wakil rakyat sebaiknya menjadi peringatan atau sinyal untuk segera memperbaiki sistem penjaringan orang-orang yang akan duduk dalam gedung-gedung mentereng yang bernama ”Perwakilan Rakyat”.

Kita tentu tidak ingin melihat gedung-gedung itu dinodai oleh berbagai perilaku yang tidak santun dan tidak berbudi pekerti luhur. Maka, tidak mengherankan dan berlebihan apabila di masyarakat lalu muncul parodi-parodi tentang mereka yang seharusnya pantas menyandang predikat ”yang mulia”.

Saya tidak tahu bagaimana caranya menjaring orang-orang yang memiliki kapabilitas dan kapasitas serta berbudi pekerti luhur sebagai politisi. Sistem yang berlaku sekarang ternyata kurang menjamin terjaringnya orang-orang berkualitas. Sistem yang baik itu mungkin susah membuatnya, yaitu suatu sistem yang mampu merumuskan dengan baik parameter tentang ”santun dulu baru berpolitik”.

Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog