Senin, 18 Mei 2009

Ambiguitas Partai Islam


Kamis, 14 Mei 2009 | 13:40 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Problem laten partai Islam di Indonesia adalah minimnya perolehan suara di tengah Islam sebagai agama mayoritas. Data mutakhir dari penghitungan manual KPU untuk pemilu legislatif yang lalu, perolehan suara partai berasas/berbasis Islam tidak ada yang masuk tiga besar. Bahkan lima partai lainnya--PBB, PBR, PKNU, PPNUI, dan PMB--tak mampu memenuhi batas minimal parliamentary threshold. Fakta ini sering menjadi tanda tanya karena adanya asumsi korelasi antara keberagamaan dan pilihan politik. Eksistensi partai Islam diyakini sebagai muara seluruh suara umat Islam.

Dan asumsi inilah yang merawat imajinasi elite politik muslim untuk mempertahankan partai Islam di tengah realitas perolehan suara yang tak pernah menggembirakan. Waham mayoritarianisme Islam masih begitu kuat, sehingga melalaikan fakta politik muslim yang mengalami transformasi orientasi. Ini sekaligus membantah tesis para pengamat muslim yang menganggap tingkat partisipasi muslim cenderung kuat apabila terkait dengan Islam. Sebagaimana dalam beberapa survei, pilihan politik umat Islam tidak sepenuhnya berdasarkan ikatan emosional keagamaan. Bahkan kecenderungan tersebut terus menurun seiring dengan menguatnya kesadaran (orientasi) sekularistik di kalangan umat Islam yang merelatifkan relasi Islam dan politik.

Kenyataan tersebut merupakan efek domino dari perdebatan panjang relasi Islam dan politik yang sedikit-banyak memberi pilihan-pilihan paradigmatik alternatif di kalangan umat Islam. Lebih-lebih hal tersebut diinstitusionalisasi oleh Orde Baru dalam bentuk depolitisasi (deideologisasi) Islam. Karena itu, era reformasi menjadi masa tuai deideologisasi Islam yang merelatifkan Islam politik. Wajar bila mayoritas warga muslim pasca-Orde Baru tak merasa "asing" dengan Pancasila, konstitusi, dan demokrasi.

Ranah ambiguitas
Problem partai Islam sebenarnya merupakan bagian dari problem besar sistem kepartaian kita terkait dengan pola rekrutmen, kaderisasi, dan platform yang kabur. Di dalam diri partai Islam terdapat cermin retak (ambiguitas) dalam tiga ranah. Pertama, ranah ideologi. Partai berasas Islam sejatinya memiliki kekhasan platform yang diperjuangkan dan disosialisasi secara konsisten. Kekhasan platform tersebut terimplementasi dalam program dan agenda partai yang "menguntungkan" bagi kepentingan umat Islam. Namun, yang terjadi, partai Islam setali tiga uang dengan partai sekuler. Akibatnya, agenda-agenda yang ditawarkan mengaburkan identitasnya sebagai partainya umat Islam.

Kedua, ranah teologi. Islam yang diyakini sebagai pemersatu tak dapat diwujudkan oleh partai Islam. Kuatnya kepentingan kelompok lebih mengemuka dibanding mempersandingkan kesatuan ideologis sebagai manifestasi dari misi teologis yang mengedepankan kesatuan (tauhid). Alih-alih membangun koalisi (poros Islam), partai politik Islam berjalan sendiri-sendiri dan melepaskan identitas asas kepartaiannya demi pilihan pragmatis politisnya. Wajar apabila partai Islam lebih memilih mendorong SBY dan berkoalisi dengan Partai Demokrat daripada mengajukan calon presidennya sendiri. Padahal, secara kalkulasi suara, mereka punya peluang mengajukan calon sendiri apabila mau bersama.

Ketiga, ranah kultural. Ideologisasi Islam merupakan wajah lain dari homogenisasi kultural. Dalam masyarakat majemuk secara budaya, nilai, dan pemahaman homogenisasi tersebut merupakan problem besar. Ragam pemahaman keagamaan internal umat Islam tidak bisa diseragamkan. Apalagi menyangkut keragaman agama. Polarisasi pemahaman Islam tidak jarang teraktualisasi dalam kontradiksi-kontradiksi yang bila ditarik pada ranah politik bisa meruncing menjadi konflik horizontal.

Melihat ketiga problem tersebut, eksistensi partai politik Islam saat ini tak lebih dari simbolisasi (formalisasi) Islam tanpa akar. Keberadaannya hanya melanjutkan imajinasi keislaman yang diyakini serba mencakup (kaffah) tanpa konstruksi yang pasti bagi aspirasi umat Islam. Dan bila ini dipertahankan, tak akan banyak merevitalisasi eksistensi partai Islam kecuali sekadar untuk hidup secara subsisten.

Dua pilihan
Kecenderungan longgarnya ikatan warga terhadap partai politik menunjukkan modal sosial parpol yang semakin lemah. Dari hasil survei (LSI, 2006), hanya 13 persen yang mengaku merasa dekat dengan parpol sekuler. Dan masing-masing hanya 5 persen yang mengaku dekat dengan parpol berbasis ormas Islam atau berplatform Islam. Fakta ini sejatinya mendorong langkah reformulasi parpol agar terbangun ikatan warga yang kuat terhadap parpolnya.

Dalam konteks ini, ada dua pilihan bagi partai berasaskan Islam. Pertama, memperkuat segmentasi corak keberagamaan. Penguatan segmentasi ini terkait dengan optimalisasi kaderisasi melalui komunikasi, agregasi, dan artikulasi partai Islam terhadap aspirasi umat Islam. Keberhasilan Partai Keadilan Sejahtera menaikkan perolehan suara dari 7,20 persen atau 8,18 persen kursi pada 2004 menjadi 7,88 persen suara atau 10,54 persen kursi pada 2009 sedikit-banyak dipengaruhi oleh segmentasi melalui kaderisasi yang intensif. Di antara sesama partai Islam, PKS menjadi paling fenomenal karena mampu menaikkan suaranya di tengah menurunnya partai Islam lainnya.

Kedua, meleburkan diri menjadi partai terbuka tanpa basis massa yang segmented. Ia harus melepaskan secara total identitas keberagamaannya sehingga identifikasi partai Islam tidak menjadi pembatas bagi warga lain untuk mendukungnya. Hal ini tampaknya yang hendak dilakukan PAN dengan membuka komunikasi dan rekrutmen lintas ormas dan profesi. Namun, langkah ini akan efektif apabila diiringi terobosan-terobosan apresiatif dan respons konstruktif terhadap isu-isu yang muncul di tengah masyarakat. Dan hal ini belum dilakukan PAN.

Kedua pilihan tersebut tentu mengandung kekurangan dan kelebihannya. Pilihan pertama akan melahirkan partai dengan kader yang solid, namun dengan massa "terbatas". Sebaliknya, pilihan kedua akan memunculkan partai terbuka dengan kemungkinan banyak massa tapi sangat longgar, seperti yang dialami oleh Golkar dan PDIP. Namun, sebagai upaya penguatan sistem kepartaian, pilihan-pilihan tersebut harus diambil dengan pertimbangan yang matang, bukan pertimbangan pragmatis yang justru mengaburkan identitas kepartaian.

Dalam konteks yang lebih luas, kedua pilihan tersebut dapat mengerucut menjadi dua kubu koalisi dalam sistem kepartaian kita ke depan. Sehingga tak perlu politik zigzag akibat pragmatisme seperti yang kita saksikan saat ini. Semoga.*

A. Bakir Ihsan, Dosen Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Jakarta 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog