Rabu, 06 Mei 2009

Koalisi Besar Partai Menuju Pilpres 2009


Sugiyono
Peneliti INDEF and Ride Indonesia


Kisah sukses koalisi par pol yang menonjol terjadi ketika Fauzi Bo wo maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta yang didukung oleh semua parpol melawan Adang, yang didu kung oleh Partai Keadilan Sejahtera. Pada kasus Fauzi Bowo, tesis perlunya kesamaan platform po litik, ke samaan asas parpol dan terutama ke samaan ideologi dasar parpol telah terbantahkan. Artinya, koalisi besar parpol dapat bekerja secara efektif, sekalipun koalisi diba ngun atas da sar pluralitas. Kasus seperti ini meng ulangi peristiwa koalisi plural di Eropa Timur.

Adang kemudian kalah di banding kan Fauzi Bowo dalam pilkada gu bernur DKI Jakarta. Kekalahan Adang pun dinyatakan secara elegan dengan segera mendukung kemenangan Fauzi Bowo, sebagaimana la yaknya peristiwa politik dalam kehidupan modern di panggung politik Amerika Serikat.

Fleksibilitas yang luar biasa telah memungkinkan hal itu terjadi di Indonesia, meskipun fenomena tersebut tidak berlaku secara umum di daerah-daerah lain yang wilayahnya lebih luas dibandingkan DKI Jakarta, seperti Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Banten, maupun di luas wilayah yang lebih sempit, seperti di Depok pada periode pemerintahan yang baru lalu. Meskipun de mikian, sengketa politik segera berakhir dengan keberlanjutan pe merin tahan daerah, tanpa terkait dengan efektivitas kinerja pemerintah. Demikian pula, dalam transisi di antara pemerintahan pusat sejak dari Soekarno hingga Yudhoyono.

Ha nya transisi dari pemerintahan Jepang kepada pemerintahan Soekarno yang masih terjadi peperangan, namun bukan peperangan terhadap pemerintahan Jepang yang kalah dalam Perang Dunia Kedua, melainkan terhadap pemerintahan Hin dia Belanda. Dalam hal ini, peme rintahan Hindia Belanda seba gai representasi dari pemerintahan tentara sekutu. Tentara sekutu tidak efektif dalam mengambil alih pe merintahan Soekarno, karena rakyat Indonesia berhasil berjuang hidup dan mati dalam kepemimpinan Soekarno, agar masyarakat terlepas dari pemerintahan Hindia Belanda.

Meskipun terjadi pro dan kontra pascaperistiwa G30S/PKI dan pemilu yang diselenggarakan pada tahun 1971, di mana pemilu bukan diselenggarakan secara lebih awal, namun pemerintahan Soeharto dapat berdiri dengan baik, karena semakin besar dukungan politik rakyat diberikan kepada Soeharto, jika dibandingkan semakin kecil peluang Soe karno kembali ke dunia politik se telah Soekarno semakin sering sakit. Sakit Soekarno sebagai sakit dari orang yang lanjut usia.

Kebesaran fusi Partai Golkar di penghujung pemerintahan Soeharto, juga tidak mampu berlanjut secara efektif ketika Soeharto tidak kunjung berhasil mengatasi krisis moneter, yang justru meluas menjadi kri sis ekonomi dan krisis politik. Pemerintahan BJ Habibie, yang di topang oleh fusi Partai Golkar juga tid ak mampu membuat BJ Habibie ber lanjut menang sebagai presiden pascapemilu demokratis tahun 1999, meskipun ketika itu untuk menjadi pre siden ditentukan oleh seribu orang suara anggota MPR. Ketika itu, muncullah tesis bahwa figur individu yang relatif kuat dapat terjadi, jika jumlah pemilih relatif terbatas, seperti pada kasus Abdur rahman Wahid dan Megawati Soe karnoputri menjadi presiden sebagai hasil pemilihan oleh MPR.

Akan tetapi, tesis kekuatan figur individu dalam pemilihan terbatas, juga menjadi kurang kuat jika mengetahui bahwa Soekarno-Hatta yang menjadi proklamator NKRI dan bukan Muhammad Yamin. Soeharto yang menggantikan Soekarno dan bukannya Rekso yang dipilih Soe karno untuk memulihkan stabilitas, ataupun Abdul Haris Nasution yang menjadi atasan Soeharto. BJ Habibie yang menggantikan Soeharto dan bukan wapres-wapres lain nya sebelumnya, maupun mendagri, menteri Luar Negeri, menhankam/pangab, atau ketua MPR atau ketua DPR. Abdurrahman Wahid yang menggantikan BJ Habibie dan bukan Amien Rais. Megawati Soekar noputri yang menggantikan Abdurrahman Wahid dan bukan Amien Rais.

Tesis efektivitas parpol kembali terbantahkan ketika Pilpres 2004 yang memenangkan Yudhoyono men jadi presiden saat berlaku pilpres secara langsung. Tesis bahwa fi gur individu yang superior kembali menjadi tesis yang semakin diunggulkan, terutama untuk kasus tingkat nasional, sebagai fenomena baru terhadap pemilu secara langsung.

Ke yakinan ini yang semula sangat menyenangkan hati Yudhoyono sehingga semula muncul prakondisi ca pres tunggal dan reaksi percaya di ri yang tinggi. Rasa percaya yang tinggi tersebut, kemudian disikapi oleh kemunculan capres lain dan penguatan gerakan koalisi besar parpol. Devide et impera serta persatuan dan kesatuan masih menjadi strategi yang relevan dalam pilpres secara langsung. Pasangan Capres Yudhoyo no dan Wapres Kalla pernah berha sil memenangkan Pilpres 2004, di ma na figur individu yang di bangkit kan oleh rasa universalitas terpedaya, yang dikawinkan dengan koalisi partai besar Golkar.

PDIP yang membelah kekuatan Islam Nahdlatul Ulama tidak berhasil mengalahkan koalisi Yudhoyono-Kalla. PAN yang membelah kekuatan Islam Mu hammadiyah dan berkoalisi dengan kelompok nasionalis GMNI, yang juga untuk menarik masuk peminat Partai Golkar juga kurang berhasil menga lahkan suara Yudhoyono-Kalla dan Megawati-Muzadi. Efektivitas mesin politik pada waktu itu ditentukan oleh kecepatan kepastian dari berkoalisi, terutama oleh kekuatan asupan gizi berkualitas.

Jika koalisi besar parpol mengha silkan banyak pasangan caprescawapres, peluang menang akan koa lisi besar parpol akan mengecil dan yang menang adalah koalisi Yudhoyono, sebagaimana implikasi logis dari penerapan gagasan pemilu caleg sistem distrik. Jika ada dua kubu pasangan capres-cawapres, pilpres juga akan berpeluang besar untuk dimenangkan oleh koalisi Yudhoyono.

Jika koalisi besar parpol berhasil meredam persoalan konflik internal partai, yang memberikan mandat kepada mereka untuk terpilih sebagai capres, persoalan ego harga diri partai akan terkoreksi oleh kebutuhan mendasar tentang tantangan pembangunan politik bangsa kedepan, guna terbangun dari bangunan semu dan mimpi-mimpi indah periode sebelumnya. Ratusan tahun yang lalu, koalisi besar kerajaan-kerajaan kecil bangsa Skotlandia gagal terbentuk, karena perpecahan melalui konflik internal untuk memilih tetap berkuasa dalam kapel-kapel kerajaan kecil dalam perlindungan kekuasaan kerajaan Inggris Raya, jika dibandingkan untuk memerdekakan bangsa Skotlandia terhadap hegemoni kerajaan Inggris Raya.

Di Indonesia, sejarah akan menjadi bukti tentang apakah prediksi mantan perdana menteri Lee Kuan Yew dan mantan perdana menteri Mahathir Muhammad akan terbukti benar untuk berharap, agar Megawati Soekarnoputri dapat berperan lebih besar dalam pembangunan Indonesia ke depan. Perjuangan Jusuf Kalla juga akan menjadi coretan sejarah yang penting ke depan bahwa fungsi lembaga penerangan yang mampu menjelaskan secara tentram kepada masyarakat Indonesia, itu sudah cukup terwakili kepada personifikasi peran Harmoko sebagai menteri Penerangan periode pemerintahan Soeharto, ataukah musti juga melekat dalam personifikasi capres Indonesia ke depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog