Jumat, 08 Mei 2009

Partai-partai Islam Sulit Sewadah

Wawancara 03-08-2008

Luthfi Assyaukanie:


Partai-partai Islam Sulit Sewadah

PARTAI-PARTAI Islam bakal bersaing dengan partai-partai sekuler semacam Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P). Mungkinkah mereka bisa melawan partai-partai yang cerderung ”bermesin politik” canggih itu? Mungkinkan partai-partai Islam berjuang dalam satu wadah. Berikut perbincangan dengan Deputi Direktur Freedom Institute Luthfi Assyaukanie PhD, tentang sepak terjang partai Islam dalam Pemilu 2009 di Jakarta, belum lama ini.

Pemilu 2009 sudah dekat, namun hingga saat ini mengapa partai politik (parpol)-partai politik (parpol) berbendera Islam masih tercerai berai?

Ini adalah warisan lama politik Islam kita, padahal umat Islam ini sebenarnya ingin bersatu, namun selalu saja tidak mampu mewujudkan dalam sebuah partai politik. Sebetulnya pada awal kemerdekaan ada parpol Islam, yaitu Masyumi, yang bisa menyatukan berbagai kelompok atau organisasi Islam di Tanah Air.

Hanya banyak yang menilai yang disatukan Masyumi adalah dua kekuatan besar Islam di Indonesia, yaitu NU dan Muhammadiyah. Namun kebersatuan kelompok-kelompok Islam dalam Masyumi itu tidak lama. Kita lihat pada 1947 Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) memisahkan diri secara. Ini adalah pecahan pertama Masyumi yang kemudian disusul oleh NU pada 1952.

Setelah itu muncul friksi-friksi dalam Masyumi dan juga partai-partai Islam pecahannya. Ada friksi Jawa dan luar Jawa dan sebagainya.

Dan fenomena ini juga terjadi di mana-mana. Ini merefleksikan kenyataan bahwa Islam itu memang begitu beragam, sehingga sulit sekali jika Islam ”diringkus” sewadah, separtai, sebendera.

Parpol Islam tetap sulit bersatu, apalagi bila dikaitkan dengan kepentingan politik yang sangat beragam dan pragmatis. Kepentingan beragama ini sering merupakan keinginan di luar kepentingan agama Islam itu sendiri. Bahkan pada agenda bersifat isu Islam saja mereka berbeda pendapat.

Kita ingat saat Sidang Istimewa MPR 2002, saat merebak keinginan kembali ke Piagam Jakarta. Saat itu Partai Keadilan (yang kini menjadi PKS) tidak setuju dengan upaya kembali ke Piagam Jakarta. Jadi isu yang paling mendasar seperti itu saja, mereka bisa berbeda pandangan, apalagi isu-isu yang lain.

Sebenarnya apa keunggulan partai Islam di negeri kita yang masyarakatnya pluralis, dan kaya akan budaya lokal?

Politik Islam di Indonesia itu agak unik. Di negara-negara lain semacam Turki, Yordania dan Aljazair, Islam politik mengalami kebangkitan dan akhirnya mereka berjaya pada saat pemilu digelar.

Dalam kasus di Indonesia yang terjadi malah sebaliknya. Jika kita membandingkan dua pemilu terakhir dengan Pemilu 1955, maka terjadi penurunan yang signifikan. Pada Pemilu 1955, partai-partai Islam memperoleh hampir 50 persen kursi. Pada pemilu terakhir jumlah perolehan kursi partai-partai Islam ternyata kurang dari 20 persen. Menurut saya ini merefleksikan bahwa umat Islam tidak antusias bila Islam dijadikan komoditas politik. Jadi partai Islam tidak mendapatkan keunggulan, walau mayoritas penduduk kita muslim. Ke depan kondisi ini bisa semakin parah dalam arti semakin berkurang perolehan suara parpol berbasis Islam, atau cenderung stagnan. Kalaupun naik juga tidak signifikan. Penduduk yang mayoritas muslim bukan jaminan kesuksesan bagi partai-partai Islam.

Mengenai Partai Kebangkitan Bangsa (PKNB) dan PAN yang tidak sukses, saya rasa ini lebih karena keduanya tetap dilihat masyarakat ”keberatan” membawa organisasinya, sehingga sulit sekali dipisahkan dari NU dan Muhammadiyah di belakangnya. NU dan Muhammadiyah begitu melekat.

Karena ada tarik menarik antara pihak yang ingin melepaskan diri dari ikatan-ikatan tersebut dan di sisi lain ada yang ingin mempertahankannya, maka terjadilah perpecahan. Karena itu lahirlah PKNU dan Partai Matahari Bangsa (PMB).

Kita lihat bagaimana soliditas partai-partai Islam yang makin banyak jumlahnya ini. Belum lama ini saya berbicara dengan Sutrisno Bachir, dia mengatakan dengan ada PMB, maka makin mendorong kesadaran PAN untuk makin ke tengah. Tapi menurut saya ini sudah terlambat. Kita bisa melihat hasil Pemilu 2004. PAN dengan kekuatan Muhammadiyah yang belum terpecah saja, hanya memperoleh suara delapan persen.

Di tengah keterpurukan parpol berbasis Islam, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ternyata semakin mantap. Bagaimana Anda melihat fenomena ini? Apa yang menunjang kesuksesan mereka?

PKS adalah sebuah partai Islam yang menjadi besar bukan karena mengusung gagasan keislaman. PKS justru menjauh dari agenda-agenda keislaman. Mereka benar-benar belajar dari kondisi pada saat mereka masih bernama PK.

Coba kita lihat pada saat mereka gencar mendukung penerapan syariat Islam, negara Islam, ternyata perolehan suara mereka jeblok, sehingga mereka tidak memenuhi electoral treshold. Lalu berdasarkan aturan mereka mengganti nama menjadi PKS yang juga diikuti dengan perubahan strategi dan isu yang mereka angkat.

Saya pernah berbicara panjang lebar dengan Nurmahmudi Ismail yang pernah menjadi presiden partai tersebut. Saya tahu menjelang 2004, pimpinan PKS mewanti-wanti jajaran pengurusnya untuk memopulerkan Clean Government (pemerintahan yang bersih dari praktik korupsi), juga isu keadilan dalam bidang ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

Isu-isu ini sesungguhnya juga sering dipopulerkan oleh partai-partai yang tidak berbasis agama. Strategi ini berhasil dan PKS akhirnya meraih perolehan suara hampir empat kali lipat dibandingkan perolehan pada Pemilu 1999. Saya kira bila partai-partai berbasis Islam ingin memperoleh sukses, maka mereka harus berupaya untuk berada di jalur tengah.

Yang saya maksud jalur tengah adalah upaya untuk merangkul semua pihak baik pihak yang ada di bagian kiri yaitu nasionalis, sosialis, kiri radikal misalnya, juga di kanan misalnya kaum agamis bahkan radikal dan fundamentalis.

PKS sedang mengupayakan hal itu, tapi tetap kental keislamannya.

Partai-partai Islam dulu mendulang sukses karena ketokohan pemimpinnya seperti halnya Natsir untuk Masyumi. Seberapa pentingkah kehadiran seorang tokoh?

Saat ini yang penting adalah manajemen partai. Dan PKS adalah contoh bagus tentang manajemen partai. Untuk menjalankan roda partai perlu manajemen yang bagus. Kita lihat bahwa untuk partai yang tidak berbasis agama, Partai Golkarlah yang modern.

Mereka punya struktur dan mesin yang kokoh. Kalau partai lain, segala sesuatunya sangat dibayangi pemimpinnya, sehingga akhirnya justru menimbulkan kesulitan.

Coba bayangkan bila gerak partai hanya semata-mata untuk kepentingan pemimpin, dan tidak bisa apa-apa lagi karena begitu kuatnya bayang-bayang sang pemimpin.

Kehadiran pemimpin yang begitu kharismatik, yang begitu dominan juga bisa kontraproduktif. Di Golkar saya rasa lebih cair daripada di PDI-P. Jadi sekali lagi partai harus diorganisasi dengan baik.

Yang juga perlu kita pahami, saat ini pertarungan ideologi sangat jauh berbeda dari kondisi pada 50-an hingga 70-an. Sekarang suasananya lebih cair, sehingga kita tidak lagi bicara ideologi dalam pengertian yang sempit. Karena tidak ada lagi sebuah ideologi besar yang dibela, maka yang perlu kita kedepankan adalah program kerja.

Dalam konteks saat ini orang dalam melihat partai Islam tidak lagi semata-mata ideologi, tapi bagaimana program kerja partai dan bagaimana orang-orangnya. Masyarakat sudah tahu, kalau orang partai-partai Islam ternyata sama juga kelakuannya dengan orang-orang partai non-Islam. Yang lain korupsi mereka juga ikut-ikutan korupsi, jadi sama saja kan.

Jadi sekarang masyarakat hanya melihat apakah partai ini memang punya program kerja yang baik yang dapat direalisasikan, concern kepada peningkatan kesejahteraan rakyat, juga mampu menghadirkan orang-orang yang bersih dari praktek KKN dan perbuatan tercela lainnya.

Juga bagaimana sebuah parpol bisa merespons keinginan kaum muda. Hal-hal ini yang harus diperhatikan oleh semua parpol.

Biografi

Luthfi Assyaukanie

Jakarta, 27 Agustus 1967

Jabatan:

Deputy Executive Director, Freedom Institute, Jakarta.

Bidang Kajian:

1. Pemikiran Islam, Pergerakan Islam, Masyarakat Muslim

2. Agama dan Modernitas di Dunia Islam dan Barat

3. Filsafat Politik, Agama dan Politik

4. Islam di Asia Tenggara dan Timur Tengah

Riwayat Pendidikan:

2006 PhD in Islamic Studies, University of Melbourne, Australia

1995 MA in Islamic Philosophy, International Islamic University, Malaysia

1993 BA in Islamic Law (Major), University of Jordan, Yordania

1993 BA in Philosophy (Minor), the University of Jordan, Yordania

Pengalaman Kerja:

2008-sekarang, Deputy Executive Director, Freedom Institute, Jakarta.

1999-sekarang, Dosen Senior, Department of Philosophy and Religion, Universitas Paramadina, Jakarta.

2006-sekarang, Board Member. Maarif Institute, Jakarta.

2006-sekarang, Board Member. Tifa Foundation, Jakarta.

2006-sekarang, Research Associate. The Freedom Institute, Jakarta.

2001-sekarang, sebagai co-founder Jaringan Islam Liberal (JIL), Jakarta.

Penghargaan:

2008, Nominee of the Australian Alumni Awards for the category of Sustainable Economic and Social Development, Indonesia

2007, the Chancellor’s Prize for an excellent PhD Thesis, Australia

2002-2005, Australian Development Scholarship, Australia

Buku-buku:

1. Islam and the Secular State: Discourse on Models of Polity in Indonesia (ISEAS Singapore; forthcoming).

2. Islam Benar versus Islam Salah, Kata Kita, Jakarta, 2007.

3. Wajah Liberal Islam di Indonesia (Faces of Liberal Islam in Indonesia). Jakarta: Jaringan Islam Liberal: Teater Utan Kayu, Jakarta, 2002.

4. Politik, HAM, dan Isu-isu Teknologi dalam Fikih Kontemporer (Politics, Human Rights, and The Issues of Technology in Contemporary Islamic Law). Cet. 1. ed. Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.

5. Ensiklopedia Tematis tentang Islam, dan Ensiklopedia untuk Pelajar Islam

(Hartono Harimurti/35)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog