Selasa, 05 Mei 2009

Krisis Konstitusional?

Oleh Todung Mulya Lubis

Beberapa bulan sebelum pemilu, sudah disuarakan ihwal daftar pemilih tetap yang ditengarai tak menampung semua pemilih.

Pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum seakan menganggap remeh kritik yang dilontarkan. Lalu, seusai Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur, ihwal DPT yang tak akurat dan ditengarai manipulatif ini mencuat. Tak ada antisipasi, DPT Pemilu 2009 ini amat bermasalah. Akhirnya, saat pemilu diadakan, 9 April 2009, banyak pemilih yang tak terdaftar dan tak bisa menggunakan hak pilihnya. Hak konstitusional dikebiri inkompetensi penyelenggara pemilu, terutama KPU.

Berapa jumlah pemilih yang tak bisa memilih? Ada yang menyebut 10 juta-45 juta. Saya tak tahu angka persisnya. Tetapi, tak keliru untuk menyimpulkan, kualitas Pemilu 2009 amat buruk. Hak seorang warga negara tak boleh dirampas oleh penyelenggara pemilu. Anak saya yang baru pertama kali mau menggunakan hak pilih tak bisa memilih karena namanya tak masuk DPT. Dia kecewa bersama jutaan pemilih yang tak bisa memilih.

Kambing hitam

Pemerintah dan KPU tak mau disalahkan. Memang jika membaca Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, pemerintah ada benarnya. Partai politik seyogianya mengecek DPS dan DPT, pemilih juga seyogianya mengecek DPS dan DPT.

Namun, kesalahan partai dan pemilih tak bisa dijadikan kambing hitam. Kesalahan utama tetap pada pemerintah dan KPU karena asal data penduduk datang dari pemerintah dan pemutakhiran data penduduk adalah kerja KPU. Semua partai dirugikan akibat DPT tak akurat.

Protes bermunculan terutama oleh partai yang kalah dan merasa dirugikan. Banyak yang merasa, DPT dibuat sedemikian rupa untuk memenangkan partai tertentu. Ada invisible hands yang bermain. Saya tak mau masuk wilayah itu dan tak punya bukti bahwa ada grand design untuk memenangkan partai tertentu. Namun, saya setuju dengan seorang pengamat yang mengatakan, DPT ini mengandung pelanggaran sistemik, tetapi tidak sistematik. Artinya, DPT yang tak akurat ini merugikan semua partai, tetapi bukan secara sistematik merugikan partai-partai tertentu. Bagi saya, pelanggaran sistemik atau sistematik adalah pelanggaran serius, a denial of citizen rights. Orang yang marah akan bilang ini crime of election.

Pertanyaannya, apa yang akan dilakukan terhadap pemilu yang meniadakan hak banyak pemilih untuk memilih? Apakah pemilu itu sah dan legitimate? Wacana hukum tentang hal ini akan selalu bermuara pada perbedaan opini. Sebagian berpendapat, semua harus legowo dan menerima hasil pemilu sembari memperbaiki DPT untuk pemilu presiden nanti.

Bagi sebagian orang, pemilu ini dinilai cacat, harus diulang. Bahkan, sudah ada yang mengancam tak akan menerima hasil pemilu. Kita lihat tanggal 9 Mei nanti, apakah ada partai yang menolak hasil pemilu dan tak bersedia menandatangani berita acara rekapitulasi hasil pemilu. Menurut UU, hasil pemilu itu tetap sah dan KPU bisa mengesahkan hasil pemilu itu, dengan catatan, KPU pasti akan digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Pemilu dianggap sah?

Di Thailand, MK bisa membatalkan hasil pemilu dan meminta pemilu ulang. Yang menarik, apakah pilpres bisa dilaksanakan jika pemilu dianggap tak sah? Apakah partai yang menolak hasil pemilu akan ikut pilpres atau berhak ikut pilpres? Bagaimana jika pilpres hanya diikuti satu pasangan capres dan cawapres?

Untuk diketahui, UU No 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dibuat dengan asumsi akan ada sedikitnya dua pasang yang bertarung. Jika penolakan terhadap hasil pemilu terjadi, gugatan terhadap KPU dimasukkan ke MK, pilpres tertunda atau hanya diikuti satu pasangan, atau KPU tak berani melaksanakan pilpres, maka kalender konstitusi akan molor.

Konsekuensinya, pada Oktober masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden berakhir, akan terjadi kekosongan kekuasaan. Kursi presiden tak bisa diisi triumvirat Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan, seperti diamanatkan Pasal 8 (3) UUD 1945, karena kabinet ini melekat pada Presiden. Kalau Presiden berakhir masa jabatannya, berakhir pula masa jabatan para pembantunya.

Dalam tafsir konstitusional, berdasarkan Pasal 8 (3) UUD 1945, MPR mesti bersidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Tetapi, karena hasil pemilu ditolak, kita belum tentu sudah memiliki MPR sementara MPR lama sudah berakhir masa jabatannya. Di sinilah kekosongan kekuasaan terjadi. Di sini krisis konstitusional bisa terjadi.

UUD 1945 tak mengantisipasi hal ini. ”Penemuan hukum” harus dibuat MK (bersama Mahkamah Agung). Berbahaya bila kosong kekuasaan, negara bisa porak-poranda.

Todung Mulya Lubis Wakil Presiden Kongres Advokat Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog