Namun, mengapa harapan itu melemah? Mengapa kualifikasi sebagai salah satu negara demokrasi terbesar tidak membawa perubahan substansial?
Dalam
Derita menjadi lengkap saat agama yang seharusnya membebaskan ternyata mengungkung. Ia hanya berlaga pada level ritual dan dogmatis. Agama asli kaum Maya yang mengakar dan inkarnatif disingkirkan.
Proses itu berlanjut. Kekuatan ekonomi neoliberal dan mesin kapitalisme yang datang sesudahnya ternyata lebih sadis. Mengutip ungkapan penerima Nobel Perdamaian asal Guatemala, Rogoberta Menchú Tum, ia bagai mengeluarkan daging dari tubuh (
Awalnya, realitas yang mencabik ini dilawan. Bahkan, beberapa pastor, seperti Francisco González Lobos, Aqueche, dan Durán, menggerakkan umat untuk bergerilya. Namun, lain yang terjadi. Kesalahan perhitungan menyebabkan penderitaan itu menjadi lebih lama dan tak pasti.
Kenyataan itu membuat mereka kembali pada akar budayanya. Matahari (
Proses ini menyadarkan, perubahan akan muncul setelah setiap tragedi asal ada kesediaan untuk belajar dari pengalaman, kecerdasan menyusun proses, dan kesabaran menunggu momentum yang pas.
Di negeri kita, ”desinkarnasi” tidak hanya terjadi selama 350 tahun masa kolonialisme. Ia berlanjut selama 63 tahun kemerdekaan, terutama dalam 11 tahun reformasi. Derita kita tidak kurang sadis dari warga Maya. Tidak hanya darah dan daging (
Hal ini amat terlihat dalam suasana pemilu saat ini. Dengan spanduk, baliho, dan stiker, rakyat diundang ikut berpesta demokrasi. Padahal, semua tahu, janji itu disangsikan. Pemilu dilaksanakan bukan demi rakyat, tetapi demi pemenuhan perilaku narsistik (
Kepincangan itu masih bisa diterima (meski terpaksa). Bagi rakyat, kafilah kehidupan (pekerjaan) terus berjalan. Apatisme dibiarkan menggumpal. Ada yang lebih penting, yakni tuntutan untuk bertahan hidup. Namun, saat badai pengangguran menghanyutkan 37.905 buruh (
Bagaimana ”mendagingkan kembali” (reinkarnasi) proses politik kita agar bermakna? Pertama, butuh totalitas perjuangan. Desinkarnasi yang begitu menggerogoti perlu dilawan dengan pembangunan kesadaran. Ia berawal dari internalisasi nilai-nilai yang lalu menyebar dalam kesadaran kolektif. Rakyat membangun partisipasi untuk memilih pemimpin berbobot dan mengawal mereka memenuhi janjinya. Jika proses ini dijalani, pemilu menjadi sarana perubahan seperti dijanjikan.
Kedua, perlu pemaknaan tentang materi. Selama ini egoisme kapitalistik telah membuang roh materi dan menjadikannya hanya sekadar obyek. Padahal, keadilan dan pemerataan bisa terwujud saat ia berbias dari kesadaran bahwa dalam setiap materi tersimpan imperatif moral untuk berbagi. Bila kesadaran ini ada, mustahil ada pengerucutan kekayaan pada diri sendiri.
Ketiga, perlu kesabaran revolusioner (
Sebaliknya, perubahan hanya bermakna saat kita mengedepankan nalar dan nurani. Nalar untuk menyibak kepalsuan, nurani untuk menempatkan keaslian sebagai prioritas. Bila proses ini dimulai, kesejahteraan umum akan ”mendarah daging”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar