Selasa, 05 Mei 2009

Membaca Yudhoyono

Oleh EEP SAEFULLOH FATAH

Jika ”sukses elektoral” menjadi ukuran, sulit untuk tak menyebut Susilo Bambang Yudhoyono sebagai politisi yang sukses. Sukses elektoral dihitung berdasarkan kemampuan meraup dukungan pemilih melalui pemilihan umum.

Dalam Pemilu Legislatif 2004, Yudhoyono membawa Partai Demokrat yang baru didirikannya meraih 7,45 persen suara secara nasional. Lalu, dengan membawa partainya berkoalisi dengan tiga partai menengah-kecil, Yudhoyono yang berpasangan dengan Muhammad Jusuf Kalla meraih 67.345.331 suara (60,88 persen) dalam putaran kedua Pemilu Presiden 2004, mengalahkan dengan telak pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi yang ”hanya” meraih 43.271.395 suara (39,12 persen). Artinya, Yudhoyono berhasil mentransformasikan koalisi partai berbobot 18,67 persen menjadi nyaris 3,3 kali suara dukungan rakyat.

Lalu, terlepas dari cacat daftar pemilih tetap dan besarnya golongan putih, berdasarkan hasil hitung cepat sejumlah lembaga dan perhitungan sementara Komisi Pemilihan Umum, Yudhoyono membawa Partai Demokrat meraih lebih dari 20 persen suara dalam Pemilu Legislatif 2009 atau nyaris tiga kali lipat dari hasil Pemilu 2004.

Wajar jika hari-hari ini mengemuka pertanyaan: dengan raihan suara Partai Demokrat lebih dari 20 persen, mengapa Yudhoyono belum juga menemukan kandidat wakil presiden? Bukankah, sesuai dengan pernyataan kalangan Partai Demokrat sendiri, Yudhoyono bisa memilih siapa pun sebagai pasangannya? Bukankah, sejalan dengan keyakinan diri besar berbasis hasil beragam survei dari para pendukungnya, ”dipasangkan dengan sandal jepit” pun, katanya, Yudhoyono akan bisa memenangi pilpres?

Namun, izinkan saya membaca Yudhoyono dari kejauhan, dengan segenap keterbatasan pengetahuan saya tentangnya.

Sejarah masa depan

Raihan suara Partai Demokrat dalam Pemilu Legislatif 2004 dan 2009 bukan saja bercerita tentang sejarah sebuah usaha politik, tapi juga sejarah masa depan sebuah partai. Fakta tentang posisi dan peran Yudhoyono sebagai tiang penopang utama dan satu-satunya bagi partainya sungguh sulit disembunyikan. Alih-alih membangun sebuah partai modern berbasis manajemen partai, Partai Demokrat tumbuh sebagai ”partai personal” dan ”belum institusional”.

Pendeknya, Partai Demokrat adalah Yudhoyono dan Yudhoyono adalah Partai Demokrat. Maka, raihan suara mereka dalam Pemilu 2009 membunyikan keras-keras alarm peringatan bahaya tentang masa depan partai itu: bagaimana nasib partai itu tanpa Yudhoyono kelak?

Partai Demokrat memang tak sendirian. Umumnya partai era reformasi tumbuh dengan karakter personalisasi yang kental. PDI-P dengan Megawati. Partai Kebangkitan Bangsa dengan Abdurrahman Wahid. Bahkan terbukti sekarang, Partai Amanat Nasional dengan Amien Rais.

Pada titik itu, sukses elektoral yang dicapai Yudhoyono sejatinya hanya layak dirayakan dengan banyak catatan. Tak hanya itu, sukses itu juga datang bersama serumpun konsekuensi tak main-main. Salah satunya berbentuk buah simalakama yang tersimpan di kantong Yudhoyono hari-hari ini.

Media menyebutkan 19 nama di kantong itu yang sedang ditimbang menjadi pasangan. Saya bayangkan, dengan karakter partai yang dimilikinya, memilih satu di antara 19 nama bukanlah pekerjaan mudah. Memilih Hidayat Nur Wahid, sekadar misal, boleh jadi seperti membesarkan anak macan. Jika pasangan ini menang, Yudhoyono dan Partai Demokrat seperti memfasilitasi seorang kader partai lain untuk menjadi nomine paling kuat dalam Pemilu Presiden 2014.

Maka, tersajilah sejumlah alternatif: memilih pasangan dari kalangan nonpartai atau kalangan partai yang tak berada di arus utama partainya dan tak ”semengancam” Hidayat.

Nyatanya, tak juga tersedia pilihan mudah. Orang seperti Hatta Rajasa, misalnya, memang tak datang dari arus utama Partai Amanat Nasional, tetapi mendatangkan pekerjaan rumah tak main-main. Sebab, PAN boleh jadi tak menyokongnya secara formal dan berpotensi menjadi barisan penentang pemerintahan dalam lembaga legislatif.

Memilih orang nonpartai semacam Sri Mulyani Indrawati, Boediono, atau Jimly Asshiddiqie sama tak mudahnya. Resistensi partai-partai calon penyokong koalisi boleh jadi akan besar. Meski demikian, saya menduga, yang membuat Yudhoyono dan Partai De- mokrat begitu percaya diri hingga hari-hari ini adalah sebuah peribahasa: Sukses itu banyak orangtuanya, gagal itu yatim piatu.

Mereka percaya bahwa ketika menjadi pemenang, mereka akan jadi lampu yang dengan serta-merta mendatangkan laron. Setidaknya, begitulah cerita pembentukan pemerintahan Yudhoyono-Jusuf Kalla pada Oktober 2004.

Jika demikian halnya dan cerita itu berulang, ada sebuah kecemasan yang layak diajukan: lalu, perubahan dan perbaikan macam apa yang bisa kita harapkan selepas Pemilu 2009 ini?

Jika ia mereduksi politik sekadar sebagai aktivitas mencongak, apa yang membedakan Yudhoyono dengan politisi lain? Mengapa ia lebih layak dipilih?

Alhasil, bukankah sukses elektoral itu berhenti sekadar ”sukses statistik”, bukan ”sukses politik”?

EEP SAEFULLOH FATAH Pemerhati Politik dari UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog