Senin, 04 Mei 2009

Golkar Limbung, Positifkah?

Oleh Roch Basoeki Mangoenpoerojo

Partai Golkar sedang limbung. Ini berat, tetapi bagus untuk bangsa ini, setidaknya mengikis ”dendam Orde Baru” untuk membubarkannya. Sisi lain amat berpeluang dapat memperbaiki kehidupan bangsa.

Sejak dilecehkan hanya akan menuai 2,5 persen dalam Pemilu 2009, seluruh warga Golkar merasa gerah. Perolehan suara Golkar menurun dari 23 persen (2004) menjadi 14 persen (2009). Ini pukulan berat bagi para pengurusnya.

Selain itu, Golkar juga ”dihantam” lima kriteria calon wapres dari SBY. Harga diri ketua umum pun rontok. Begitukah nasib parpol penguasa Orde Baru 32 tahun lebih dan kini limbung? Peran apakah yang harus diambil Golkar?

Potensi Golkar

Dalam Pemilu 2009, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan bisa bertahan pada angka 14 persen. Hal ini lebih dikarenakan fanatisme terhadap sosok Bung Karno. Selain itu, pengurus mampu bertahan menjadi oposan selama lima tahun. Sedangkan lonjakan 300 persen suara Partai Demokrat lebih dikarenakan kepiawaian SBY, not more. Tetapi, fenomena PKS itu lain, perlahan-lahan merambat naik, lebih profesional.

Dibandingkan ketiga partai di empat besar itu, secara potensi, Golkar jauh lebih hebat, baik dalam pengalaman, organisasi pendukung, ketersediaan profesional manajemen partai yang didukung aliran dana sejak Orde Baru, serta aksesibilitas dengan birokrasi (seluruh birokrat mantan Golkar) maupun dunia internasional yang sudah melembaga. Meski demikian, masih ada dua kelemahan, yaitu kemampuan ”berendah hati” dan kemampuan ”tidak berkuasa”.

Agaknya, kedua hal itulah yang menjadi penyebab limbungnya peran Golkar. Ingin berkuasa tetapi dipatahkan oleh arogansi kekuasaan pihak lain. Jika Golkar mau berendah hati barang sedikit, dengan segala potensi yang dimiliki, tentu akan melihat peluang lebih besar kelak.

Konkretnya, dalam situasi sekarang, negara-bangsa memerlukan kerendahan hati dari pihak-pihak yang pernah berkuasa, seperti TNI, birokrat, dan Golkar. Rendah hati untuk tidak ingin berkuasa, berkoalisi, dengan partai-partai tradisional (PDI-P) maupun partai kecil yang baru berdiri dan seterusnya. Dengan keberadaan Golkar, koalisi ini belum tentu kalah. Andaikata menang pun, Golkar sebaiknya tetap mengalah untuk tidak menjadi ”penguasa koalisi”.

Lebih bijaksana jika Golkar menyiapkan diri (dan seluruh bangsa) untuk menatap ”ajang” 2014. Ada tuntutan bangsa menjelang 2014, yaitu pembentukan kepemimpinan nasionalis agar bangsa menjadi kelanjutan dari bangsa proklamasi 1945.

Kepemimpinan nasionalis bukan hanya berarti menyiapkan sosok pemimpin, tetapi juga menyiapkan sistem nasional, termasuk di dalamnya sistem kepartaian yang kini masih amburadul. Lalu manajemen kepartaian yang berideologi lengkap dengan personalia yang kompetitif tetapi siap bermusyawarah mufakat.

Ratusan kesepakatan

Mengingatkan kenasionalan kita, tengoklah sejenak sejarah. Kemerdekaan Indonesia dirintis para cendekiawan sejak akhir abad ke-19. Upaya panjang sebuah masyarakat terjajah yang tercerai-berai agar menjadi bangsa merdeka dengan anugerah kekayaan luar biasa, pada posisi sentral di antara empat benua dan dua lautan dunia.

Perjalanan itu dirangkai berbagai kesepakatan, sejak dari kesepakatan lokal yang sederhana dan berjangkauan sempit, berpuncak pada ”tonggak bangsa” Kebangkitan Nasional 1908 dan diikuti tonggak-tonggak berikut, seperti Sumpah Pemuda, mengikatnya menjadi bangsa, proklamasi mewujudkannya menjadi negara, dan memastikan teritorial dengan Deklarasi Djoeanda (diterima dunia, UNCLOS 1982).

Kini semuanya tertelan waktu, tak tampak dalam kehidupan sehari-hari. Hanya ada dalam ucap saat peringatan hari-hari bersejarah atau tulisan opini. Tak terlihat dalam produk perundangan yang mempunyai kekuatan memaksa secara hukum. NKRI belum layak menyebut sebagai negara hukum yang berlandaskan hukum nasional.

Akibatnya, setelah 64 tahun, kondisi bangsa tetap tercerai-berai bak ”masyarakat anak terjajah”. Masyarakat elite taat pada ”majikan”, melihat dunia lebih dari sisi kebendaan seperti harta, kekuasaan, jabatan, dan sebagainya. Akibatnya, rakyat dan bangsa terabaikan, dibiarkan tetap berperilaku anak terjajah tanpa mampu membangun golongan menengah.

Itulah tantangan 2009-2014, khususnya bagi Golkar. Masih validkah kesepakatan itu? Siapa yang mengawal dan bagaimana mewujudkannya?

Roch Basoeki Mangoenpoerojo Mantan Sekretaris Balitbang PDI-P (1993-1999)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog