Seorang teman dari Malaysia, yang baru saja bertugas di Jakarta, mengaku sulit memahami karakter politik Indonesia. Tokoh yang dahulu bermusuhan, tiba-tiba bersahabat. Dulu, bersahabat, tiba-tiba seperti bermusuhan. Tidak itu saja. Ia mengamati sejumlah partai berkoalisi bukan karena kesamaan platform, melainkan karena alasan sangat personal, sangat pribadi, dan bertemu lawan bersama.
Kepada teman Malaysia itu, saya mengatakan bahwa bangsa ini sesungguhnya memiliki tradisi politik yang hebat. Warisan masa lalu, yang pantas menjadi contoh bagi siapa pun: politik yang indah, beretika, dewasa, dan tanpa dendam.
Mohammad Natsir contoh dari keindahan etika berpolitik itu. Sebagai pemimpin Masyumi, partai yang kemudian dibubarkan Soekarno, Pak Natsir biasa berdebat sengit dengan DN Aidit, ketua PKI. Ideologi keduanya berlawanan. Setelah bersitegang mempertahankan prinsip, keduanya minum teh bersama. ''Sebagai tokoh Masyumi, saya biasa minum teh bersama tokoh-tokoh PKI. Kami memusatkan diri kepada masalah, bukan kepada person,'' kata Pak Natsir kepada Editor, 23 Juli 1988.
Orde Baru membebaskan Pak Natsir dari tahanan rezim Soekarno. Namun, Pak Natsir tidak mendapatkan kebebasan politik. Masyumi tetap juga dilarang. Bahkan, ulama dan cendekiawan santun itu dicekal Soeharto. Meski begitu, Pak Natsir tetap membantu Soeharto memulihkan hubungan dengan Malaysia, lewat suratnya kepada PM Malaysia, Tengku Abdurrahman.
Ketika pemerintah Soeharto kesulitan mendapatkan modal dari Jepang, Pak Natsir menulis surat kepada sahabatnya, Takeo Fukuda, perdana menteri Jepang saat itu. Atas saran Pak Natsir, Fukuda bersedia membantu Indonesia. "Beliau (Natsir) meyakinkan kami tentang masa depan Indonesia," tulis Fukuda dalam surat belasungkawa atas wafatnya Pak Natsir, 1993.
Keindahan lain dapat diteladani dari Buya Hamka. Rezim Soekarno memenjarakan Buya Hamka pada 1964-1966. Hamka difitnah, dituduh pro- Malaysia. Sastrawan besar dan tokoh Masyumi ini tidak dendam pada Soekarno. Bahkan, Buya mengambil hikmahnya. Selama di penjara, ulama besar bersuara lembut ini justru berhasil menyelesaikan karya besar, Tafsir Al-Azhar.
Ketika Soekarno meninggal pada 21 Juni 1970, Buya Hamka berdiri di depan dan menjadi imam shalat jenazah Soekarno. ''Saya telah memaafkannya. Soekarno banyak jasanya,'' kata Buya ketika itu dengan suaranya yang lembut. Kedua tokoh besar itu telah mewariskan etika dan keindahan berpolitik. Mereka berbeda pandangan dengan lawan politiknya, namun tidak membawanya ke wilayah pribadi, tidak menyimpan dendam, bahkan tetap membina silaturahim. Mereka merendahkan suara ketika berdebat keras. Mereka tidak menghujat dan merendahkan lawan politiknya.
Kedua tokoh tersebut mewariskan keindahan kepada kita. Warisan itu ibarat ribuan kuntum bunga di taman hati yang indah dan menyejukkan. Namun, ribuan kuntum bunga itu kita biarkan kering dan mati karena hati kita adalah tanah yang keras. Bahkan, sekuntum bunga sekalipun tidak dapat tumbuh, kecuali perseteruan dan kebencian.
Rabu, 06 Mei 2009
Natsir, Hamka, dan Etika Berpolitik
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Arsip Blog
-
▼
2009
(180)
-
▼
Mei
(58)
- Gagalnya Partai Islam
- Gagalnya Partai Islam
- Putra SBY, Caleg Terpilih dengan Jumlah Suara Terb...
- Daftar Anggota DPR 2009-2014
- dpr sumatra
- CALEG TERPILIH DPR-RI PEMILU 2009 BERDASARKAN RAPA...
- Tentang Ramalan Joyoboyo
- Ambiguitas Partai Islam
- SPLIT VOTING DALAM PEMILIHAN PRESIDEN 2009: EXIT P...
- Hasil Pemilu 2004
- QUICK COUNT
- Hasil Akhir Pemilu 2009
- Daftar Caleg Artis yang lolos Pemilu Legistatif 2009
- Inilah Partai Terdepak dari Senayan
- Gerindra Kalahkan PKB di DPR
- Sembilan Partai Yang Lolos ke Senayan
- 9 Partai Lolos ke DPR
- 49,6 Juta Orang Tak Memilih
- Sabam Sirait: Ada Saatnya Oposisi dan Partai Pemer...
- Demokrat 'Raja' Baru Parlemen
- Inilah Hasil Akhir Perolehan Suara Nasional Pemilu
- Partai Islam Tidak Pernah Dapat Dukungan Mayoritas
- Partai-partai Islam Sulit Sewadah
- Partai Islam, antara Kepentingan dan Dakwah.
- Prospek Partai-Partai Islam dalam Pemilu 2009
- Politik Kepentingan
- "Desinkarnasi" Politik
- "Jangan Galak-galak"
- Caleg Selebriti, Aset yang Terlupakan
- Mencermati Spekulasi Koalisi Demokrat-PDI-P
- KISRUH PAN
- Politisi Berguguran, Artis Bermunculan
- Natsir, Hamka, dan Etika Berpolitik
- Koalisi Besar Partai Menuju Pilpres 2009
- Partai Islam
- Komunikasi Politik PKS
- Membaca 'Move' Politik PAN
- Krisis Konstitusional?
- Sulteng Menunggu Klarifikasi
- Fadel Dinilai Tidak Loyal pada Golkar
- PAN yang Kini Menghadapi Ujian Berat
- Kalla Jadi Wapres karena Demokrat
- Sukses Stabilitas dan Demokrasi
- Membaca Yudhoyono
- SBY-Boediono Mengerucut, Partai Golkar Memanas
- Menebak Pengembaraan Arah Koalisi Antarparpol
- Dia Terpilih di Semarang SUTRISNO BACHIR
- Politik Surplus Representasi
- Santun Dulu, Baru Berpolitik
- Golkar Limbung, Positifkah?
- Politisi Belum Jadi Negarawan
- Tragedi Calon Legislator
- Rakyat Butuh Pemimpin Baru
- Kontrak Politik dengan Rakyat
- Partai Islam
- Di Balik Angka Pemilu 2009
- Di Persimpangan Dagang Sapi
- Komunikasi Politik PKS
-
▼
Mei
(58)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar