Senin, 04 Mei 2009

Politisi Belum Jadi Negarawan


Politik Nasional Tereduksi Jadi Perebutan Kekuasaan Saja
Senin, 4 Mei 2009 | 04:38 WIB

Jakarta, Kompas - Perpolitikan nasional yang dipertontonkan petinggi partai politik saat ini kian tereduksi menjadi sekadar perebutan kekuasaan. Perolehan suara dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden jadi kepentingan tertinggi.

Visi dan kepentingan jangka pendek, serta sikap pragmatis untuk meraih kekuasaan, itu menandai politisi kita masih belum berjiwa negarawan.

Sebaliknya, negarawan menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan. Moralitas tinggi yang dipunyai politisi berjiwa negarawan akan membuat dirinya tetap terhormat, baik saat menang maupun kalah dalam pemilu legislatif atau pemilu presiden (pilpres).

Demikian benang merah dari percakapan Kompas, secara terpisah, dengan mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Ma’arif, budayawan Franz Magnis-Suseno, dan sosiolog hukum Satjipto Rahardjo, Sabtu (2/5). Ketiganya masih berharap munculnya politisi berjiwa negarawan di negeri ini.

”Sekarang ini elite politik menunjukkan kepentingan tertinggi adalah pemilu dan pilpres. Seharusnya politisi belajar menjadi negarawan,” ujar Syafii.

Politik yang bermartabat dan bermoral, papar Syafii, bukanlah ajang rebutan dan permainan kekuasaan, tetapi selalu mengarah pada kepentingan yang lebih besar daripada kepentingan golongan, yakni kepentingan bangsa.

Ia mengingatkan, negeri ini bukan sedang dalam kondisi serba baik. Korupsi, krisis ekonomi global, bahkan ancaman disintegrasi masih menjadi tantangan serius.

Franz mengatakan, politisi yang mengungkapkan kenegarawanannya tak hanya berkehendak memegang kekuasaan, tetapi juga menegaskan dan membuktikan apa yang mau diperbuat untuk bangsa dan negara dengan visi yang benar, penting, dan mendalam.

Negarawan akan dengan sendirinya menunjukkan wawasan, integritas, serta kapasitas intelektual dan emosional di atas rata-rata. Selalu ada tarik-menarik amat ketat antara kepentingan bangsa dengan kepentingan pribadi dan golongan. Untuk itu, moralitas tinggi mutlak bagi siapa pun yang terjun ke kancah politik, apalagi menjadi pemimpin politik.

Politik pada hakikatnya adalah demi kepentingan umum. Akan tetapi, gambaran jamak menunjukkan banyak orang yang menekuni politik untuk kepentingan sendiri, bahkan demi prospek bisnis. ”Orang berbondong-bondong mencari kekuasaan seperti mencari pekerjaan,” ujar Satjipto Rahardjo.

”Penyusu”

Bagi Syafii, peradaban politik bangsa ini masih berada pada tingkat rendah. Hal itu antara lain terlihat dari tingkah pemimpin politik yang mempertahankan sikap feodal dan larut dalam pragmatisme. Mereka tak sungkan mendorong lahirnya generasi politisi ”penyusu”.

Generasi penyusu ini menumpang popularitas orangtua atau keluarga dekat untuk mendapat posisi politik meskipun mereka belum memiliki apa pun untuk ditawarkan kepada bangsa dan negara. Jadilah anak pejabat negara dan petinggi parpol terpilih meski pernyataan politik sekalipun belum ia sampaikan, bahkan di atas panggung kampanye.

Dukungan suara yang didapat juga membuktikan masih banyak warga terpikat popularitas tokoh yang membayangi, bukan kinerja dan kapasitas calon pemegang mandat rakyat itu. Melihat realitas politik pascapemilu legislatif dan menjelang pilpres, Syafii berpendapat, rakyat harus kembali bersabar hingga lima tahun mendatang untuk menyaksikan perbaikan yang lebih signifikan.

Meski demikian, tak putus harapan pada politisi senior yang saat ini sudah menguasai panggung politik agar mereka bisa menunjukkan sikap kenegarawanan. ”Kekanak-kanakan kalau berpikir hanya bisa berperan ketika mewakili parpol yang duduk di pemerintahan. Kalau takut jadi oposisi, jangan jadi kader partai,” ujar Syafii.

Moral yang tinggi seharusnya membuat petinggi parpol mampu memperlihatkan bahwa kekalahan adalah sesuatu yang biasa. Tidak perlu ada kekecewaan karena merasa dilawan dan dikalahkan yang menghalangi kelompok politik bekerja sama untuk kepentingan bangsa. Franz menyebutkan, kerja sama Barrack Obama, Hillary Clinton, dan John McCain pada pemilu di Amerika Serikat lalu sebagai contoh yang bagus.

Sebuah jargon politik disebutkan Satjipto: kesetiaan kepada partai selalu diakhiri setiap kali datang panggilan untuk setia kepada bangsa dan negara. Kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan partai. Pernyataan itu dijanjikan sebagai platform idealisme oleh semua pemimpin parpol. Namun, satunya kata dan perbuatan elite politik ini yang dinantikan.

”Selalu ada tarik-menarik antara platform idealisme dan watak politik yang mengarah pada upaya mendapat kekuasaan,” ujar Satjipto.

Kemampuan elite politik untuk mengerem dan mengatasi persoalan teknis pemilu agar tak mengganggu kepentingan bangsa dan negara menjadi salah satu ujian penerapan platform itu. Satjipto berharap tidak ada elite politik yang memperalat kekurangan pemilu untuk menyerang pihak lain. Semua petinggi partai politik justru perlu bekerja sama untuk memperbaiki dan membantu penyelenggaraan yang lebih baik.

Pendapat senada disampaikan Franz. Pengusutan atas dugaan kecurangan pemilu tentu mesti dilakukan. Namun, harus direlakan pula jika kekisruhan itu tidak terbukti sebagai upaya sistematik.

Kritik

Platform idealisme dapat diperankan dalam posisi sebagai pemegang kekuasaan atau oposisi. Tetapi, Satjipto mengingatkan, realitas empiris mempunyai logikanya sendiri. Selalu ada kemungkinan penjabaran ideologi yang tidak memberikan hasil seperti dijanjikan ketika berhadapan dengan realitas.

”Mencari kekuasaan itu sah saja, tetapi cobalah mawas diri. Andaikan kekuatan politik di luar arus besar itu memegang kekuasaan, mereka juga akan berhadapan dengan realitas empiris yang sama,” ujar Satjipto.

Kritik yang jujur, rasional, tanpa sentimen dan sikap emosional kepada lawan politik, dipandang sebagai salah satu ciri politisi yang bermoral tinggi. Kritik tidak seharusnya menjadi upaya untuk menjelekkan, menyerang, apalagi menjatuhkan lawan politik.

”Jangan mengkritik, tetapi apa yang mereka kritik menjadi hal yang akan mereka ulangi ketika memegang kekuasaan pemerintahan,” ungkap Satjipto.

Ironisnya, menjelang pilpres saat ini, yang tampak justru tanda ”permusuhan” lewat penggalangan koalisi.

”Koalisi hanya punya arti jika mereka menunjang capres dan cawapres. Sekarang justru itu yang dihindari. Kalau koalisi untuk oposisi itu salah kaprah besar, tidak masuk akal, karena yang dibutuhkan justru koalisi untuk mendukung pemerintahan agar efektif. Oposisi tak perlu koalisi,” kata Franz. (DAY)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog