Jumat, 08 Mei 2009

"Jangan Galak-galak"

Oleh EFFENDI GAZALI

Hati-hati, jangan terlalu galak mengatakan curang. Pemilu 2004 belum lama berlangsung. Saya punya memori yang banyak, tetapi biarlah menjadi bagian masa lalu. Jangan banyak menguliahi soal curang dan tidak curang. Saya juga punya pengetahuan tentang beliau-beliau pada waktu lalu. Tetapi, biarlah ini proses dari pendewasaan demokrasi,” ujar Susilo Bambang Yudhoyono (Kompas, 22/4).

Kalimat ini mengandung multi-interpretasi. Pertama, beberapa tokoh yang bersuara galak belakangan ini pernah berbuat curang pada Pemilu 2004. Jadi, SBY mengingatkan mereka untuk tidak menguliahinya.

Kedua, karena ada yang berbuat curang pada Pemilu 2004, maka kami lebih ahli soal itu.

Ketiga, meski ada yang pernah berbuat curang, pihaknya tidak pernah melakukan! Karena itu, hendaknya ia jangan dikuliahi.

Pertanyaan mendesak itu multi-interpretasi. Mengapa Presiden bereaksi agak berlebihan, dengan pilihan kata semacam ”jangan banyak menguliahi soal curang dan tidak curang”?

Kemenangan menyilaukan

Dalam komunikasi politik ada peringatan serius, kemenangan jangan sampai menyilaukan. Untuk itu, yang sedang menang bergegas melakukan dua hal. Pertama, hemat bicara meski media akan sungguh mendesak untuk bicara dan bicara; kapan perlu sampai melakukan kesalahan-kesalahan sendiri!

Kedua, segera membentuk tim pascakemenangan, yang mengatur strategi berbicara, seperti apa, kepada siapa, dan oleh siapa, dengan berhati-hati.

Saya sudah mengungkapkan betapa Fox Indonesia memiliki kemampuan political marketing management yang tinggi, integratif, satu pintu, dan budget menakjubkan (Kompas, 17/3). Mereka juga berhasil, langsung atau tidak, membuat mata banyak partai dan pemilih tersilaukan oleh kemenangan Partai Demokrat yang nyaris 300 persen! Padahal, data menunjukkan, jika golput Pemilu 2009 sekitar 30 persen (hitungan konservatif), pemilih Partai Demokrat hanya— berdasarkan hitung cepat—20 persen dari 70 persen atau cuma 14 persen! Artinya, ada 86 persen pemilih yang belum tertarik dengan PD dan calegnya pun ada pesona ”SBY factors” yang disebut-sebut sebagai penyebab utama raihan spektakuler. Jangan lupa, 86 persen pemilih ini rela bercapek-capek dan mengantre di TPS, namun tetap menyatakan belum berminat dengan PD.

Mereka ini (86 persen) adalah pangsa pasar amat besar dengan rumus berapa capres sebagai bilangan pembaginya dan siapa cawapresnya. Diakui atau tidak, asumsi saya tentang kemenangan menyilaukan dan akibatnya kini terbukti. Tidak mudah lagi orang menyatakan, dengan siapa pun SBY maju, dia pasti menang. Salah-salah, malah modal awal 14 persen pemilih riil bisa beralih sebagian ke pasangan lain.

Ancaman gaya Orde Baru

Dalam komunikasi politik juga dikenal heating trend, artinya seseorang belum sampai ke suatu posisi, tapi tren atau daya tariknya sudah terasa. Sebelum pemilu, Prabowo sempat menikmati tren ini. Jika betul Prabowo punya bukti lebih dari 50 juta hak politik rakyat dizalimi (Kompas, 22/4), tentu bisa dijelaskan mengapa trennya tidak sedahsyat hasilnya. Kini tren sejenis sempat singgah di kubu JK-Wiranto. Golkar yang tiba-tiba menyadari konstelasi 86 persen pemilih belum tertarik pada PD (ditambah korban DPT) langsung deklarasi! Pasti ada simpati publik bahwa Golkar yang selalu menempel pada kekuasaan ternyata sekarang siap menjadi oposisi.

Survei terakhir Puskaptis UI menunjukkan, sambutan terhadap JK-Wiranto bahkan di atas elektabilitas SBY jika dipasangkan dengan sejumlah cawapres. Kini, soal survei, seharusnya tidak ada dominasi lembaga karena banyak yang telah terbukti tak akurat. Misalnya, yang menyatakan PD akan menang dengan 26, bahkan 28, persen (jauh dari fakta 20-21 persen).

Tentang konsultan, JK-Wiranto harus belajar manajemen pemasaran politik dari berbagai kampanye modern, termasuk dari gaya Fox. Soal isi komunikasi politik, mereka harus memasang target lebih unggul! Tak boleh lagi ada iklan-iklan serabutan yang tidak masuk peta strategi yang jelas! Mengulang seruan Johnson (2000, 2007): no place for amateurs. Juga tak boleh ada yang membanggakan diri sebagai mereka yang membantu memenangi Pemilu Presiden 2004. Konstelasi Pemilu Presiden 2009 adalah berbeda total!

Sayang, di luar soal kapabilitas, kini posisi konsultan atau media serius terancam. Terasa bagaimana sebagian pihak sedang mengategorikan media atau konsultan tertentu sebagai musuhnya. Padahal, dewasa ini, baik secara teoretik maupun praktik, media telah sah berpihak. Media hanya diwajibkan selalu menjelaskan alasan-alasan rasional lalu boleh menyatakan media kami mengusulkan pemilih ke calon A atau B. Independensi media mutakhir adalah ketika menyusun alasan- alasan itu hanya berdasarkan kepentingan publik.

Sekali lagi, kita harus melawan sikap pihak tertentu yang bukannya berusaha winning the heart, tetapi malah menganggap media yang mengurai fakta atau konsultan lain sebagai musuh! Mereka sebenarnya menyiratkan teror psikis, jika kami menang, (awas) kalian akan mendapat kesusahan! Jangan galak-galak, kita tak perlu dikuliahi. Itu semua persis semangat Orde Baru.

Effendi Gazali Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog