Jumat, 08 Mei 2009

Politik Kepentingan



Politik kepentingan (interest politics ). Realitas inilah yang paling menonjol dalam hari-hari politik yang melelahkan, penuh friksi, intrik, manuver, dan ketegangan; khususnya di lingkungan elite politik, baik pada tingkat nasional maupun lokal. Politik kepentingan itu terlihat jelas, khususnya dalam proses-proses pengelompokan kekuatan-kekuatan koalisi pasca-Pemilu 9 April, yang rekapitulasi suara finalnya belum selesai juga.

Dalam proses aliansi atau koalisi itu, publik bisa menyaksikan, ideologi yang mendasari berbagai parpol yang berbeda tidak lagi menjadi faktor penentu signifikan. Sebaliknya, faktor yang paling menentukan adalah kepentingan-kepentingan politik untuk menggapai dan mendapatkan porsi dalam kekuasaan, yang masih terus dalam kontestasi. Perbedaan-perbedaan ideologis atau tepatnya ideologi politik yang merupakan raison d'etre masing-masing partai, terlihat terkesampingkan; menjadi tidak lagi relevan.

Seperti masih dipegangi sebagian orang, pembelahan politik Indonesia sering ditandai perbedaan-perbedaan orientasi keagamaan yang bersifat ideologis. Secara populer ini disebut sebagai 'politik aliran', yang tentu saja mengingatkan kita pada antropolog Clifford Geertz yang berteori bahwa kecenderungan dan perilaku politik masyarakat Indonesia terbelah karena paham dan perilaku keagamaan. Teori ini biasanya pula dijelaskan dengan adanya representasi politik 'abangan' yang pada masa Orde Lama, misalnya diwakili PNI atau PKI, dan Golkar pada masa Orde Baru. Sebaliknya, politik 'santri' yang pada masing-masing masa itu diwakili Masyumi, [partai] NU, dan kemudian PPP.

Dikotomi politik 'abangan-santri' jelas kian melumer, khususnya sejak paruh kedua masa kekuasaan Presiden Soeharto berkat terjadinya perubahan-perubahan sosio-religius, ekonomi, dan politik. Golkar yang pernah disebut sebagai 'abangan', mengalami perubahan dengan penguatan elemen-elemen berwarna 'hijau' di dalam tubuhnya. Sehingga, klaim PPP sebagai satu-satunya representasi politik 'santri' kian kehilangan pijakannya.

Perkembangan seperti ini terus berlanjut dalam masa pasca-Soeharto, khususnya ketika demokrasi dengan sistem multipartai diberlakukan. Tetapi, di tengah melumernya pembelahan sosiologis-religius 'abangan-santri' anehnya 'politik ideologis' terlihat kembali menemukan momentum. Parpol-parpol yang secara historis-sosiologis memiliki akar-akarnya pada lingkungan 'abangan' bertahan dengan asas Pancasila; sementara pada pihak lain, parpol 'santri' kembali kepada atau mengambil Islam sebagai asas/dasar partai. Realitas ini seolah mengisyaratkan kembalinya politik aliran, atau bahkan politik ideologi ( ideological politics ), yang mendorong munculnya asumsi banyak ahli politik Indonesia atau Islam Indonesia, tentang bakal meningkatnya kontestasi politik dan kekuasaan di antara kedua belah pihak.

Namun, proses-proses politik Indonesia sejak Pemilu 1999, 2004, dan 2009 ini menunjukkan kekeliruan asumsi itu. Dalam ketiga pemilu itu, partai-partai yang berjaya mendapatkan suara pemilih terbanyak adalah PDIP, Partai Golkar, dan kini Partai Demokrat, yang ketiga-tiganya berdasarkan Pancasila. Seperti saya tulis dalam Resonansi pekan lalu (30/4/2009), partai-partai Islam gagal mendapatkan suara terbanyak; bahkan sebaliknya terus merosot sehingga dalam Pemilu Legislatif 2009, menyisakan hanya dua partai Islam, PKS dan PPP, yang memiliki kursi di DPR-RI atas dasar parliamentary threshold .

Bahwa politik Indonesia tidak lagi menampilkan 'politik ideologi' terlihat jelas dalam proses-proses pembentukan koalisi. Pendekatan dan pembentukan koalisi di antara partai-partai jelas tidak berdasarkan 'ideologi' partai. Partai-partai yang berdasarkan Pancasila sama sekali tidak mendasarkan koalisi pada kesamaan platform ideologi ini; kalaupun itu terjadi, hal tersebut terjadi lebih karena political necessity , keharusan politik yang memaksa, seperti terlihat dalam koalisi Partai Golkar-Partai Hanura. Kecenderungan yang sama juga terlihat dalam kasus partai-partai Islam. PKS dan PPP bahkan tidak terlihat di depan publik melakukan pendekatan satu sama lain.

Sebaliknya, PKS sejak awal merapat ke Partai Demokrat; sementara PPP semula mendekat ke koalisi 'Teuku Umar' dan kemudian merapat pula ke Partai Demokrat. Realitas ini, sekali lagi hanya menegaskan, 'politik ideologis' tidak lagi relevan; sebaliknya yang lebih relevan adalah 'politik kepentingan'. Tentu saja, 'politik kepentingan' ini sah-sah saja, tokh tujuan partai pada dasarnya adalah mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan sehingga diharapkan dapat lebih mungkin menyalurkan dan mewujudkan aspirasi-aspirasi politiknya. Masalahnya kemudian, terdapat kalangan masyarakat yang lebih 'mengidealisasikan' politik ideologis. Karena itu, memberikan dukungan politik juga atas dasar pertimbangan ideologis tersebut. Memang akhirnya berpolitik di Tanah Air tidak lagi bisa atas 'idealisasi' belaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog