Jumat, 01 Mei 2009

Kontrak Politik dengan Rakyat



Oleh Ahmad Syafii Maarif

Dengan segala borok dan kelemahan yang menyertai pemilu legislatif yang lalu, secara relatif prosesnya berlangsung aman. Ini adalah sebuah prestasi yang patut dihargai. Di sisi lain, adanya caleg gagal yang bunuh diri, pingsan, sakit saraf, dan jatuh miskin, tampaknya adalah bagian dari ongkos yang harus dikeluarkan pada saat politik masih dijadikan ladang usaha bagi pencari kerja atau cara mengaktualisasikan diri bagi mereka yang sudah mapan secara ekonomi. Dalam ungkapan lain, peradaban politik Indonesia baru sampai ke tingkat itu, tidak lebih dan tidak kurang. Fakta ini mari kita terima apa adanya. Tetapi, ke depan, kualitas demokrasi Indonesia tidak boleh berkubang dalam kultur yang kurang bermartabat itu. Sebab, itu berarti mengkhianati sila kedua Pancasila, "Kemanusiaan yang adil dan beradab." Demokrasi yang sehat hanyalah akan muncul dari suasana kultur politik yang beradab dan tahu diri.

Agar kita tidak menghabiskan energi dalam menyoroti serba kelemahan pemilu legislatif yang memang wajib diselesaikan secara tuntas dalam tempo yang singkat, Pilpres Juli 2009 jauh lebih penting untuk diperhatikan. Salah-salah dalam memilih pemimpin untuk lima tahun mendatang pasti akan membuyarkan harapan rakyat bagi perbaikan nasibnya yang masih terlunta-lunta. Oleh sebab itu, KPU harus secepatnya memperbaiki kinerjanya yang dinilai buruk oleh publik, terutama yang menyangkut DPT (daftar pemilih tetap) yang telah mengebiri hak-hak warga dalam sistem demokrasi. KPU jangan lantas berlagak pilon sebagai institusi yang kebal kritik.

Karena Pemilu 9 April tidak menghasilkan sebuah partai pemenang mutlak, politik dagang sapi tidak terhindarkan. Berkoalisi menjadi satu-satunya cara untuk menyongsong pilpres. Partai-partai, 0 dan 1, yang telah jatuh ditimpa tangga tentu tidak akan tinggal diam. Mereka pasti merapat kepada kekuatan yang dibayangkan bisa memperpanjang napas mereka. Ini adalah fakta keras dalam perjalanan demokrasi kita sampai detik ini. Tetapi, kita tidak boleh berpikir negatif tentang sistem demokrasi yang menjamin kebebasan warga untuk memilih atau tidak memilih. Dalam sistem politik dinastik, seperti yang masih dijalankan di beberapa negara Muslim, kebebasan ini telah lama terkubur, sedangkan raja/amir/sultan/penguasa menjadi satu-satunya orang yang punya kebebasan.

Saya menyadari sepenuhnya cacat dalam praktik demokrasi Indonesia yang gagal melawan kemiskinan yang masih menerpa lebih dari 100 juta rakyat kita. Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945 saat mengusulkan prinsip kesejahteraan sebagai sila keempat Pancasila menegaskan, "Tidak akan ada kemiskinan dalam Indonesia merdeka." Sila ini kemudian diubah menjadi "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" dan ditempatkan sebagai sila kelima Pancasila. Sila ini sering diucapkan para pemimpin, tetapi hampir tidak pernah dijadikan pedoman dalam mengurus bangsa dan negara.

Dalam perspektif di atas, saya memohon kepada pemenang Pilpres 2009, siapa pun orangnya, agar janji Bung Karno di atas benar-benar dijadikan acuan utama dalam menyusun program kabinet untuk jangka waktu lima tahun. Sebutlah itu sebagai kontrak politik dengan rakyat agar tidak dipermainkan lagi. Bung Karno sendiri sebagai pencetus gagasan mulia itu selama berkuasa tidak berhasil merealisasikan kontrak politik itu karena political power game yang berketiak ular dan melelahkan.

Oleh sebab itu, presiden/wakil presiden 2009-2014 dimohon untuk benar-benar berpihak kepada rakyat kecil (wong cilik) yang sudah terlalu lama menanti janji-janji para pemimpin. Dengan memerhatikan nasib rakyat miskin secara sungguh-sungguh, kedaulatan bangsa kita yang lagi oleng ini secara bertahap akan dapat dipulihkan kembali. Sebuah negara yang melindungi dan memberdayakan orang miskin pasti akan bertahan lama. Para pendiri bangsa dan negara Indonesia menyadari itu semua. Tetapi, sayangnya, mereka gagal memenuhi janji-janji kemerdekaan itu. Generasi abad ke-21 jangan lagi mengulang kegagalan itu. Jika masih gagal juga, lalu kepada siapa bangsa ini harus mengadu? Indonesia tidak kekurangan otak cerdas. Yang kurang adalah kecerdasan hati yang berpihak kepada keadilan dan kepada rakyat miskin. Inilah masalah yang amat mendasar bangsa kita yang belum mendapat penyelesaian sejak lama.

(-)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog