Jumat, 01 Mei 2009

Tragedi Calon Legislator


Jum'at, 17 April 2009 | 00:53 WIB

Merebaknya calon legislator yang menjadi sakit jiwa setelah tak terpilih amatlah menyedihkan. Sebagian mungkin karena terlalu naif: ingin mengejar kekuasaan dengan jalan pintas. Tapi sesungguhnya mereka juga korban mekanisme baru pemilihan umum dan sikap partai politik yang tak peduli.

Fenomena itu sudah diprediksi sebelum pemilu. Soalnya, para calon wakil rakyat cenderung menggunakan segala cara dalam berkampanye. Mereka rela mengeluarkan duit ratusan juta sampai miliaran rupiah. Di antara mereka ada yang mesti menjual tanah, mobil, bahkan berutang. Jangan heran jika mereka kemudian stres begitu tidak terpilih.

Persaingan sengit memang tak terelakkan setelah prinsip suara terbanyak diterapkan untuk menentukan pemenang. Calon legislator tak hanya berlomba dengan calon dari partai politik lain, tapi juga bertarung melawan calon lain dari partai yang sama. Bayangkan, sebanyak 11.215 orang memperebutkan 560 kursi Dewan Perwakilan Rakyat. Ini berarti setiap calon legislator rata-rata harus mengalahkan 19 pesaingnya. Ketatnya pertarungan juga terjadi dalam memperebutkan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten atau kota.

Hanya, masalahnya bukanlah terletak pada prinsip suara terbanyak. Putusan Mahkamah Konstitusi yang memerintahkan penerapan ketentuan ini untuk menggantikan “sistem nomor urut” sebenarnya bertujuan baik. Rakyatlah yang mesti menentukan wakilnya, dan bukan partai politik. Tapi, rupanya, baik calon legislator maupun partai politik tidak siap melaksanakannya.

Para calon legislator kelabakan karena aturan itu muncul ketika daftar tetap calon sudah ditetapkan. Sebagian besar tidak siap berkampanye menggunakan dana sendiri. Umumnya mereka juga sudah telanjur bersedia bertarung di daerah mana saja, asalkan berada di urutan atas. Padahal, dengan prinsip suara terbanyak, peluang mereka terpilih akan lebih besar jika bertarung di daerahnya sendiri.

Kalangan partai politik pun tidak menyiapkan pola kampanye dan pendanaannya yang disesuaikan dengan mekanisme baru itu. Calon legislator dibiarkan berkampanye sendiri, bersaing bebas dengan rekan separtainya. Padahal sebagian baru pertama kali terjun ke dunia politik. Di antara mereka juga harus mengawasi perolehan suaranya sendiri karena tidak percaya kepada saksi yang ditunjuk pengurus partai. Bagaimana bisa percaya bila si pengurus juga menjadi calon legislator alias pesaingnya?

Peserta pemilu, terutama partai-partai kecil, juga terkesan kurang selektif dalam memasang calon legislator. Akibatnya, banyak calon legislator yang kurang paham dunia politik pun tampil. Umumnya merekalah yang gampang terbuai oleh mimpi menjadi wakil rakyat dan rela mengorbankan apa saja. Setelah gagal, barulah mereka menyesal, linglung, bahkan ada yang sampai bunuh diri.

Tragedi ini tak boleh terulang lagi pada pemilu mendatang. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat harus melengkapi prinsip suara terbanyak dengan ketentuan lain yang mendukungnya dalam Undang-Undang Pemilu. Misalnya mengenai dana kampanye, harus ada pembagian beban yang adil antara partai dan calon legislator. Partai-partai pun mesti menyiapkan mekanisme internal. Jangan biarkan calon legislator dari partai yang sama bersaing bebas tanpa wasit, juga tanpa aturan main.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog