Jumat, 01 Mei 2009

Di Persimpangan Dagang Sapi


Oleh Harun Husein (Wartawan Republika )


Akhir April ini adalah pekan yang menentukan. Partai-partai yang meraup suara besar dalam pemilu, seperti Partai Demokrat (PD), Partai Golkar, PDI Perjuangan, dan PKS, akan menggelar hajatan partai. Kenduri inilah--mengutip istilah politik yang populer belakangan iniyang akan mengakhiri periode 'pacaran' partai-partai menjadi 'ijab kabul'.

Ada sejumlah pasangan potensial capres/cawapres. Tapi, prinsip-prinsip 'ijab kabul' itu baru santer diwacanakan SBY dan PD serta calon mitra koalisinya dan mitra koalisinya. 'Ijab kabul' akan berupa kontrak tertulis yang mengikat. Salah satu yang esensial diatur adalah koalisi tak hanya di pemerintahan, tapi juga di parlemen.

Koalisi 2004 lalu memang alpa membuat aturan main tertulis. Akibatnya, mitra koalisi di Senayan kerap bersuara keras. Salah satu yang paling dramatis adalah angket BBM. Menduga ada menteri yang juga ketua umum partai diam-diam mendukung angket, seorang pejabat negara yang dekat SBY sampai mengeluarkan pernyataan heboh (maaf) 'sontoloyo'.

Tapi, perlunya kontrak juga dilatari kurang PD-nya PD mengusung capres/cawapres sendiri. Sebabnya, PD menang pemilu dengan suara sekitar 20 persen alias simple majority . Alhasil, kendati memiliki figur capres yang layak jual di arena Pilpres 8 Juli, PD butuh dukungan partai lain. Setidaknya, ada tiga kepentingan dari koalisi itu.

Pertama, memastikan terpenuhinya syarat mengajukan capres/cawapres. UU No 42/2008 tentang Pilpres menyatakan hanya partai atau gabungan partai peraih 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara yang bisa mengajukan capres/cawapres. Melihat syarat itu, PD mutlak membutuhkan partai lain, kecuali 20 persen suaranya berbanding lurus dengan persentase kursinya.

Kedua, memperbesar peluang menang. Kendati survei memperlihatkan tingginya elektibilitas SBY--termasuk dari konstituen partai lain dan swing voters tentu akan lebih aman bila menggandeng mesin politik lain untuk melipatgandakannya. Apalagi bila mesin politik itu berkinerja mumpuni, seperti Golkar dan PKS.

Ketiga, agar kebijakan pemerintah tak tersandera di Senayan serta meredam gangguan interpelasi dan angket. Idealnya, koalisi menguasai 50 persen kursi atau minimal sepertiga agar presiden aman dari impeachment . Pasal 7B ayat (3) UUD 1945 menyatakan pemakzulan hanya bisa terjadi bila paripurna DPR dihadiri dua pertiga anggotanya.

Tapi, 'ijab-kabul' tentu perlu 'mahar'. Maka, ungkapan lama Laswell pun kembali relevan, '' Politics is who gets what, when, and how .'' Mereka akan menukar dukungan politik dengan jabatan, mulai dari kursi wapres, menteri dan pejabat setingkat menteri, dirjen, hingga kepala BUMN.Kecuali posisi cawapres, belum gamblang kapan dan bagaimana posisi lainnya akan dibagikan. Apakah saat 'ijab kabul' atau ditunda sampai usainya pilpres.

Tak seperti Obama yang menunjuk pembantunya usai pilpres--karena PD di AS tak perlu koalisi untuk menang--SBY atau Megawati bisa jadi akan menentukan lebih awal. Personalianya mungkin saja ditentukan belakangan. Tapi, partai apa dapat berapa, mungkin saja ditentukan pada lobi-lobi awal, bahkan bisa jadi saat 'ijab kabul' pekan ini.Sesuai hukum koalisi, siapa dapat berapa biasanya ditentukan secara proporsional. Partai peraih suara besar mendapat jatah lebih banyak, disusul partai peraih suara urutan berikutnya.

Kontrol DPR
Tapi, selain besar-kecilnya kue, partai-partai yang diajak berkoalisi perlu pula mencermati kontrak. Sebab, keinginan koalisi sampai ke parlemen berpotensi membuat eksekutif menghendaki kepatuhan yang terlalu besar dari anggota DPR mitra koalisinya--apalagi tak ada jaminan bahwa tak akan muncul umpatan 'sontoloyo' jilid II.

Kontrak--apalagi bila koalisi menguasai mayoritas kursi DPR--bukan hanya akan membuat bandul bergerak menjadi executive heavy , tapi juga berpotensi membungkam daya kritis DPR. Anggota DPR bisa digiring menjadi Pak Turut dan Bu Turut, ashabiyah : right or wrong my coalition , dan akan sering meneriakkan koor ''setuju...'' seperti DPR Orde Baru.

Karena itu, betapa pun kontrak--kemungkinan berikut sanksi--diteken, partai-partai yang merupakan pilar demokrasi perlu menegosiasikan ruang yang tidak kaku agar DPR tetap bisa melaksanakan fungsi-fungsi konstitusionalnya, terutama pengawasan. Fungsi ini tak boleh dimandulkan oleh kontrak yang derajatnya jauh di bawah konstitusi.

Potensi zalim itu meniscayakan kontrol agar kekuasaan tak keluar jalur. Dan, fungsi itulah yang secara formal diemban legislatif. Fungsi itu bisa dilaksanakan dengan penggunaan hak-hak konstitusional DPR, termasuk interpelasi dan angket. Islam pun telah mengajarkan bahwa menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa zalim sebagai jihad paling afdhal.Apalagi, mandat yang diberikan rakyat lewat pemilu jelas lebih kuat dibandingkan kontrak. Apalagi, ini era pemilihan langsung.

Kabinet pelangi
Realitas politik--berupa tak adanya peraih suara mayoritas mutlak yang mengharuskan koalisi akan berbuntut pada terbentuknya kabinet pelangi, seperti sejak awal Reformasi. Alhasil, kabinet mendatang akan tetap menjadi kabinet presidensial bercita rasa parlementer.

Presidensialnya terlihat dari posisi menteri-menteri sebagai pembantu presiden yang langsung dipilih presiden. Adapun cita rasa parlementernya dari kabinet yang mencerminkan kekuatan politik pendukungnya di legislatif. Kontrak yang bisa jadi mengatur proporsi di kabinet sesuai konstelasi parlemen bisa jadi memperpekat nuansa parlementer.

Kendati kabinet mendatang tak akan seperti kabinet-kabinet di era demokrasi parlementer pada 1945-1957 sejak Kabinet Sjahrir I hingga Kabinet Ali Sastroamidjojo II--persoalannya bisa jadi akan sama. Deliar Noer mencatat kesulitan utama penyusunan kabinet koalisi saat itu adalah 'dagang sapi'.

Ketidakefektifan sistem parlementer membuat tokoh-tokoh Masjumi sejak awal menghendaki kembali ke sistem presidensial. Beberapa saat setelah pembentukan Kabinet Sjahrir I--menggantikan Kabinet Soekarno yang presidensialNatsir menyampaikan manifesto. Dia menyatakan sistem presidensial lebih menjamin stabilitas pemerintahan dan bahwa perubahan itu melanggar konstitusi.

Natsir menyerukan perlunya jalan lain (kabinet presidensial) itu hingga era Kabinet Boerhanoeddin Harahap (1955-1956). Tapi, hingga Pemilu 1955 usai, kabinet tetap parlementer dengan segala persoalan bawaannya, yaitu 'dagang sapi' alias 'tolak angsur'. Dampaknya, terkadang ada menteri yang baru pertama kali berkenalan dengan bidang yang akan digelutinya saat menjabat.

Selain itu, parlemen pun tetap menyerang kabinet. Deliar Noer mencatat, motif serangan parlemen terhadap kabinet biasanya untuk menggusur menteri dari kursinya, untuk diganti dengan orang partainya. Menurut hemat penulis, ada sejumlah pelajaran yang bisa dipetik dari pengalaman masa lalu itu. Pertama, untuk meminimalisasi motif-motif politik sempit dari serangan DPR kepada kabinet. Sebaiknya, pada kontrak koalisi dibuat aturan main bahwa bila menteri dari sebuah partai di- reshuffle , penggantinya berasal dari partai yang sama.

Kedua, personalia kabinet harus benar-benar mempertimbangkan prinsip the right man on the right place . Meski disodorkan parpol, hendaknya mereka orang-orang yang punya kapasitas dan kapabilitas dengan bidang yang akan ditanganinya.Bila SBY yang kelak terpilih, dia tampaknya akan lebih leluasa memainkan perannya. Inilah momentum yang pas menjadi risk taker antara lain dengan menolak menteri-menteri parpol yang tak sesuai bidangnyatoh ini periode terakhir kepresidenannya.

Dengan demikian, kabinet tetap menjadi the dream team . Sebuah zaken kabinet yang diharapkan bisa menyelesaikan masalah bangsa yang menumpuk, keluar dari krisis, dan mengakhiri transisi. Wallahu a'lam bi al-shawab .
(-)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog