Jumat, 08 Mei 2009

Mencermati Spekulasi Koalisi Demokrat-PDI-P


Jumat, 8 Mei 2009 | 04:59 WIB

Oleh J Kristiadi

Beberapa minggu terakhir ini jagat politik Indonesia dikejutkan oleh dua peristiwa politik.

Pertama, pecahnya koalisi SBY-JK yang berdasarkan berbagai jajak pendapat diungggulkan memenangi pilpres satu putaran. Tingginya tingkat elektabilitas pasangan itu karena berhasil membangun persepsi pasangan SBY-JK sukses memelihara keamanan, perdamaian di Aceh, sekolah gratis, harga BBM turun, dan lain-lain. Namun, koalisi yang menjadi harapan publik itu terbelah.

Koalisi Demokrat-PDI-P

Kedua, kemungkinan koalisi Demokrat dan PDI-P. Koalisi ini dianggap mustahil karena beberapa alasan. Pertama, Rakernas PDI-P secara bulat telah menentukan Megawati menjadi capres. Koalisi dengan Demokrat berarti akan menurunkan target PDI-P sebab SBY dipastikan menjadi capres dari Demokrat.

Kedua, hubungan SBY dan Megawati yang beku sejak 2004 karena Megawati merasa ditusuk dari belakang saat SBY maju dalam Pilpres 2004 tanpa sepengetahuannya.

Namun, politik tidak ada yang mustahil, terlebih selama kepentingan (interest) menjadi ideologi dan alat pembenar untuk mencapai kekuasaan. Pemicu koalisi dapat dicermati sebagai berikut.

Pertama, perpisahan SBY-JK mengakibatkan SBY dan JK harus mencari pasangan yang tepat. Sejauh ini koalisi Demokrat dengan beberapa partai Islam (PKB, PAN, PKS, dan mungkin PPP) tidak akan membuat kemenangan SBY spektakuler. Di antara parpol yang tergabung dalam koalisi, hanya PKS yang proporsi perolehannya paling besar. Namun, tampaknya SBY ragu-ragu memilih cawapres dari PKS. Hal ini sejalan dengan Zulkiflimansah dalam artikel di Jakarta Post (5/5) yang menyatakan, sebenarnya yang paling pantas mendampingi SBY adalah cawapres dari PKS. Namun, mengingat citra PKS masih dianggap eksklusif, ia mengusulkan agar SBY memilih cawapres dari kalangan birokrat yang profesional. Usul ini untuk mengatasi rasa kurang enak bila SBY memilih cawapres dari parpol Islam, tetapi suaranya di bawah PKS. Karena itu, banyak yang berspekulasi, nama cawapres yang diberikan PKS kepada SBY bukan tokoh PKS, tetapi Boediono, Gubernur Bank Indonesia.

Kedua, kesamaan platform ideologi antara Demokrat dan PDI-P. Tetapi yang tak kalah penting adalah ”kebosanan” PDI-P menjadi oposisi. Sebagai partai oposisi, mungkin PDI-P merasakan betapa beratnya membiayai partai sebesar PDI-P, sementara itu sumber keuangan yang jelas tidak dimiliki. Sebagai partai pemerintah, diharapkan akses kepada kekuasaan memungkinkan untuk mendapat sumber pendanaan partai yang diperlukan.

Persoalan

Persoalan yang muncul dengan koalisi itu adalah bagaimana power sharing yang akan dilakukan. Pertama-tama tentu Megawati harus mundur dari capres. Pertanyaannya adalah siapakah yang menjadi representasi PDI-P dalam pemerintahan.

Spekulasi yang berkembang adalah Boediono. Ia cukup dekat dengan PDI-P, antara lain ia pernah menjadi menteri pada masa pemerintahan Presiden Megawati. Selain itu, PDI-P juga mendukung sepenuhnya saat ia dicalonkan sebagai Gubernur BI. Sementara itu, Megawati ditempatkan dalam kedudukan terhormat, misalnya sebagai Ibu Bangsa yang selalu dapat menasihati Presiden, tetapi tidak perlu ikut mengatur urusan teknis pemerintahan.

Nasib Golkar

Bagaimana nasib partai Golkar dan Jusuf Kalla. Koalisi Demokrat dan PDI-P jelas membuyarkan apa yang disebut koalisi besar. Praktis Golkar hanya tinggal bersama Hanura dan Gerindra. Untuk itu, Golkar harus memilih satu dari dua kemungkinan sebagai berikut.

Pertama, tetap maju mencalonkan pasangan JK-Wiranto dalam pilpres mendatang. Namun, karena kemungkinan menang tidak terlalu besar, Golkar harus bersedia menjadi oposisi. Mengingat sejarah Golkar adalah bagian dari penguasa, kemungkinan Golkar menjadi oposisi tidak besar. Karena itu, pilihan kedua adalah berkoalisi dengan Demokrat tanpa JK. Hal itu mungkin terjadi karena SBY selalu bersedia berkoalisi dengan Golkar, tetapi bukan dengan JK.

Namun, persoalan baru muncul karena jika spekulasi itu menjadi kenyataan, pasangan capres hanya satu. Hal itu tidak mungkin karena ketentuan UU pilpres menetapkan pilpres minimal harus diikuti dua pasangan. Masalah ini dapat dipecahkan bila Golkar tetap bersedia mencalonkan JK-Wiranto dengan persyaratan, meski kalah, akan mendapat kursi di kabinet.

Persoalan yang kemudian muncul adalah terlalu kuatnya pemerintah karena didukung parlemen yang sebagian besar parpolnya menjadi bagian dari pemerintah. Ini amat mengkhawatirkan karena mekanisme saling kontrol akan menjadi tidak imbang. Karena itu, amat diperlukan pilar demokrasi lain yang dapat mengimbangi pemerintahan yang terlalu kuat, seperti opini publik, civil society, kelompok kepentingan, dan lain-lain yang mempunyai peran amat besar. Peran itu adalah membuat pemerintah yang kuat harus benar mempunyai komitmen untuk segera menyusun agenda yang dapat menyejahterakan rakyat.

J KRistiadi Peneliti Senior di CSIS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog