Sabtu, 13 Juni 2009

Maluku Utara


Dalam Kekuasaan Perempuan dan Penguasa Tradisional

Krishna P Panolih

Hasil Pemilu 2009 membuktikan di Maluku Utara eksistensi perempuan dan kekuatan politik tradisional lama masih menonjol.

Tampilnya Sultan Ternate Mudaffar Sjah sebagai salah seorang dari empat anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terpilih dan istrinya, Bokiratu Nitabudhi Susanti, sebagai salah satu dari tiga anggota legislatif terpilih membuktikan masih kuatnya pengaruh politik kaum aristokrat di Maluku Utara (Malut). Kemenangan kedua sosok ini dalam panggung politik seakan menggenapi sejarah kejayaan masa lalu Moloku Kie Raha, kawasan empat kerajaan: Jailolo, Ternate, Tidore, dan Bacan, yang saat itu terfokus pada keberadaan dan sepak terjang kesultanan Ternate.

Sebenarnya, sebagaimana yang terjadi di berbagai daerah yang masih menyimpan dan mengakomodasikan eksistensi kesultanan, peran kalangan aristokrat dalam kancah perpolitikan tidak lagi terlalu dominan. Sekalipun demikian, eksistensi kalangan bangsawan ini tetap saja tidak dapat dikesampingkan. Bagaimanapun, kalangan ini masih memiliki peran yang signifikan dan masih menjadi patron politik masyarakat setempat.

Sosok lama

Mudaffar Sjah sendiri sebetulnya adalah ”pemain lama” dalam sejarah politik Malut. Dalam karier politiknya, semula ia merupakan anggota DPR dari Golkar selama dua periode (1977-1982, 1982-1987). Ketika era liberalisasi politik bergulir yang diikuti era otonomi daerah, sepak terjangnya dalam dunia politik kembali menggeliat. Saat itu, ia memilih meninggalkan Golkar dan berafiliasi dengan Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PDK) bersama Ryaas Rasyid. Pada ajang Pemilu 1999, ia menjadi anggota DPR dari partai itu untuk periode 2004-2009. Pada 2007, sultan yang dikenal kharismatik ini sempat mencalonkan diri dalam pilkada (gubernur) bersama Rusdi Hanafi dengan dukungan PKPI dan PPNUI, tetapi akhirnya dibatalkan oleh KPU Malut. Pembatalan ini berakibat fatal, munculnya konflik berkepanjangan. Konflik di Malut tidak hanya berhenti pada saat pilkada digelar, tetapi pascapilkada pun Malut berlumur konflik di antara para pendukung walaupun dengan pangkal persoalan konflik yang berbeda.

Dalam perjalanan selanjutnya, posisi politik Mudaffar untuk tetap berada di PDK tidak bertahan panjang. Pada 13 Agustus 2008, ia menyatakan diri—bersama kerabatnya—bergabung ke Partai Demokrat. Pada Pemilu 2009 ini, ia sendiri mencalonkan diri di jalur DPD, sementara istrinya menjadi calon legislatif DPR dari Partai Demokrat. Uniknya, sebelum berhasil merebut kursi DPR, Bokiratu Nitabudhi Susanti tercatat pula sebagai anggota DPD Malut periode 2004-2009. Ia juga pernah mencalonkan diri dalam pilkada Wali Kota Ternate (2005). Dengan demikian, karier politik pasangan ini seakan bertukar tempat, berputar pada kursi legislatif dan DPD.

Menariknya, tak hanya kekuatan politik tradisional lama yang kini berkuasa, tetapi sosok lama yang populer di Malut kini juga berhasil memperkuat posisi politik mereka. Dalam lingkup DPD 2009, Kemala Motik Gafur berhasil menguasai kursi DPD. Sebagai Rektor Universitas Indonusa Esa Unggul, Jakarta, Kemala Motik pernah menjadi anggota MPRS (1968-1972) dan MPR (1982-1987, 1997-1999). Di kalangan pengusaha, ia juga terkenal melalui Wanita Pembangunan Indonesia (WPI) yang sebelumnya disebut Ikatan Pengusaha Wanita Indonesia.

Kemala Motik dikenal juga sebagai istri Abdul Gafur, politisi Golkar yang telah berkiprah sejak era Orde Baru. Setelah berkali-kali menjabat anggota legislatif ataupun menteri negara, Abdul Gafur menjabat sebagai anggota DPR daerah pemilihan Malut periode 2004-2009. Pada pilkada Malut 2007, langkah Gafur untuk menduduki kursi gubernur Malut terganjal. Peristiwa yang lekat dengan konflik berkepanjangan ini tergolong amat dramatis dari berbagai peristiwa pilkada gubernur di negeri ini.

Tokoh lain yang juga terpilih sebagai anggota DPR wilayah Malut adalah Nurokhmah A Hidayat Mus. Ia dikenal sebagai istri dari Ketua DPD Golkar Malut Ahmad Hidayat Mus. Selain Nurokhmah, Hayu Anggara Shelomita menjadi anggota DPR terpilih dari PDI-P. Menariknya, ketiga sosok anggota DPR yang terpilih dari Malut berjenis kelamin perempuan. Jika digabungkan dengan anggota DPD, dapat dikatakan bagian terbesar wakil rakyat dari provinsi ini berjenis kelamin perempuan, sesuatu yang tidak banyak terjadi di wilayah-wilayah lainnya.

Persaingan ketat

Pada pemandangan lain, hasil pemilu Malut juga menggambarkan persaingan ketat di antara sesama calon. Pada persaingan perebutan bangku DPD, misalnya, sosok lama yang telah menjabat anggota DPD sebelumnya gagal memperpanjang jabatan mereka. Djafar Sjah dan Anthony Charles Sunarjo, misalnya, kedua sosok ini kembali mencalonkan diri untuk periode kedua di DPD, tetapi gagal. Sebaliknya, Matheus Stefi Pasimanjeku, wiraswastawan yang bermukim di Tobelo, berhasil menggapai kursi DPD dengan perolehan suara terbesar, 69.158 pemilih. Selain Pasimanjeku, Abdurachman Lahabato menjadi sosok baru anggota DPD. Pria kelahiran Tidore yang berprofesi sebagai wiraswastawan dan sempat menjadi wartawan ini dipilih oleh 54.065 pemilih.

Menguatnya eksistensi politik kaum bangsawan ataupun sosok-sosok populer di Malut tidak lepas dari kendaraan politik yang mereka gunakan. Dalam hal ini, persaingan antarpartai politik di Malut dalam ajang pemilu Legislatif lalu sekaligus juga persaingan antarsosok yang dicalonkan. Partai Golkar menjadi kekuatan politik yang masih kokoh di Malut. Tiga periode penyelenggaraan pemilu terakhir bertutur mengenai kemenangan partai ini.

Dari pengalaman tiga pemilu tersebut, bisa dibilang bahwa posisi Golkar tak terpengaruh oleh kondisi yang dialami Malut, baik ketika masih menjadi bagian dari Provinsi Maluku maupun saat mandiri menjadi provinsi pada Oktober 1999. Begitu pula ketika kemelut Pilkada 2007 yang sempat diwarnai dengan konflik antaretnis, bentrokan massa, protes, dan boikot sejumlah pihak terkait dengan persaingan antarcalon gubernur. Pada pemilu 2004, dari delapan wilayah, Golkar paling banyak meraih suara di Kepulauan Sula, Halmahera Selatan, Halmahera Utara, Kota Ternate, dan Kota Tidore Kepulauan. Untuk Pemilu 2009 ini, kontribusi terbesar bagi partai itu berasal dari Kota Tidore Kepulauan, Halmahera Utara, Halmahera Selatan, dan Halmahera Timur.

Masuknya kekuatan politik yang tergolong baru memang memberikan warna politik baru bagi provinsi ini. Beberapa wilayah yang sebelumnya merupakan pendukung Golkar kini beralih. Peralihan dukungan ini bagaimanapun juga tidak lepas dari kiprah sosok yang dicalonkan partai tersebut, yang jika ditelusuri tetap saja sosok lama di dalam kancah perpolitikan Malut.

Partai Demokrat, misalnya, pada Pemilu 2009 ini berhasil menduduki urutan kedua perolehan suara dan berhasil merebut satu kursi DPR. Namun, dengan terpilihnya istri sultan sebagai wakil dari partai ini, kesan adanya perubahan yang diusung oleh partai-partai yang tergolong baru seolah hilang.

(Krishna P Panolih/Litbang Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar