Kamis, 25 Juni 2009

Partai Islam dan Partai Nasionalis


Bustanuddin Agus
(Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Andalas Padang)


Pemilu legislatif telah usai dan hasilnya sudah sama maklum. Menyusul pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres dan pilwapres) langsung oleh rakyat dua bulan lagi. Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY), capres incumbent, dengan style penuh kehati-hatian , tapi sungguh suatu kejutan dan kontroversial (terutama di mata parpol-parpol yang telah menyatakan berkoalisi dengan Partai Demokrat) mendeklarasilakan Boediono jadi cawapres pendampingnya. Menurut biasa dan logika lurus tentu partai koalisi peraih suara yang termasuk banyak serta dapat pula dijadikan figur untuk meraup sura lebih banyak yang akan dipilih.

Tapi logika politik SBY ternyata lain sama sekali. Rupanya SBY membaca lembaran sejarah perpolitikan Indonesia bahwa suara umat Islam, dari Pemilu ke Pemilu, belum pernah jadi pemenang di Republik ini. Partai Masyumi di kala itu hanya mampu meraih nomor dua setelah PNI. Hamzah Haz memang pernah jadi Wapres (semasa Presiden Megawati), tapi pemilihan dan pengangkatan keduanya dilakukan oleh MPR, bukan langsung oleh rakyat. Berdasarkan pengalaman itu SBY (juga cawapres yang lain) tampaknya berani "bertaruh" bahwa suara yang mengatasnamakan Islam tidak akan menang.

Hasil Pemilu baru-baru ini makin menunjukkan suara partai Islam tidak termasuk tiga besar. Yang berhasil meraup tiga besar adalah Partai Demokrat, Partai Golkar dan PDI-P. Partai Islam hanya termasuk sepuluh besar. Rumor partai-partai Islam yang telah menyatakan berkoalisi dengan SBY akan menarik diri dan membangun poros tengah jilid dua ternyata hanya angin lalu. Pertimbangan praktis (dan prinsip kasik ilmu politik “demi kekuasaan”), kalau tidak dapat kursi cawapres, kursi menteri pun jadi, ternyata lebih dominan dari pertimbangan ideologi.

Setelah melalui pembicaraan yang alot, Prabowo Subianto (bekas komandan Kopasus, pasukan elit negeri ini, Ketua dewan penasihat Partai Gerindra), pada hari yang sama akhirnya (sebelumnya bersikukuh menjadi capres saja) juga mau menerima sebagai cawapres, pendamping capres Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum PDI-Perjuangan yang pernah menjadi Presiden dan pernah kalah dalam persaingan dengan SBY dalam pilpres putaran kedua yang lalu). Yusuf Kalla (JK) yang jabatan Wapresnya hampir berakhir tidak mau lagi jadi pendamping SBY dan pas, SBY juga tidak mau lagi menggandengnya jadi cawapres periode kedua. JK telah lebih dahulu mendeklarasikan diri jadi capres dengan Wiranto (Ketua Umum Partai Hanura) sebagai cawapresnya. Wiranto adalah bekas sejawat JK di Partai Golkar dan hengkang dari partai tersebut serta berhasil meraih suara pemilih legislatif sehingga termasuk sepuluh besar peraih suara. Kedua pasangan yang bergerak cepat ini telah menggalang dukungan, seperti dari kiyai-kiyai pesantren Jawa Timur. Tampaknya karena watak bisnis JK yang suka bergerak cepat ini, SBY (yang mengutamakan kehati-hatian) tidak mempriotaskannya jadi cawapres.

Jadi dalam pasangan (salah satu) yang akan berlaga Juli yang akan datang masih wajah-wajah lama dan, nota bene, tidak ada lagi yang dari kalangan (partai) Islam atau berbasis pendukung dari kalangan Islam. Ketiga pasangan tentu sudah memperhitungkan bahwa yang mewakili Islam tidak perlu digandeng untuk meraup pencontreng. Hal ini tak usah mengherankan karena masalah ideologi tetap tidak menarik kalau dibawa ke khalayak yang lebih luas. Apakah ideologi tidak penting?

Ideologi masih relevan
Menghadapi Pemilu yang lalu terdengar komentar bahwa tak masanya lagi perbedaan didasarkan kepada ideologi. Perbedaan antar partai yang relevan diusung dikatakan hanya perbedaan program. Kalau dicermati lebih serius, dalam skala yang lebih luas dan lebih mendasar, pertimbangan ideologi (nasionalisme, sekularisme, Islam dan lain-lain) lah yang bermain di belakang pengelompokan negara dan orientasi politik. Negara-negara Barat dan banyak negara-negara maju, seperti Jepang dan Korea, memilih ideologi sekuler bagi negaranya. Banyak negara dan partai yang berideologi nasionalis. Negara-negara Muslim juga ada yang memasang ideologi Islam bagi negaranya, seperti Iran, Saudi Arabia dan Pakistan.

Ideologi berperan untuk memberi semangat dan sumber energi bagi warga negara dan pemimpinnya untuk berjuang membangun dan mempertahankan negara. Ideologi berbeda dengan sekedar ilmu pengetahuan. Sekedar pengetahuan biasa dilanggar oleh yang punya pengetahuan itu sendiri, apalagi oleh yang tidak mengetahui. Ideologi mengandung semangat, jiwa juang, kecintaan dan persatuan. Dan ideologi yang didasarkan kepada agama punya semangat, kecintaan dan kekompakan yang lebih tinggi dari ideologi yang tidak dikaitkan kepada agama. Berjuang demi negara (nasionalisme) lebih luas dan lebih jauh dari demi harta dan anak istri. Berjuang demi kemanusiaan (humanisme) juga lebih luas dan lebih mendasar dari sekedar demi negara. Kemudian demi Tuhan dan demi agama jauh lebih dalam, lebih kuat dan lebih tahan lama lagi karena didasarkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, dan untuk kehidupan dunia akhirat pula. Istilah jihad dan syahid dikaitkan dengan demi agama dan demi Tuhan, tidak kepada yang demi negara dan kemanusiaan. Karena itu kata demi Tuhan dan agama diganti oleh nasionalisme dan humanisme dengan demi negara dan demi kemanusiaan .

Secara teologi, teori atau keyakinan (das Sollen), menurut yang berakidah (ber philosophy and way of life) Islam, ideologi Islamlah yang lebih kuat dan lebih dalam dari ideologi nasionalis, kemanusiaan dan lainnya. Tapi dalam kenyataan (das Sein) banyak yang tidak demikian. Ketika suara dan selera massa jadi tolok ukur (minimal dalam perjalanan perpolitikan Indonesia), partai-partai yang tidak mengusung jargon Islamlah yang menang. Alasan-alasan Tuhan, agama, akhirat tampak tidak menarik lagi bagi anak bangsa ini. Yang menarik bagi selera massa alasan-alasan yang praktis: lapangan kerja, peningkatan penghasilan, kesejahteraan, keamanan dan juga kebebasan.

Di Barat, ideologi sekuler yang meminggirkan agama dan Tuhan dalam kehidupan bernegara, resmi diusung dan diproklamirkan sebagai ideologi mereka. Sejarah Barat di Abad Pertengahan yang trauma dengan ulah Gereja Katolik yang dinilai sebagai biang korok mereka tenggelam dalam The Dark Ages, menjadikan Barat memproklamirkan sekularisme.

Lain halnya dengan di Indonesia. Kehidupan beragama telah menyatu dengan adat dan budaya suku-suku bangsa yang ada. Kentalnya peran agama dalam kehidupan bernegara dapat dibacara dalam Pembukaan UUD 1945. "Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa", sila-sila Pancasila, apalagi sila Ketuhanan Yang Maha Esa, ada departemen khusus yang mengurus urusan-urusan yang langsung menyangkut agama. Semuanya ini menunjukkan bahwa bangsa (dan negara Indonesia harus pula) adalah religius, bukan negara sekuler yang tidak mengakui dan meminggirkan agama dan Tuhan.

Para intelektual dan pemimpin mampu hendaknya membedakan antara ajaran agama dan perilaku sebagian pemimpin, apalagi penganut. Sebagai ajaran, Islam adalah pedoman hidup yang diajarkan oleh Tuhan Pencipta untuk keselamatan semesta. Umat dan sebagian pemimpin dalam realita sosial (secara sosiologis) ada (bahkan banyak) yang memperalat agama untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Karena itu dari segi ajaran (teologis), kita hendaknya tetap meyakini bahwa ajaran agama penting dan urgen dipedomani dalam kehidupan pribadi dan bersama.

Bukankah amat banyak bencana dan kekacauan kalau manusia (rakyat apalagi elit dan kelompok) telah merasa atau mau jadi Tuhan Yang Maka Kuasa dalam kehidupan ini. Mau kaya, berkuasa, dan benar sendiri tanpa mempedulikan ajaran Tuhan dan agama, adalah perilaku Firaun-Firaun. Kekuasaan mereka ditunjang dengan ekonomi, media massa, teknologi, persenjataan canggih dan kekuatan struktural. Invasi semena-mena ke negara lain, besarnya gap antara negara/kelompok kaya dan negara/kelompok miskin, terkurasnya sumber daya alam negara miskin, pencemaran lingkungan dan global warming adalah diantara kefasadatan akibat ulah tangan manusia tidak mau jadi khalifatullah untuk menebarkan rahmatanlil'alamin, tapi ingin jadi Tuhan Yang Maha Kuasa itu sendiri.

Karena alasan-alasan tersebut dan karena partai-partai yang didukung oleh bangsa Indonesia yang religius dan berfalsafahkan Pancasila, maka (seyogyanya) hanya ada dua kelompok partai di Indonesia, yaitu partai Islam dan nasionalis. Keduanya menjujung tinggi kehidupan beragama di Indonesia. Tidak ada kekuasaan atau partai sekuler yang menabrak ajaran agama dalam undang-undang, peraturan dan kebijakan yang ditempuh. Negara harus ikut membangun dan menggairahkan kehidupan beragama untuk keselamatan bersama. Wabillahit taufiq wal hidayah.

(-)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar