Sabtu, 20 Juni 2009

Mengawal Kerja Politik Para Wakil Terpilih

Oleh SYAMSUDDIN HARIS

Diperkirakan, sekitar 70 persen anggota DPR hasil Pemilu Legislatif 9 April 2009 adalah wajah baru. Kecenderungan serupa sangat mungkin terjadi di DPRD provinsi, kabupaten, dan kota di seluruh Indonesia. Mungkinkah kita membayangkan kinerja pemerintahan hasil Pemilu 2009 lebih baik dari sekarang?

Jawabannya, mungkin saja. Apabila kita sepakat bahwa pemilu adalah awal kerja politik lima tahunan setiap polity, baik nasional maupun daerah, maka wajah baru DPR dan DPRD bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan bekerjanya pemerintahan pascapemilu.

Faktor penting lain yang turut menentukan adalah apakah kita sebagai warga negara merasa terlibat dan memiliki pemerintahan hasil pemilu atau tidak.

Itu artinya kerja politik para wakil terpilih di badan-badan legislatif turut ditentukan oleh kepedulian kolektif kita, apa pun bentuknya.

Secara hipotetis dapat dikatakan bahwa semakin tinggi keterlibatan warga negara dalam mengawal kerja politik anggota parlemen, semakin besar pula peluang terciptanya pemerintahan yang partisipatif, transparan, dan akuntabel. Begitu pula sebaliknya.

Kosong melompong

Sudah menjadi rahasia umum bahwa para elite politik cenderung berlaku baik menjelang dan di sekitar pemilu.

Mereka yang sebelumnya ”berjarak” dengan publik tiba-tiba menjadi begitu familier dengan masyarakat. Melalui penampilan lebih santun dan senyum sumringah yang tak pernah lepas dari bibir, mereka bahkan sering tampil sebagai ”sinterklas” yang membagi-bagikan berbagai hadiah, mulai dari uang tunai, semen, hingga pasir untuk perbaikan masjid dan sembako untuk warga miskin.

Namun, tatkala pemilu usai dan kursi-kursi empuk parlemen telah berada di tangan, para wakil rakyat kembali menjadi ”makhluk asing” yang acapkali tak begitu peduli dengan nasib rakyat selaku pemberi mandat.

Potret perilaku para anggota parlemen pun jauh dari harapan. Ruang sidang yang kosong melompong menjadi pemandangan sehari-hari rapat DPR di Senayan, Jakarta. Kamera televisi dan media cetak bahkan sering kali memergoki sebagian anggota Dewan yang lebih memilih membaca koran, mengirim dan menerima pesan pendek, ber-facebook-ria, atau bahkan tidur ketimbang mengikuti secara serius jalannya persidangan.

Kantor-kantor partai yang sangat ramai dan meriah menjelang pemilu seketika juga kosong melompong begitu pemilu usai. Ironisnya, secara fisik, gedung-gedung parlemen cenderung didesain berjarak dengan rakyat.

Perhatikanlah, misalnya, Gedung DPR Senayan yang dibentengi pagar kokoh setinggi empat meter. Tidak begitu jelas bagi kita, apakah pagar tinggi tersebut dibangun untuk menghindari anarki para pengunjuk rasa atau sengaja didesain supaya rakyat tidak bisa menyentuh dan menyambangi para wakilnya.

Mendidik para wakil

Dalam situasi demikian, tidak ada pilihan lain bagi kita, berbagai elemen civil society, kecuali terlibat dan melibatkan diri secara intens dalam mengawal kerja politik parlemen.

Artinya, bangsa ini bagaimana pun harus ”mendidik” para wakil terpilih agar lebih bertanggung jawab melaksanakan mandat sebagai wakil rakyat. Terlalu besar ongkos politik yang harus ditanggung bangsa ini apabila demokrasi yang direbut dengan darah para aktivis hanya berhenti sebagai pesta pemilihan umum belaka.

Sangat jelas bahwa masa depan demokrasi dan negeri ini tidak semata-mata terletak di tangan para politisi partai, kaum birokrat di pemerintahan, dan para wakil terpilih di parlemen.

Bahkan, mungkin terlalu berisiko bagi kita apabila membiarkan nasib bangsa ini hanya diserahkan kepada mereka yang miskin ide dan imajinasi serta tidak kreatif dalam mengelola perubahan, tetapi sarat dengan kepentingan pribadi serta kelompok.

Pengalaman 10 tahun terakhir memperlihatkan bahwa masa lima tahun di antara dua pemilu cenderung disalahgunakan sebagian wakil terpilih sebagai ”panen raya” dalam arti yang sebenar-benarnya.

Betapa tidak, berbagai usulan atau perubahan kebijakan di parlemen, begitu pula seleksi pejabat publik yang menjadi otoritas DPR, justru menjadi ladang suap dan korupsi yang memalukan kita semua.

Kasus pengalihan status hutan lindung di sejumlah daerah, perubahan undang-undang tentang Bank Indonesia, proses seleksi Deputi Gubernur Senior BI, adalah beberapa contoh saja di antaranya.

Penumpang gelap

Komitmen berbagai elemen civil society dalam mengawal demokrasi dan masa depan negeri ini jelas tidak perlu diragukan. Transisi politik dari rezim otoriter Soeharto ke sistem demokrasi pada 1998-1999 bahkan tidak mungkin dijelaskan tanpa peran dan keterlibatan kalangan LSM, mahasiswa, pers, dan akademisi di dalamnya.

Dengan dukungan massa rakyat, elemen civil society tidak hanya menyuarakan suksesi dan demokrasi, melainkan juga skema ”reformasi total” yang lebih radikal ketimbang yang pernah dipikirkan para elite politik penumpang gelap reformasi.

Oleh karena itu, kerja politik mengawal para wakil terpilih pada khususnya dan demokrasi pada umumnya tidak boleh berhenti bersamaan dengan usainya pesta pemilu. Sebaliknya, kerja politik demikian justru baru akan dimulai kembali saat mereka dilantik dan diambil sumpahnya sebagai wakil rakyat.

Dalam kaitan ini, kerja sama dan konsolidasi segenap elemen civil society diperlukan agar kerja politik mengawal para wakil terpilih berujung pada terbentuknya pemerintahan yang bersih, adil, dan menyejahterakan rakyat.

Kalau tidak, barangkali hampir tak ada yang diperoleh bangsa ini dari pemilu ke pemilu kecuali pesta lima tahunan para elite politik di satu pihak dan derita rakyat yang tak kunjung berakhir di pihak lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar