Jumat, 12 Juni 2009

Kursi Agung Bisa Hilang

MK: KPU Seharusnya Ubah Cara Penghitungan Kursi


Jakarta, Kompas - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono terancam kehilangan kursi di DPR periode 2009-2014. Mahkamah Konstitusi memutuskan Komisi Pemilihan Umum seharusnya mengubah cara penghitungan tahap ketiga pembagian kursi DPR.

Menurut MK, dalam putusan yang dibacakan di Jakarta, Kamis (11/6), penghitungan seharusnya dilakukan dengan cara menarik semua sisa suara dari semua daerah pemilihan (dapil), bukan hanya sisa suara dari dapil yang masih memiliki kursi sisa, seperti yang diterapkan KPU.

Agung kehilangan kursi

Dengan penghitungan tahap ketiga versi KPU, Agung ditetapkan menjadi anggota DPR terpilih dari Dapil DKI Jakarta I. Keputusan KPU itu dipersoalkan sejumlah partai politik ke MK.

”Penerapan Pasal 205 Ayat 5, Ayat 6, dan Ayat 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD oleh KPU yang tertuang dalam keputusan KPU tentang penetapan perolehan kursi parpol peserta pemilihan anggota DPR dalam Pemilu 2009 adalah keliru dan tak tepat menurut hukum,” papar Ketua MK Mahfud MD.

Putusan MK itu adalah jawaban atas permohonan Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Golkar, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Mereka dirugikan dengan cara penghitungan yang digunakan KPU untuk beberapa dapil, yang mengakibatkan partai itu kehilangan kursi.

Putusan itu akan mengubah nama calon anggota DPR terpilih. Kuasa hukum Gerindra, Mahendradatta, memperkirakan, setidaknya putusan itu berpengaruh pada Agung. Kursi Ketua DPR periode 2004-2009, untuk periode berikutnya, terancam hilang dengan aturan cara hitung baru.

Mahendradatta mengaku, Gerindra diuntungkan dengan putusan itu. Setidaknya, partainya akan mendapat tambahan dua atau tiga kursi dari Dapil Jawa Barat dan Jawa Timur. ”Kami juga mungkin mendapatkan kursi satu lagi di DKI Jakarta,” ujarnya lagi.

Namun, kuasa hukum Golkar, Victor Nadapdap, mempertanyakan putusan MK itu. Ia menilai, MK memasuki ranah yang bukan wilayahnya, yaitu penentuan cara penghitungan ketiga yang ditetapkan dengan peraturan KPU.

”MK bertugas menafsirkan pertentangan norma hukum UU dengan UUD. Kalau di bawah UU, yang berwenang adalah Mahkamah Agung,” ujar Victor.

Agung Laksono, Wakil Ketua Umum Golkar, yang dihubungi terpisah, Kamis malam, membenarkan, putusan MK itu mengakibatkan dirinya tidak mendapatkan kursi DPR. ”Dalam pemilu kali ini saya dikalahkan bukan di dapil, tetapi di pengadilan,” paparnya.

Menurut Agung, banyak pihak yang mempertanyakan pembatalan peraturan KPU apakah kewenangan MK. Sebab, uji peraturan di bawah UU adalah kewenangan MA.

Kendati merasa dirugikan, Agung menyatakan, sebagai warga negara, ia siap menerima putusan apa pun dari MK dan KPU. Ia menilai MK sebagai lembaga negara yang juga harus dihormati. Perasaan dirinya dirugikan hanya subyektivitas.

”Kalau tak urus negara, ya urus partai. Kalau tidak bisa urus partai, urus keluarga,” kata Agung.

Wewenang MK

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan persoalan cara hitung masih obyek yang dapat diperselisihkan di MK. Selain perolehan suara, perolehan kursi parpol di DPR juga dipengaruhi oleh cara penerapan Pasal 205 UU No 10/2008.

MK menyatakan sependapat dengan sejumlah ahli, seperti Indra Pahlevi dan Hadar N Gumay, yang menyatakan penentuan perolehan kursi dalam penghitungan tahap ketiga di tingkat provinsi adalah sisa suara dari semua dapil di provinsi yang bersangkutan. Ini sesuai dengan bunyi Pasal 205 dan latar belakang maupun filosofi pasal tersebut.

Soal siapa yang harus duduk di kursi itu, MK berpendapat calon anggota legislatif (caleg) bukanlah caleg yang memperoleh suara terbanyak di provinsi tanpa memerhatikan dapil. Hal ini tidak tepat karena dapat mengakibatkan kekurangan wakil (under-representation) dan ada dapil yang kelebihan wakil (over-representation).

MK juga menyatakan, hal ini harus diterapkan untuk semua penghitungan tahap ketiga dan bukan hanya diterapkan kepada pemohon.

Secara terpisah, mantan Wakil Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu Yasonna H Laoly menilai, putusan MK terkait dengan tata cara pembagian kursi DPR tahap ketiga mengejutkan. Dalam hal perselisihan hasil pemilu, semestinya MK cukup menetapkan hasil pemilu yang dianggap benar, bukan pada cara pembagian kursi.

Laoly juga menyebutkan, jika yang dipersoalkan adalah peraturan KPU mengenai tata cara pembagian kursi, lembaga yang berhak mengujinya adalah MA.

Laoly menyebutkan, rumusan penghitungan tahap ketiga dengan menarik sisa suara ke provinsi hanya dari dapil yang masih menyisakan kursi semestinya betul. Putusan MK bahwa sisa suara yang ditarik berasal dari semua dapil di provinsi bersangkutan justru tidak adil pada dapil yang masih memiliki sisa kursi.

Menurut Laoly, putusan MK masuk ke ranah pembuatan UU. Namun, ia mengakui, soal ini juga ada perbedaan pendapat di pansus. (ana/sut/dik/bil)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar