Kamis, 11 Juni 2009

Partai, Pemilu, dan Pendangkalan Politik

SYAMSUDDIN HARIS

Pemilihan umum kini menjadi ajang berbagai kalangan, mulai dari politisi, mantan tentara, aktivis, seniman, akademisi, artis, hingga pengusaha, berebut tiket menjadi calon legislatif, calon presiden, dan cawapres. Miliaran rupiah digelontorkan untuk mempromosikan diri demi berhala baru bernama ”popularitas” agar tingkat keterpilihan atau elektabilitas dalam pemilu membubung. Padahal, uang sebanyak itu bisa menyelamatkan puluhan ribu rakyat kita yang hidupnya didera kemiskinan.

Di sisi lain, meningkatnya jumlah partai politik berbanding lurus dengan membengkaknya tingkat pengangguran dan jumlah penduduk miskin. Ratusan miliar rupiah diduga turut menyangga lahirnya partai-partai baru. Tak terbayangkan bagaimana masa depan negeri ini apabila motif utama mereka hanya merebut dan mempertahankan kekuasaan. Apa yang salah pada Republik ini?

Harus diakui bahwa demokrasi pasca-Orde Baru, meski masih bersifat prosedural, telah meningkat secara signifikan. Hal itu ditandai, antara lain, dengan reformasi konstitusi, pemilu yang demokratis, bahkan pemilihan langsung presiden dan kepala-kepala daerah. Pada Pemilu Legislatif 2009, kedaulatan rakyat dalam menentukan wakilnya pun lebih meningkat lagi dengan diberlakukannya mekanisme suara terbanyak dalam penentuan caleg terpilih.

Relasi hak belaka

Akan tetapi, bersamaan dengan itu pemahaman terhadap politik, partai politik, pemilu, demokrasi, dan esensi pemerintahan itu sendiri mengalami pendangkalan yang luar biasa selama satu dekade terakhir. Pendangkalan pemahaman terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan politik tersebut meluas sedemikian rupa di semua tingkat, baik negara-masyarakat maupun elite-massa.

Politik cenderung tidak lagi dilihat sebagai kebebasan untuk memproduksi kebajikan dan keutamaan bagi kehidupan kolektif, tetapi lebih dipandang sebagai kesempatan yang disediakan oleh hak dasar yang melekat pada setiap manusia bebas. Politik akhirnya menjadi sangat konkret, yakni seolah-olah hanya kekuasaan itu sendiri, sehingga tidak menjadi penting apakah kekuasaan itu bermanfaat bagi kolektivitas atau justru menjadi monster yang menghancurkan kolektivitas, seperti Leviathan-nya Thomas Hobbes.

Dalam bahasa Hannah Arendt, politik semata-mata dilihat sebagai relasi hak, padahal hak hanyalah salah satu manifestasi dari kebebasan atau politik (dalam Takwin, et.al, 2008). Dalam bahasa Caporaso dan Levine (1992), politik semestinya tidak hanya berkaitan dengan soal ”who gets what, when, and how” seperti dikatakan oleh Laswell (1936), atau sekadar masalah ”the patterns of power, rule, and authority” sebagaimana dirumuskan oleh Dahl (1956), melainkan juga persoalan bagaimana segenap aktivitas tersebut berhubungan dengan kepentingan masyarakat sebagai suatu keseluruhan.

Partai menjadi tujuan

Pemahaman terhadap partai politik mengalami pendangkalan serupa. Secara historis, kita sebenarnya sempat mengalami periode ketika elite terdidik dalam jumlah terbatas membentuk partai-partai dalam rangka mengabdi bagi Ibu Pertiwi.

Namun, semuanya berubah ketika kaum aristokrat tak sudi menanggalkan hak-hak privilese mereka, tatkala tentara memasuki gelanggang politik yang bukan domainnya, dan sewaktu rezim kapitalisme global melalui Bank Dunia, IMF, dan IGGI memfasilitasi munculnya para ”Leviathan” baru atas nama pembangunan, modernitas, dan pertumbuhan ekonomi.

Tampaknya semangat ”mengambil” ketimbang mengabdi itulah warisan otentik rezim Soeharto bagi para politisi kita dewasa ini. Maka, partai-partai pun berkembang menjadi tempat mencari nafkah dalam pengertian yang sepenuh-penuhnya.

Tidak mengherankan jika para elite partai-partai yang menjamur pasca-Soeharto tidak memiliki proposal genuine mengenai reformasi, termasuk bagaimana seharusnya negara ditata kembali. Dalam ungkapan Bung Hatta, ”partai dijadikan tujuan dan negara menjadi alatnya”.

Sekadar visi misi

Ideologi partai pun cenderung didistorsikan sekadar sebagai ”visi dan misi” normatif tanpa kejelasan argumentatif mengapa suatu program lebih dipilih ketimbang yang lain.

Maka, asas atau ideologi berhenti menjadi dokumen tertulis sebagai prasyarat kelengkapan AD/ART yang diharuskan oleh UU. Yang terjadi kemudian adalah akumulasi pendangkalan berpolitik yang tak berujung.

Sementara itu, dalam realitas politik di parlemen, keharusan bagi para wakil rakyat mengontrol pemerintah cenderung didistorsikan sekadar sebagai ”Hak Interpelasi” atau ”Hak Angket”. Maka, muncullah euforia untuk mengusulkan hak interpelasi dan hak angket kendati pada akhirnya lebih menjadi ”panggung politik” bagi para politisi partai di DPR untuk mengaktualisasikan diri sebagai wakil rakyat yang ”kritis” dan peduli.

Di sisi lain, keseriusan pemerintah bekerja untuk rakyat didistorsikan sebagai rapat-rapat kabinet yang lebih sering dan bahkan tidak mengenal waktu, tempat, dan jarak. Seolah-olah intensitas rapat kabinet yang tinggi menunjukkan bahwa pemerintah bekerja serius untuk rakyat. Berbagai instansi pemerintah pun berlomba mengiklankan program mereka, seolah-olah dengan itu birokrasi telah bekerja dan melayani rakyat.

Predikat bangsa kita sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia sesudah India dan Amerika Serikat memang membanggakan. Namun, kebanggaan itu tak ada artinya jika suara rakyat masih diperlakukan sebagai alas kaki kekuasaan belaka.

Barangkali inilah tantangan terbesar para elite politik yang memperoleh mandat melalui pemilu legislatif yang lalu dan pilpres mendatang, yakni menjadikan politik dan kekuasaan sebagai jalan keutamaan untuk memproduksi kebajikan bagi kolektivitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar