Senin, 20 April 2009

Di Balik Kekalahan Partai Golkar

Berdasarkan hasil penghitungan cepat oleh sejumlah lembaga survei, Partai Golkar berada pada posisi kedua dengan prediksi perolehan 14,9 persen (LP3ES, 10 April 2009).

Hal itu mengonfirmasi hasil beberapa lembaga survei sejak 2008. Pada survei LP3ES Desember 2008, terlihat preferensi masyarakat terhadap Partai Golkar sebesar 15,7 persen. Bahkan, pada Februari merosot menjadi 14,27 persen (LP3ES, CSIS, LIPI, dan UI 2009).

Hasil itu direspons petinggi Partai Golkar dengan sikap tidak percaya, cenderung prejudice, dan mengatakan survei tidak valid dan direkayasa. Pimpinan partai lupa bahwa pada Juli 2003 hasil survei LP3ES memperkirakan Partai Golkar menang dalam Pemilu 2004 dan itu menjadi kenyataan.

Dalam kehidupan politik modern, survei sudah menjadi bagian melekat dan hasilnya menjadi acuan dalam penentuan strategi pemenangan. Tampaknya Partai Golkar masih yakin, kondisi, sikap, dan orientasi politik pemilih di pedesaan dianggap tidak berubah.

Alih-alih mempertimbangkan hasil survei lembaga independen, pengurus partai berpendapat, merosotnya preferensi ini disebabkan belum adanya calon presiden yang diusung partai.

Dengan alasan ketersinggungan atas penyebutan perolehan Golkar hanya 2,5 persen, yang disampaikan pengurus Partai Demokrat, akhirnya Ketua Umum Partai Golkar mendeklarasikan diri sebagai calon presiden. Keputusan ini jelas blunder karena preferensi masyarakat terhadap Jusuf Kalla sebagai capres amat rendah, yaitu 1,9 persen.

Selain itu, Partai Golkar sama sekali tidak mengubah strategi untuk menarik suara pemilih yang masih ragu (swing voters) dan yang belum menetapkan pilihannya (undecided voters). Kampanye yang dilakukan partai, sosialisasi, dan pendekatan yang dilakukan calon anggota legislatif partai terbukti tidak mampu menaikkan suara partai secara keseluruhan.

Sumber kekalahan

Di luar strategi pemenangan yang tidak tepat, ada empat faktor yang menjadi sumber atau akar kekalahan Partai Golkar.

Pertama, runtuhnya ideologi pembangunan yang selama ini menjadi monopolinya sejak era Soeharto. Masyarakat pemilih sudah melek, keberhasilan pembangunan bukan hanya karena hasil Golkar selama dalam kekuasaan. Bagi masyarakat awam, keberhasilan pembangunan adalah karya pemerintah, dan pemerintah adalah presiden. Mengingat Presiden SBY adalah Pembina Partai Demokrat, partai inilah yang diuntungkan. Ini sama seperti dalam Orde Baru.

Kedua, tidak berfungsinya infrastruktur partai, terutama organisasi-organisasi masyarakat dan kekaryaan yang menjadi underbouw sebagai mesin pengumpul suara. Selain mengalami perpecahan seperti Kosgoro dan terbelah orientasi dukungan politiknya, organisasi ini juga tidak lagi mampu mengikat masyarakat anggotanya karena kegagalan dalam mengartikulasi kepentingan masyarakat dalam kehidupan keseharian. Bahkan, tidak sedikit organisasi underbouw Golkar pada dasarnya keropos.

Ketiga, beralihnya dukungan keluarga besar militer ke partai lain, terutama yang didirikan mantan pejabat militer, seperti Partai Demokrat, Gerindra, dan Hanura. Termasuk berpindahnya pemilih inti (core voters) Partai Golkar, seperti PNS, guru, dan serikat tani, ke partai lain. Hasil exit poll menunjukkan, 19,5 persen pemilih Golkar tahun 2004 berpindah ke Hanura, 11,5 persen ke Gerindra, dan 13 persen ke Demokrat. Meski ada pula pemilih partai lain yang beralih ke Golkar, angkanya relatif kecil, seperti 2,3 persen pemilih PKB.

Keempat, ketidakmampuan Partai Golkar menarik suara dari wilayah timur Indonesia. Padahal, Partai Demokrat sendiri juga tidak menguasai wilayah ini. Hal ini karena perhatian JK sebagai wakil presiden dalam pembangunan Indonesia timur amat terbatas di provinsi tertentu.

Tak akan hilang

Kekalahan ini diyakini tidak membuat hilangnya posisi Partai Golkar dalam struktur kekuasaan, mengingat tradisi partai tidak ingin kehilangan kekuasaan. Bisa jadi Partai Golkar akan tetap merapat atau berkoalisi dengan Partai Demokrat untuk maju dalam pemilu presiden pada Juli 2009 meski dengan mengusung figur lain sebagai wakil presiden.

Pertanyaannya, etiskah sebuah partai yang kalah tetap mengelola kekuasaan?

Apakah tidak sebaiknya Partai Golkar menjadi oposisi dan melakukan penataan guna memenangi Pemilu 2014? Sayang partai di Indonesia bersifat pragmatis, lebih mengedepankan kepentingan kekuasaan.

Suhardi Suryadi Direktur LP3ES

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog