Kamis, 30 April 2009

Golkar, Apa yang Kau Cari?

Syamsuddin Haris

Perubahan sikap dan posisi politik terus berlangsung di tubuh Partai Golkar menjelang pemilu presiden mendatang. Keputusan rapat pimpinan nasional khusus yang memberikan mandat kepada Jusuf Kalla menjadi calon presiden tampaknya bakal dianulir kembali. Apa yang terjadi dan tengah dicari partai beringin?

Menjelang pemilu legislatif, Ketua Umum Partai Golkar Kalla menyatakan siap menjadi calon presiden sebagai reaksi tak kunjung datangnya pinangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, setelah kalah telak dari Partai Demokrat (PD), elite Golkar bernegosiasi dengan pimpinan PD dan mengusung kembali Kalla sebagai pendamping Yudhoyono. Ketika Yudhoyono memberikan sinyal menolak Kalla, baik Rapat Harian DPP Golkar maupun rapimnasus esok harinya memproklamirkan perpisahan Golkar dan PD serta mengumumkan pencapresan Kalla. Kini sikap politik tersebut berubah lagi.

Kegagalan negosiasi dan penjajakan koalisi Golkar dengan PDI-P pimpinan Megawati tampaknya menjadi faktor kegamangan partai warisan Orde Baru ini. Secara matematis sulit bagi Golkar (14,6 persen) mengajukan Kalla sebagai capres karena harus memenuhi persyaratan minimal 25 persen suara secara nasional yang ditentukan UU Pemilu Presiden. Padahal, partai lolos parliamentary threshold yang belum jelas arah koalisinya tinggal PPP (5,2 persen) pimpinan Suryadharma Ali. Sementara itu, sebagian besar partai ”desimal”—partai-partai dengan perolehan suara antara nol koma hingga sekitar 1 persen—telah merapatkan diri dengan PD dan Yudhoyono.

Personal versus institusi

Sebagai partai politik tertua dengan mesin organisasi yang telah mapan serta sumber daya manusia terbaik, perubahan sikap dan posisi politik Golkar dalam hitungan jam ini jelas menimbulkan pertanyaan. Apalagi Rapimnas 2007 dan 2008 telah memutuskan mekanisme pencapresan melalui survei publik atas tujuh nama hasil penjaringan oleh Dewan Pimpinan Daerah (DPD). Ironisnya, Rapimnasus 2009 sama sekali tidak merujuk hasil rapimnas sebelumnya.

Fenomena Golkar bisa jadi mewakili persoalan krusial dan menahun yang acap kali dialami partai-partai di Indonesia. Yakni ketika aspirasi dan kepentingan personal ketua umum lebih mewarnai sikap dan keputusan partai secara institusi. Sulit dimungkiri bahwa itulah yang dialami partai beringin menjelang dan pascapemilu legislatif yang lalu, kepemimpinan oligarkis seperti juga dialami beberapa partai lain.

Karena itu, baik kesepakatan rapat harian DPP maupun keputusan rapimnasus adalah produk ”kepanikan politik” yang sebenarnya tidak perlu jika hitungan kepentingan organisasi lebih diutamakan oleh elite Golkar. Apalagi sejak awal Golkar mewacanakan urgensi membangun ”koalisi permanen”, suatu konsep yang lebih merujuk pada koalisi dan kerja sama institusional antarpartai ketimbang sekadar koalisi personal antara Yudhoyono dan Kalla.

Kehormatan partai

Problematik lain yang tengah dialami Golkar dewasa ini adalah kecenderungan hampir semua elite partai mengatasnamakan sikap dan posisi politik mereka dalam rangka ”kehormatan partai”. Padahal, kehormatan partai pertama-tama mensyaratkan adanya konsistensi sikap dan perilaku elite Golkar dengan keputusan-keputusan partai secara institusi. Kedua, kehormatan partai beringin justru terletak pada komitmen etisnya terhadap apa pun hasil pemilu legislatif, termasuk memberikan kesempatan bagi Yudhoyono untuk menentukan calon wapres pilihannya.

Jika kehormatan partai benar-benar hendak ditegakkan oleh segenap elite Golkar, pilihan paling realistik setelah ditolak oleh Yudhoyono dan Megawati adalah menjadi kekuatan penyeimbang di DPR. Toh, komitmen Golkar bagi masa depan bangsa yang lebih baik tetap bisa disalurkan secara parlementer melalui DPR. Peranan sebagai partai penyeimbang jelas tak kalah terhormat dibandingkan peran sebagai bagian pemerintah.

Karena itu, secara institusi, Golkar sebenarnya tidak harus bergabung ke dalam salah satu kubu koalisi yang ada saat ini, PD dan Yudhoyono di satu pihak, serta PDI-P dan Megawati di pihak lain. Apabila Yudhoyono terpilih menjadi presiden kembali, dan koalisi yang dibentuk Megawati menjadi kekuatan oposisi di DPR, tentu Golkar bisa berperan strategis di antara kedua posisi saling berhadapan tersebut.

Ubah cara pandang

Dalam kaitan ini cara pandang segenap elite politik negeri ini bahwa koalisi hanya berkaitan dengan soal siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana, tampaknya perlu diubah. Koalisi politik diperlukan dalam rangka minimalisasi komplikasi politik akibat kombinasi sistem presidensial dan sistem multipartai sehingga diharapkan terbentuk pemerintahan yang efektif.

Pembicaraan tentang koalisi politik di antara partai-partai semestinya dipandang terpisah dengan soal siapa capres-cawapres. Konteks koalisi seharusnya berbasis kesamaan platform politik antarpartai, sedangkan konteks capres-cawapres adalah soal potensi kerja sama yang bisa dijalin di antara para kandidat. Dengan demikian, jika Golkar hendak berkoalisi kembali dengan PD—yang notabene sudah ditolak melalui rapimnasus—semestinya tidak perlu lagi menyodorkan nama cawapres. Masalah cawapres bagi Yudhoyono secara etis harus dipandang sebagai otoritas subyektif putra Pacitan tersebut selaku capres dari partai pemenang pemilu legislatif.

Karena itu, agenda Golkar saat ini bukanlah mencari-cari pelabuhan hati untuk Kalla atau tokoh Golkar yang lain. Jauh lebih penting dari itu adalah menyelamatkan partai beringin dari kubangan keruh kekuasaan. Biarkanlah Yudhoyono dan Megawati berpikir keras soal calon pendamping mereka.

Syamsuddin Haris Profesor Riset Ilmu Politik LIPI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog