Selasa, 28 April 2009

Koalisi untuk Kemaslahatan Bangsa

Yonky Karman

Hiruk pikuk kisruh penyelenggaraan pemilu dan isu koalisi untuk sementara mengalihkan perhatian publik dari potret buram republik ini. Banjir di mana-mana. Proses ganti rugi korban lumpur Lapindo yang belum tuntas. Perekonomian menurun. Pengangguran meningkat. Kualitas hidup rakyat miskin menurun.

Pemilu demokratis bukan cuma soal prosedur, tetapi juga kemaslahatan bangsa.

Pengalaman bernegara selama lima tahun terakhir adalah komplikasi politik. Kebijakan eksekutif kerap tersandera di parlemen lantaran presiden tidak memiliki basis dukungan kuat di parlemen. Namun, di mata rakyat, koalisi selama ini tidak lebih dari oligarki kekuasaan. Daulat elite politik, bukan daulat rakyat. Pragmatisme politik untuk berbagi kue kekuasaan. Koalisi hanya menyempurnakan persekongkolan yang melibatkan unsur eksekutif dan legislatif.

Konflik kepentingan dalam penyelenggaraan negara dibiarkan dan presiden tak mampu bertindak tegas untuk meluruskannya. Koalisi tidak berdampak langsung kepada kesejahteraan rakyat dan kemandirian bangsa. Indonesia belum keluar dari cengkeraman neokolonialisme ekonomi (korporatokrasi). Ini tentu tidak sehat bagi perkembangan demokrasi.

Korupsi dideklarasikan sebagai pembunuh bangsa, demikian sebuah spanduk yang dipasang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, pemerintah tidak serius memeranginya. Itu sebabnya kendati KPK kerja keras, pengumuman perusahaan konsultan Political and Economic Risk Consultancy (3/4) masih menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia.

Yang dinilai lebih baik daripada Indonesia adalah India, Kamboja, Thailand, dan Vietnam. Vietnam yang pernah dicabik-cabik perang saudara dan lebih lambat membangun kini lebih berprestasi dalam pemberantasan korupsi. Yang lebih penting lagi, kemajuan pemberantasan korupsi di negeri itu memiliki korelasi dengan pertumbuhan ekonomi.

Etika berkoalisi

Indonesia memang bukan Vietnam. Jalan demokrasi telah dipilihnya. Namun, demokrasinya belum menyejahterakan rakyat. Tujuan akhir pemilu dan juga koalisi sebenarnya adalah masa depan bangsa yang lebih baik, terlebih di era persaingan ketat antarbangsa. Tetapi, elite politik menjadi parasit demokrasi. Tujuan akhir koalisi berhenti di Senayan, tidak berakhir pada kesejahteraan bangsa yang lebih baik.

Politik dagang sapi ini mengingkari hak rakyat untuk menjadi lebih sejahtera. Seusai pemilu, politisi menjauh dari aspirasi dan kepentingan rakyat. Demokrasi kita dibajak elite politik. Hanya segelintir orang di lingkaran kekuasaan yang diuntungkan. Tingginya angka golput kali ini juga harus dibaca sebagai peringatan bahwa mereka terpilih disertai banyak catatan dan skeptisisme publik.

Pemilu adalah kesempatan untuk mereposisi dan meluruskan tujuan akhir koalisi partai. Memang perolehan suara Partai Demokrat meningkat secara fenomenal, sementara partai-partai lain terkena degradasi (kecuali PKS). Padahal, calon PD relatif tak dikenal. Infrastruktur partainya juga belum mengakar di masyarakat.

Jelas PD amat bergantung pada ketokohan SBY (politik figur), yang dalam hal ini banyak diuntungkan karena posisinya sebagai incumbent. Maka, suka atau tidak, PD lima tahun yang akan datang secara tak langsung bergantung pada langkah politik SBY.

Persoalan besar PD yang mendadak menjadi demikian populer adalah bayang-bayang menjadi partai gembos pada tahun 2004, sebab SBY tidak mungkin maju lagi sebagai calon presiden. Itu akan terjadi jika PD mengabaikan prinsip-prinsip partai modern yang kuat dalam kaderisasi dan infrastruktur.

Dilema cawapres

Meski posisi SBY enteng jodoh, penentuan calon wakil presiden tidak sederhana. Selain menentukan suara pemilih dalam pemilihan berikut, juga menentukan perjalanan PD pada Pemilu 2014. Tentu tidak elok mengambil jatah cawapres dari PD lagi.

Masalahnya, secara tak langsung itu ikut mempersiapkan calon presiden dari partai lain untuk 2014. Praksis koalisi seperti itu terbukti melahirkan persaingan terbuka antara presiden dan wakilnya, seperti terjadi antara SBY dan JK. Sebuah fenomena persaingan yang tidak lazim dan jalannya pemerintahan terdistorsi.

Alternatifnya, SBY memilih cawapres yang tidak membuat kalangan partai-partai papan tengah iri, yakni dari nonpartai.

Bagaimana dengan JK dan Megawati, yang masing-masing sudah diberi mandat oleh partai mereka untuk menjadi capres? Dapatkah mereka berkoalisi? Belum lagi ada Prabowo dan Wiranto yang juga ingin menjadi capres atau paling tidak cawapres. Idealnya, siapa pun yang terpilih sebagai presiden harus diterima dengan besar hati dan pihak-pihak yang kalah dapat mengimbanginya sebagai koalisi oposisi di parlemen.

Yang penting adalah koalisi untuk kemaslahatan bangsa karena kekuatan eksekutif yang dominan dan didukung mayoritas legislatif akan cenderung korup- tif. Bahkan, tidak mustahil akan teramat korup!

Yonky Karman Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog