Selasa, 28 April 2009

Publik dan Koalisi Politik

Tata Mustasya

Hasil penghitungan cepat sejumlah lembaga survei dan penghitungan sementara Komisi Pemilihan Umum menunjukkan persepsi publik dalam pemilihan umum legislatif. Suara Partai Demokrat meningkat dari 7 persen pada 2004 menjadi 20 persen pada 2009.

Penyebab langsung hal ini adalah keberhasilan Yudhoyono melakukan dua hal. Pertama, capaian-capaian jangka pendek bagi berbagai kelompok pemilih dengan jumlah besar. Kedua, memanfaatkan kekuatan media untuk mengapitalisasi berbagai capaian tersebut.

Kedua hal ini terkait erat. Terjadi pergeseran cara paling efektif dalam memengaruhi pemilih di Indonesia dari fungsi organisasi partai ke pemanfaatan media massa, terutama televisi (LSI, 2008).

Eratnya asosiasi berbagai capaian jangka pendek tersebut kepada figur Yudhoyono dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, optimalisasi klaim keberhasilan oleh Partai Demokrat (PD). Sementara parpol-parpol lain yang tergabung dalam kabinet secara pragmatis menjaga ”jarak” dari kebijakan Yudhoyono dalam beberapa masa sulit.

Beberapa parpol yang jelas-jelas memiliki menteri di posisi strategis kerap mendua, misalnya, dengan mengkritisi kebijakan impor beras dan beberapa kali kenaikan harga bahan bakar minyak. Parpol tersebut melakukan salah hitung yang ”wajar” karena harga komoditas, termasuk minyak mentah, di pasar internasional diramalkan akan terus naik.

Kedua—dan masih berkaitan dengan yang pertama—Yudhoyono beruntung karena penurunan harga berbagai komoditas terjadi pada akhir periode pemerintahannya. Ini dipadukan dengan keterampilan Yudhoyono dalam melaksanakan program- program populis pada kurun waktu penting tersebut, termasuk perbaikan kesejahteraan pegawai negeri sipil.

Publik sebagai penentu

Ini menunjukkan, persepsi publik—terlepas tepat atau tidak—mengenai parpol dan politisi yang berkomitmen dan mampu memenuhi kepentingan mereka sangat menentukan hasil Pemilu 2009. Beberapa parpol gagal menerjemahkan hal ini ke dalam tataran praktis. Partai Golkar, misalnya, menampilkan iklan politik yang abstrak mengenai keutuhan Indonesia. Sementara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) mengkritik kebijakan bantuan langsung tunai (BLT), sesuatu yang, suka atau tidak suka, sangat berarti dalam jangka pendek bagi sekitar 35 juta warga miskin.

Pentingnya menerjemahkan ”kepentingan publik” ke dalam bahasa yang dipahami masyarakat umum tampaknya masih gagal dilakukan oleh beberapa parpol. Ini terlihat secara kentara dari perkembangan dalam usaha membangun koalisi politik.

Pertama, Partai Golkar yang terkesan tanpa perhitungan yang jelas mencalonkan Jusuf Kalla— yang memiliki keterpilihan rendah—sebagai calon presiden. Tidak hanya emosional, ini menunjukkan kepercayaan akan kemampuan mengubah pilihan publik melalui organisasi partai dan simpul massa. Sesuatu yang tak begitu efektif lagi sekarang karena publik cenderung memilih berdasarkan rasionalitasnya sendiri.

Kedua, usaha membangun koalisi yang berorientasi ke dalam dan tidak mengoptimalkan hal itu untuk menciptakan ”panggung” demi menarik simpati publik. Dalam politik pemilihan langsung di Indonesia, koalisi yang sangat kental dengan politik ”dagang sapi” dan proses yang sangat gaduh akan dipersepsikan negatif oleh publik.

Jalan keluar dari terlalu kuatnya Yudhoyono, parpol tiga besar—selain PD—tidak mesti terfokus ke Pemilu Presiden 2009, tetapi menjadikannya sebagai proses menuju Pemilu 2014. Partai Golkar yang telanjur melakukan blunder politik dengan tidak mengadakan konvensi calon presiden dan kemudian maju- mundur mengajukan calon presiden idealnya tak perlu mengajukan kandidat dalam pemilu ini. Mereka bisa mengolah satu fokus persoalan mendasar dari sekarang sebagai usaha rebranding dan menerjemahkannya ke dalam hal praktis yang dipahami masyarakat.

PDI-P seharusnya memperkuat orientasi pada isu kerakyatan. Dengan demikian, ketika mengajukan calon presiden atau calon wakil presiden, pasangan kandidat harus mencerminkan citra— yang seharusnya didukung ideologi yang kuat—serupa.

Sementara itu, PD tampaknya akan memilih calon wapres dari parpol lain dengan figur yang relatif tak terlalu kuat, tetapi memiliki kelebihan dalam manajerial praktis. Pertimbangannya, wapres 2009-2014—terutama jika masih relatif muda—akan menjadi ancaman sebagai kandidat presiden pada Pemilu 2014.

Tata Mustasya Sedang Belajar di University of Turin dan ITC-ILO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog