Rabu, 15 April 2009

Pilihan Politik dan Disonansi Kognitif


Rabu, 15 April 2009 | 03:31 WIB

Oleh SUNNY TANUWIDJAJA

Dalam tulisannya, ”Ukuran Rasionalitas di Balik Tokoh” di Kompas (13/4), Suwardiman dan Toto Suryaningtyas menunjukkan bahwa pemilih Indonesia adalah pemilih rasional yang menentukan pilihan berdasarkan proses evaluasi terhadap kinerja partai politik maupun tokoh tertentu. Meski masih ada segmen masyarakat yang loyal terhadap tokoh atau parpol tertentu, tulisan mereka cenderung melihat dominannya pemilih yang ada dalam segmen ”rasional”.

Mereka menyatakan bahwa pada akhirnya pilihan politik pemilih akan bergantung pada penilaiannya terhadap kinerja pemerintah. Jika kinerja pemerintah baik, pemilih akan cenderung memilih kembali kekuatan politik yang ada di pemerintah. Begitu juga sebaliknya.

Namun, kesimpulan itu belum tentu tepat karena belum diperhitungkannya faktor-faktor yang memengaruhi proses evaluasi kinerja pemerintah tersebut. Sangat mungkin proses evaluasi yang dilakukan oleh pemilih terhadap kinerja pemerintah justru didasarkan pada pertimbangan- pertimbangan yang bisa dikatakan tidak rasional.

Logika rasionalitas

Paling sedikit, ada tiga cara yang sering dipakai untuk melihat apakah dan menunjukkan bahwa pemilih adalah rasional.

Cara pertama, responden suatu survei ditanyakan penilaian mereka terhadap kinerja pemerintah. Lalu, mereka ditanyakan parpol atau kandidat mana yang akan mereka pilih. Dari jawaban responden dilihat apakah ada korelasi antara penilaian terhadap kinerja pemerintah dan pilihan si responden. Jika secara umum pemilih yang memiliki penilaian positif terhadap pemerintah memilih kembali parpol atau kandidat incumbent, dapat disimpulkan bahwa pemilih adalah oknum rasional.

Cara lain adalah responden dalam survei ditanyakan parpol atau kandidat mana yang paling mampu menyelesaikan permasalahan yang ada, atau dengan kata lain pemilih diminta menunjuk parpol atau kandidat yang paling menjanjikan. Jika pilihan politik mereka sesuai dengan pilihan yang menurut mereka paling menjanjikan, dikatakan pemilih adalah aktor yang rasional.

Cara ketiga adalah responden dalam survei ditanyakan faktor-faktor apa yang memengaruhi mereka dalam mengambil keputusan mengenai pilihan politik mereka. Jika faktor-faktor yang ditunjuk merupakan faktor yang terkait dengan kinerja, rekam jejak, atau kapasitas sebuah parpol atau seorang kandidat, dapat disimpulkan juga bahwa pemilih adalah aktor yang rasional.

Namun, argumen pemilih rasional memiliki satu kelemahan mendasar, yaitu masalah endogenitas. Artinya, sangat mungkin pertimbangan yang dikatakan rasional justru dipengaruhi faktor-faktor yang ”nonrasional”. Penilaian rasional bukanlah suatu proses yang eksogenus atau independen terhadap faktor-faktor psikologis maupun primordial.

Konsistensi internal

Salah satu faktor yang sudah dibuktikan secara empiris memengaruhi proses evaluasi seseorang yang dikatakan rasional adalah faktor psikologis. Studi ilmu psikologi yang terkait dengan hal ini tidak lain adalah penemuan bahwa perilaku seseorang dapat memengaruhi cara berpikirnya, bukan hanya sebaliknya (Bandura, 1989).

Selain itu, Festinger (1957) mengatakan bahwa pada dasarnya manusia juga membutuhkan konsistensi internal. Artinya, jika seorang individu melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinannya, sangat mungkin individu tersebut justru mengubah keyakinannya untuk menghilangkan ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh inkonsistensi antara perilaku dan keyakinannya.

Berdasarkan dua kerangka teori di atas, Mulainathan dan Washington (2009) membuktikan secara empiris bahwa ternyata penilaian pemilih terhadap presiden di sejumlah periode sangat dipengaruhi oleh pilihannya pada masa lalu. Misalnya, jika seseorang memilih kandidat yang menang dalam sebuah pemilu, ia akan cenderung memiliki penilaian yang lebih positif terhadap incumbent dalam waktu-waktu mendatang. Meski studi ini dilakukan di Amerika, bukan tidak mungkin teori ini juga berlaku bagi pemilih Indonesia, mengingat justru pemilih di Amerika memiliki rata-rata pendidikan yang lebih tinggi dan seharusnya lebih rasional.

Dengan kata lain, pada akhirnya salah satu faktor terpenting yang memengaruhi pilihan politik seseorang bukanlah semata penilaiannya terhadap kinerja atau prospek kinerja parpol atau kandidat tertentu, melainkan pilihan politik masa lalunya. Meski secara tidak langsung berpengaruh, pilihan politik masa lalu seseorang memainkan peranan besar dalam menentukan pilihan politik seseorang dengan memengaruhi proses evaluasinya terhadap parpol atau kandidat tertentu.

Masih prematur

Pendekatan yang digunakan untuk melihat dan menunjukkan rasionalitas pemilih Indonesia saat ini masih bermasalah karena pendekatan yang ada belum dapat memperhitungkan faktor psikologis yang kemungkinan tidak masuk kategori ”rasional”.

Memang penilaian seseorang terhadap kinerja atau prospek kinerja parpol ataupun kandidat dapat memengaruhi pilihan politiknya. Namun, yang juga perlu dilihat lebih jauh adalah bagaimana proses penilaian dan evaluasi tersebut. Apakah proses penilaian dan evaluasi tersebut betul-betul rasional atau justru proses tersebut dipengaruhi oleh faktor psikologis.

Sangat mungkin kebutuhan untuk memiliki konsistensi internal merupakan kebutuhan universal yang memang umum ada pada banyak individu lintas generasi maupun lintas geografis. Oleh karena itu, sebelum faktor psikologis dapat dibuktikan minim pengaruhnya dalam proses di mana pemilih menilai kinerja atau prospek kinerja sebuah parpol atau seorang kandidat, kesimpulan bahwa pemilih adalah aktor yang rasional masih perlu dipertanyakan.

Sunny Tanuwidjaja Peneliti Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS; Kandidat Doktor Ilmu Politik di Northern Illinois University

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog