Minggu, 26 April 2009

Pecundang dan Demokrasi Kita

Syafiq Hasyim

Wacana publik pascapemilu 9 April 2009 bisa dikatakan lebih didominasi pembicaraan tentang kisah sukses para pemenang: calon anggota legislatif yang lolos dan partai yang menang.

Hal ini setidaknya bisa dilihat dari bagaimana media kita menempatkan para pemenang dalam pemberitaan. Para pemenang dipuji dan diapresiasi meski tidak semua kemenangan dicapai secara fair dan demokratis. Ditambah lagi, para pemenang juga larut dalam euforia.

Sebaliknya, mereka yang kalah (caleg gagal dan partai kalah) menempati ruang pemberitaan yang kurang positif di media yang secara intensif menampilkan fenomena, misalnya caleg yang stres, depresi, marah serta fenomena lain yang timbul akibat kalah dalam pemilu legislatif lalu.

Kesannya, seolah-olah pecundang (the losers) kehilangan kontribusinya dalam kehidupan demokrasi kita. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Przeworski (1991), profesor politik New York University, pernah mengatakan, kehidupan demokrasi itu tidak hanya bergantung kepada para pemenang, tetapi juga kepada mereka yang kalah. Artinya, keduanya berperan penting untuk menjaga keberlanjutan kehidupan yang demokratis.

Pemojokan yang kalah

Persoalan bagi kita—terutama bagi para pemenang—adalah bagaimana memikirkan the losers ini. Kecenderungan media kita yang lebih cenderung menampilkan berita ”memojokkan” the losers dengan olok-olok dan satir harus diakhiri. Hal ini bisa mengakibatkan keadaan mereka kian terpojok dan kehilangan ruang dalam demokrasi. Lebih parah, ini juga bisa menggiring wacana publik, yang tidak kritis, kian meminggirkan eksistensi dan peran mereka (the losers).

Akibatnya, citra sebagai the losers kian terpuruk. Ini bisa mengancam masa depan kehidupan demokrasi kita. Memang ekspos atas the losers akan membantu publik dan mereka yang kalah untuk mawas diri dan mengambil lessons-learned atas proses politik yang sudah mereka lalui.

Namun, pada sisi lain, pengungkapan yang eksesif juga bisa menimbulkan trauma berat bagi mereka. Ini bisa mematikan ambisi mereka untuk mencalonkan diri lagi sebagai anggota DPR pada pemilu mendatang karena jika kalah (lagi), mereka akan menjadi obyek pemberitaan yang berat seperti sekarang. Matinya ambisi untuk berperan dalam politik elektoral akan berdampak pada matinya demokrasi. Jika demikian, kita telah melakukan investasi buruk atas pendidikan politik kita.

Pewacanaan para pemenang adalah hal penting. Namun, fakta menunjukkan, mayoritas the losers adalah bukan orang biasa saja. Minimal mereka adalah, pertama, orang yang telah membuktikan keberanian untuk berlaga dalam pemilu. Terlepas kalah atau menang, keberanian mereka patut dihargai.

Kedua, the losers, sedikit atau banyak, telah membangun dan memiliki network di daerah masing-masing. Selama kampanye, mereka telah membangun komunikasi, saling pengertian dan kerja sama lumayan lama dengan konstituennya. Bahkan, mayoritas mereka adalah pelopor, sekecil apa pun kepeloporannya di masyarakat. Ada juga yang tidak. Namun, dilihat dari profil masing-masing, hampir bisa dikatakan mayoritas mereka adalah pemimpin. Pendek kata, mereka memiliki kapital sosial-uang, jaringan, dan kepercayaan (Putnam, 1993).

Ketiga, jumlah mereka yang melebihi satu juta adalah aset demokrasi kita. Bayangkan jika satu juta dari mereka menggalang kekuatan melakukan perlawanan atas proses demokrasi yang sah, ini akan menjadi kemunduran besar bagi demokrasi kita. Karena itu, kita perlu membangun agenda untuk mengonsolidasikan the losers agar kekalahannya tidak menjadi alasan untuk merusak proses demokrasi.

Konsolidasi demokrasi

Alexis de Tocqueville mengibaratkan kehidupan demokratis laksana bangunan di atas pasir, artinya amat rentan akan berbagai guncangan, (Wolfgang Merkel, 2005). Jika demokrasi tidak dilapisi dengan budaya masyarakat sipil, nasib kehidupan demokrasi akan terpuruk.

The losers adalah bagian dari masyarakat sipil. Karena itu, salah satu hal yang perlu diperhatikan agar konsolidasi demokrasi berjalan baik adalah bagaimana kita memberikan apresiasi kepada the losers atas kontribusinya dalam Pemilu 2009. Pembiaran atas mereka dalam pemilu legislatif maupun presiden mendatang akan mengakibatkan munculnya persoalan yang bisa membahayakan konsolidasi demokrasi.

Benar, dalam politik lazim ada yang kalah dan menang. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana pihak yang menang, dengan kemenangannya, bisa memberikan apresiasi atas pihak yang kalah. Ingat, mereka yang menang tidak akan selalu menjadi pihak yang menang. Sebaliknya, mereka yang kalah tidak selalu akan menjadi pihak yang kalah. Apalagi dalam sistem demokrasi, pertarungan politik masih mungkin terjadi di luar jalur politik elektoral. The losers masih memiliki kesempatan untuk bermain pada jalur politik non-elektoral, misalnya melalui organisasi profesi, LSM, dan civil society.

Atas dasar itu, apresiasi atas the losers adalah hal yang penting bagi demokrasi kita. Kita perlu mendukung the losers bahwa kegagalan kali ini bukan berarti kegagalan selamanya. Hal ini pula yang disarankan Przeworski, bahwa demokrasi akan terus terjaga jika the losers memiliki kesadaran bahwa kekalahan pada putaran pemilu bukan akhir segalanya, tetapi peluang untuk menang dalam pemilu mendatang. Hal ini lebih baik bagi mereka untuk menunggu putaran pemilu berikut daripada menjadi pemberontak. (Przeworski, 1991).

Namun, harus diakui, penanaman kesadaran seperti ini tidak mudah, perlu kesabaran terutama dari pihak yang menang dan pemerintah. Dengan kata lain, kita memerlukan pemenang yang mampu memberikan toleransi atas yang kalah. Salah satu caranya adalah bagaimana meyakinkan the losers dengan argumen, bukan dengan kekerasan. Pertanyaannya, mampukah para pemenang dan pemerintah menjalankan hal ini?

Syafiq Hasyim Deputi Direktur International Center for Islam and Pluralism, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog