Rabu, 15 April 2009

Pemilu 2009 Terancam

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Tokoh-tokoh politik, (baris depan dari kiri) calon anggota DPR dari Partai Gerindra, Halida Hatta; calon presiden dari Partai Indonesia Sejahtera, Sutiyoso; Ketua Umum Partai Bintang Reformasi Bursah Zarnubi; Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Amanat Nasional Totok Daryanto; Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan Rusdi Hanafi; Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto; Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri; Ketua Umum Partai Hanura Wiranto; mantan Presiden Abdurrahman Wahid; calon presiden dari Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia dan Partai Bintang Reformasi, Rizal Ramli; Ketua Umum Partai Peduli Rakyat Nasional Amelia Yani; serta calon anggota DPR dari PDI-P, Puan Maharani; mengangkat tangan setelah menyampaikan pernyataan sikap di kediaman Megawati Soekarnoputri, Jalan Teuku Umar, Jakarta, Selasa (14/4). Tokoh lintas partai tersebut menyatakan Pemilu Legislatif 2009 adalah pemilu terburuk sepanjang sejarah bangsa .


Pemerintah dan KPU Dinilai Tak Netral


Rabu, 15 April 2009 | 03:03 WIB

Jakarta, Kompas - Legitimasi pemilihan umum legislatif yang dilaksanakan pada 9 April 2009 terancam. Sejumlah partai politik dan tokoh politik menilai, pemilu kali ini adalah pemilu terburuk sejak reformasi dan pelaksanaannya jauh dari sikap yang jujur, bermartabat, adil, dan demokratis.

Banyaknya masalah, terutama daftar pemilih tetap (DPT), mengakibatkan jutaan warga kehilangan hak konstitusi untuk memilih wakil rakyat. Padahal, hak memilih adalah hak asasi manusia yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945. Pengabaian atas hak memilih berarti melanggar konstitusi. Pelaksanaan pemilu juga diwarnai kecurangan dan kesalahan administrasi serta substansi yang sistemik sehingga mengakibatkan kualitasnya buruk.

Pernyataan sikap partai politik dan tokoh masyarakat terhadap pelaksanaan Pemilu 2009 itu dibacakan Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat Jenderal (Purn) Wiranto di kediaman Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar, Jakarta, Selasa (14/4). ”Pemerintah, Komisi Pemilihan Umum, maupun Komisi Pemilihan Umum Daerah bersikap tidak netral dalam pelaksanaan pemilu legislatif,” kata Wiranto.

Pernyataan sikap ini bisa berimplikasi serius karena belum pernah terjadi dalam pemilu sebelumnya pada era reformasi, baik Pemilu 1999 pada era pemerintahan BJ Habibie maupun Pemilu 2004 pada era pemerintahan Megawati.

Pernyataan itu ditandatangani 14 dari 38 pemimpin partai peserta pemilu, selain sejumlah tokoh. Mereka antara lain Megawati, Wiranto, Abdurrahman Wahid (Ketua Umum Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa), Rizal Ramli, Sutiyoso, Ferry B Regar (Partai Damai Sejahtera), Bursah Zarnubi (Partai Bintang Reformasi), Idham Cholied (Partai Kebangkitan Nasional Ulama), Yusril Ihza Mahendra (Partai Bulan Bintang), Totok Daryanto (Partai Amanat Nasional), Syahrir MS (Partai Republika Nusantara), Zulfan Lindan (Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia), Amelia A Yani (Partai Peduli Rakyat Nasional), Rusdi Hanafi (Partai Persatuan Pembangunan), Prabowo Subianto (Partai Gerakan Indonesia Raya), dan Ryaas Rasyid (Partai Demokrasi Kebangsaan).

Sultan Hamengku Buwono X juga menemui Megawati. Namun, ia tak menandatangani deklarasi itu. Menurut Sekretaris Jenderal PDI-P Pramono Anung, Sultan tidak diminta menandatangani pernyataan itu karena ia sebagai Dewan Pembina Partai Golkar. Ketua Umum PBB MS Kaban dan Wakil Ketua Umum PBB Hamdan Zoelva serta mantan Kepala Badan Intelijen Negara Hendropriyono juga datang.

Demokrasi membenarkan

Secara terpisah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai, gerakan politik, protes, dan tuntutan atas hasil pemilu dibenarkan dalam demokrasi. Terhadap semua gerakan itu, ia berharap semua disalurkan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

”Cegah supaya tidak keluar dari aturan perundang-undangan yang berlaku. Ikuti aturan main dan mekanisme yang ada. Cegah anarkisme dan kekerasan,” papar Yudhoyono kepada anggota Kabinet Indonesia Bersatu, Selasa.

Adanya ancaman lewat gerakan politik tidak membuat cacat proses demokrasi yang dikawal bersama. Untuk mencegah cacat itu, Yudhoyono minta aturan main dan mekanisme dipatuhi.

Penyelesaian hukum

Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan pimpinan parpol dan tokoh itu, akan dilakukan gugatan secara hukum. Namun, berdasarkan informasi yang diperoleh, dalam diskusi tertutup beberapa pemimpin partai sempat melontarkan usulan ekstrem, seperti boikot pemilu atau pemilu ulang.

Wiranto menegaskan, proses hukum akan ditempuh untuk menyelesaikan berbagai permasalahan dalam pemilu. Gugatan pun akan diajukan secepatnya.

”Tidak ada satu kasus pun di negeri ini yang tidak bisa diselesaikan secara hukum,” ucapnya.

Penanda tangan deklarasi menilai, dalam Pemilu 2009 terjadi kecurangan yang sistemik. Menurut Rizal Ramli, bila semua desa dipetakan, akan terlihat ada korelasi positif antara desa yang banyak menerima bantuan langsung tunai dan peta kemenangan Partai Demokrat. Sebaliknya, di daerah di mana Partai Demokrat berpotensi kalah, terutama di kota besar, banyak warga yang tak masuk DPT.

”Ini tak bisa hanya KPU yang disalahkan, tetapi juga jadi tanggung jawab Presiden. Dua pemilu lalu, pada waktu Pak Habibie dan Mbak Mega, berlangsung jujur, adil, dan fair. Kali ini justru pemilu legislatif yang amburadul,” ujar Rizal.

Menurut Hamdan Zoelva, banyak daerah yang merupakan basis PBB mengalami penggembosan luar biasa. Ia mencontohkan, 500 orang di Desa Jia, Kecamatan Sape, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, tidak ada dalam DPT.

Secara terpisah, Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera Tifatul Sembiring juga menyesalkan amburadulnya pelaksanaan Pemilu 2009. Apalagi, susah mencari orang atau lembaga yang bertanggung jawab atas ketidakberesan pelaksanaan pemilu ini.(sut/dwa/mam/inu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog