Jumat, 10 April 2009

PEMILU 2009

Dari Pemilu Legislatif ke Pemilu Presiden


KOMPAS/ALIF ICHWAN/AGUS SUSANTO/YUNIADHI AGUNG/TOTOK WIJAYANTO
Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla, Megawati Soekarnoputri, dan Prabowo Subianto.
Jumat, 10 April 2009 | 09:19 WIB

Oleh Sidik Pramono

Pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD sudah berlangsung Kamis, 9 April, kemarin, sekalipun sejumlah daerah di Nusa Tenggara Timur masih akan melangsungkan pemungutan suara pada 14 April mendatang plus sejumlah daerah di Papua yang mundur karena logistik yang terlambat.

Pemungutan suara 9 April belumlah akhir dari rangkaian proses pemilu legislatif. Masih ada proses rekapitulasi hasil penghitungan suara yang dilakukan berjenjang, mulai dari tingkat tempat pemungutan suara sampai ke tingkat nasional.

Juga masih ada proses penetapan hasil pemilu, berikut penetapan calon terpilih anggota DPR, DPD, dan DPRD. Juga masih ada kemungkinan proses gugatan atas hasil pemilu. Padahal, hasil pemilu itulah yang akan menjadi dasar bagi partai politik atau gabungan parpol yang berhak mendaftarkan pasangan calon presiden-wakil presiden.

Harus diakui, setumpuk masalah dengan warna-warninya mengiringi tahapan pelaksanaan pemilu kali ini. Apa yang bisa ditarik menuju pemilu presiden pada 8 Juli dan 8 September?

Daftar pemilih

Tahap pertama pemilu adalah penyusunan daftar pemilih. Tidak terbantahkan bahwa data pemilih selalu menjadi persoalan dalam pemilihan umum di Indonesia.

Pada Pemilu Legislatif 2009, Komisi Pemilihan Umum sampai mesti beberapa kali merevisi keputusannya soal jumlah pemilih. Terakhir, pada Kamis (12/3) malam, KPU mengumumkan revisi jumlah pemilih tetap untuk Pemilu 2009. Dari semula pemilih ditetapkan 171.068.667 orang, tetapi kemudian berubah menjadi 171.265.442 atau bertambah 195.775 berdasarkan Keputusan KPU Nomor 164 Tahun 2009 tertanggal 7 Maret 2009. Pemilih tersebut bakal tersebar di 519.920 tempat pemungutan suara (TPS) di seluruh Indonesia.

Perubahan ”terakhir” itu merupakan tindak lanjut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 yang memberikan kesempatan sekali kepada KPU untuk merevisi daftar pemilih tetap (DPT). Sebelum Perppu dikeluarkan, sudah ramai dipersoalkan jumlah pemilih di sejumlah daerah yang ditetapkan KPU yang ternyata tidak sama dengan laporan dari daerah. Atas nama ”menghormati hak rakyat”, peluang untuk merevisi pun diusulkan oleh KPU agar dimasukkan dalam perppu.

Namun, hari-hari terakhir menjelang pemungutan suara, perdebatan soal daftar pemilih kembali mencuat. Daftar pemilih dinilai ”belum bersih”. Disinyalir ada manipulasi atas daftar pemilih dengan modus yang sebenarnya ditengarai sudah terjadi dalam sejumlah kasus pemilihan kepala daerah. Modus klasik seperti tercatatnya orang yang sudah meninggal atau bocah di bawah umur masih terjadi. Bahkan, duplikasi yang lebih ”canggih” mulai meruyak, seperti dengan tercatatnya nama yang sama berulang-ulang di beberapa TPS, penggunaan nomor induk kependudukan (NIK) yang sama berkali-kali, ataupun ketidakjelasan pencatatan nama pemilih dengan NIK yang tidak standar.

Kekacauan data pemilih tersebut bukan hanya berimplikasi soal hak rakyat sebagai pemilih, tetapi juga ada indikasi pemborosan anggaran. Surat suara telanjur dicetak sebanyak jumlah pemilih yang ternyata ”belum bersih”. Jumlah pemilih juga menentukan jumlah TPS. Sementara jika jumlah pemilih tidak benar atau ternyata banyak pemilih ”fiktif”, pembagian TPS pastilah terpengaruh. Jika benar ada jumlah pemilih sekarang ”kebanyakan”, amat besar kemungkinan jumlah TPS pun mestinya tidak sampai 519.920 buah.

Mencuatnya wacana manipulasi DPT belakangan ini sebenarnya memiliki ”hikmah” tersembunyi. Berdasarkan pengalaman Pemilu 2004, besar kemungkinan jumlah pemilih yang terdaftar dalam hasil rekapitulasi akhir penghitungan suara tidak akan sama dengan jumlah yang telah ditetapkan KPU sebelumnya. Jika benar KPU berikut segenap aparat pelaksana pemilu menyisir DPT, pastilah akan ada nama-nama pemilih yang tercoret dari daftar pemilih karena yang bersangkutan tidak dikenal di TPS tempatnya terdaftar. Menjadi ironis jika ternyata di daerah bersangkutan masih ada warga yang memiliki hak pilih, tetapi tidak terdaftar.

Hari pemungutan suara mestinya bisa sekaligus menjadi kesempatan pemutakhiran data pemilih. Pada hari-H, petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) akan langsung mengetahui siapa saja pemilih terdaftar yang tidak dikenal. Jika benar tinta suara efektif mencegah pemilih menggunakan haknya lebih dari sekali, penyelenggara pemilu mulai tingkat desa/kelurahan pun mestinya bisa memilah pemilih yang terdaftar lebih dari sekali di wilayahnya. Secara bertingkat, ”pembersihan” daftar pemilih pun bisa dilakukan.

Sesuai jadwal yang disusun KPU, perbaikan daftar pemilih sudah harus dimulai 8 April sampai kemudian DPT pemilu presiden secara nasional ditetapkan pada 13 Mei mendatang.

Logistik

Pada pemilu presiden mendatang, pemungutan dan penghitungan suara mestinya lebih mudah karena calon yang dipilih hanya sedikit. Rekapitulasi pun semestinya tidak lebih rumit. Hanya saja, mesti dipastikan lagi sosialisasi yang ekstensif mengenai penandaan surat suara yang dianggap sah.

Sebelum proses itu, masalah logistik pemilu legislatif meninggalkan catatan panjang, baik proses pengadaan dan terutama pendistribusiannya. Misalnya, sejumlah daerah melaporkan kelambanan pengiriman surat suara, juga mengeluhkan surat suara yang rusak. Bahkan sehari sebelum hari-H pemungutan suara saja, sudah dipastikan 246 TPS di 5 kabupaten di Provinsi Papua tidak dapat melaksanakan pemungutan suara pada 9 April. Janji KPU untuk mendahulukan wilayah sulit ternyata kurang terbukti.

Tantangan untuk pemilu presiden bakal lebih besar karena waktu yang tersedia bakal mepet. Dalam keputusan KPU mengenai jadwal penyelenggaraan pemilu tidak dielaborasi kegiatan pengadaan, pencetakan, dan pendistribusian. Yang tercantum hanya kegiatan itu dimulai 1 Februari, berakhir 7 Juli, dan paling lambat sehari sebelum hari dan tanggal pemungutan suara semua logistik sudah diterima KPPS.

Kampanye pemilu legislatif juga meninggalkan catatan tersendiri. Penanganan kasus pelanggaran kampanye terkesan terjebak dalam pelanggaran klasik, semisal lewat waktu, kampanye di luar jadwal, dan juga pelibatan anak-anak dalam kampanye. Kasus politik uang hanya menjadi ”besar” ketika menyentuh Edhie Baskoro Yudhoyono dan itu pun malahan berbelok ke soal dugaan pencemaran nama baik.

Di sisi lain, praktik politik uang yang lebih besar dan sistematis justru susah ditangkap. Pengawasan dana kampanye termasuk yang paling lemah. KPU bahkan membuat blunder ketika sempat membuat edaran yang menyatakan batasan sumbangan dana kampanye dihitung per transaksi, bukan akumulasi sebagaimana dinyatakan dalam undang-undang. Keberanian bersikap tegas atas pelanggaran pelaporan dana kampanye yang berujung pada pembatalan sebagai peserta pemilu pun sempat tertunda-tunda.

Tahap akhir pemilu adalah pengucapan sumpah/janji presiden dan wakil presiden terpilih. Batasan waktu penetapan pasangan calon terpilih paling lambat 14 hari sebelum berakhirnya masa jabatan presiden dan wakil presiden. KPU sudah menjadwalkan pelantikan dan sumpah/janji presiden-wakil presiden terpilih dilaksanakan 20 Oktober 2009.

Apa pun, hitung mundur menuju Pemilu Presiden 2009 segera dimulai. Dari sekarang. Pastilah persiapan pemilu bukan pekerjaan mudah. Namun, bukankah itu bagian tugas KPU yang diamanatkan konstitu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog