Minggu, 12 April 2009

Konstelasi Baru Parpol 2009

Oleh: M Qodari
Direktur Eksekutif, Indo Barometer, Jakarta


Seperti telah terbaca dalam berbagai hasil survei sebelum 9 April 2009, hasil quick count yang dilakukan beberapa lembaga kemarin menunjukkan bahwa Indonesia lima tahun ke depan akan memiliki 3 jenis partai politik (parpol).

Pertama, parpol papan atas, yang isinya Partai Demokrat, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan Partai Golkar. Kedua, partai papan tengah, yang terdiri atas Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Gerakan Indonesia Raya, dan Partai Hanura. Ketiga, partai papan bahwa yang terdiri atas parpol yang tidak lolos parliamentary threshold sehingga cuma memiliki kursi di DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.

Bila hasil Pemilu 2004 dibandingkan dengan hasil Pemilu 2009, maka kita juga mendapatkan 3 macam jenis parpol. Pertama, parpol yang mengalami kenaikan suara, di sini isinya tentu saja Partai Demokrat, disusul oleh Gerindra dan Hanura sebagai partai baru. Kedua, partai yang tertahan kenaikan suaranya, yang terdiri atas PKS dan PAN. Ketiga, partai yang mengalami penurunan suara. Masuk dalam kelompok ini adalah PG, PDIP, PKB, dan PPP.

Mengapa Demokrat naik drastis? Kuncinya ada di figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai figur sentral di Demokrat yang sekarang menjadi presiden incumbent . Sebagai presiden incumbent , aneka program populis dikeluarkan oleh pemerintah. Mulai dari PNPM Mandiri, BLT, anggaran pendidikan yang naik, obat murah. Demikian juga soal pemberantasan korupsi yang utamanya merupakan produk KPK, namun dampak politiknya dituai oleh Demokrat.

Lebih dari itu, pemerintahan SBY mengiklankan aneka program itu secara sistematis dan masif. Misalnya, PNMP Mandiri oleh Menko Kesra. Anggaran pendidikan oleh Diknas. Obat murah oleh Depkes. Klaim aneka keberhasilan pemerintahan SBY juga dilakukan secara sistematis dan masif oleh Partai Demokrat. Alhasil, jika partai lain umumnya hanya bisa masuk lewat iklan parpol, maka dalam kasus Demokrat, partai berlambang bintang segitiga ini juga menuai manfaat dari iklan-iklan layanan masyarakat versi pemerintah.

Kenaikan suara Demokrat pada gilirannya memakan ''tumbal'' berupa terhambatnya, bahkan penurunan, suara partai-partai lain. Partai yang terhambat kenaikannya contohnya adalah PKS. Sebelum ini, peluang kenaikan suara PKS terbuka lebar, terutama dengan citra sebagai partai ''satu-satunya'' yang bersih dan anti-KKN. Fenomena pemberantasan korupsi oleh KPK, hukuman terhadap Aulia Pohan selaku besan Presiden SBY, telah menenggelamkan selling point PKS tersebut. Beberapa bulan belakangan, jika Indo Barometer melakukan survei dan bertanya pada masyarakat, partai politik mana yang paling bersih, maka jawaban tertinggi bukan lagi PKS, melainkan Demokrat.

Kenaikan suara Demokrat juga memakan ''korban'' berupa turunnya berbagai suara parpol lainnya. Parpol yang paling parah mengalami ''kerugian'' akibat kenaikan Demokrat adalah Golkar yang notabene merupakan partner terbesar Demokrat di pemerintahan. Golkar adalah partner terbesar karena ketua umumnya, Jusuf Kalla, adalah wakil presiden dan jumlah menterinya merupakan yang terbanyak di kabinet. Namun, inilah risiko yang harus diterima oleh PG ketika menjadi bagian dari pemerintahan yang dipimpin oleh SBY dan Demokrat. Jika pemerintahan ini dianggap berhasil, maka yang akan mendapat kredit dari publik adalah SBY dan Demokrat, dan bukan JK dan Golkar.

Peluang PDIP untuk bisa meningkatkan suara, bahkan memenangi pemilu 2009, terkendala oleh dua hal sekaligus. Pertama, persepsi tentang tingkat keberhasilan SBY yang tinggi pada saat pemilu dilaksanakan. Kedua, kemunculan dua partai baru yang ikut menggerogoti suara yang semestinya diraup oleh PDIP sebagai partai oposisi satu-satunya selama lima tahun terakhir.

Tentang yang pertama, hasil survei menunjukkan kaitan yang kuat dan konsisten antara tingkat kepuasan publik terhadap SBY dan pilihan parpol. Di kalangan masyarakat yang merasa puas terhadap SBY, parpol yang paling banyak dipilih adalah Demokrat. Sebaliknya, di kalangan yang merasa tidak puas, parpol yang paling banyak dipilih adalah PDIP.

Tentang yang kedua, kehadiran parpol baru seperti Gerindra, telah membelokkan sebagian pemilih yang tidak puas pada SBY, dari semula ke PDIP menjadi ke Gerindra. Apalagi tema yang diangkat Gerindra banyak menyorot kepentingan petani dan nelayan yang notabene merupakan basis massa PDIP. Lebih dari itu adalah kemampuan finansial Gerindra yang luar biasa untuk membiayai kampanye di media massa yang demikian masif dan intensif. Suara orang yang tidak puas pada SBY juga sebagian lari ke Hanura, partai yang dipimpin oleh Wiranto yang banyak menyuarakan perbedaan pandangan dengan pemerintahan SBY.

Gerindra sebagai partai baru sudah benar ketika melakukan segmentasi pemilih sebagai sasaran utama kampanyenya. Iklan-iklan yang dikeluarkan juga menarik dan indah secara visual. Gerindra juga menyadari pentingnya daya tarik tokoh sebagai motor penghela suara partai. Karena itu, Prabowo Subianto sebagai tokoh sentral banyak diiklankan, baik sendirian maupun tandem dengan Partai Gerindra.

Masalah untuk Prabowo dan Gerindra ada dua. Pertama, posisi start Prabowo yang berawal dari tangga bawah popularitas. Kedua, tingkat kepuasan pada SBY yang pada posisi diuntungkan sehingga mempersempit ruang popularitas bagi saingannya seperti Prabowo.

Sekarang, setelah garis besar kekuatan parpol-parpol peserta Pemilu 2009 telah diketahui, peristiwa politik yang akan segera menyedot perhatian elite politik, media massa, maupun masyarakat itu sendiri adalah persiapan menuju pemilu presiden pada Juli 2009 yang akan datang. Hasil ini menunjukkan adanya 3 parpol terbesar yang potensial menjadi motor koalisi: Demokrat, PDIP, dan Golkar. Demokrat telah menjalin komunikasi politik yang tampaknya serius dengan PKS dan PKB. PDIP sudah menjalin komunikasi dengan PPP dan Golkar. Kita belum tahu apakah Golkar akan terus jalan sendiri atau berpasangan dengan PDIP.

Gerindra dan Hanura mungkin mempertimbangkan untuk bergabung dengan salah satu koalisi di atas. Entah koalisi dengan PDIP atau dengan Golkar. Namun, bukan mustahil pula akan muncul kejutan politik berupa aliansi partai-partai papan bawah yang digalang oleh Gerindra atau Hanura. Jawabannya akan kita temukan di hari-hari mendatang.

(-)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog