Selasa, 28 April 2009

Koalisi dan Kinerja Pemerintah

Eko Prasojo

Meski hasil pemilihan umum legislatif belum resmi ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum, partai politik sudah disibukkan berbagai manuver untuk membangun koalisi.

Hasil penghitungan cepat oleh sejumlah lembaga memang cenderung memberikan hasil yang sama sehingga hasil akhir pemilu dipercaya tidak terlalu berbeda. Manuver koalisi berbagai partai politik menjelang pemilu presiden patut dicermati, terutama dalam kaitan membangun pemerintahan yang kuat dan berkinerja.

Platform koalisi

Koalisi antarparpol dalam rangka menentukan calon presiden dan wakil presiden tak boleh hanya didasarkan hitung-hitungan kepentingan politik jangka pendek. Idealnya, koalisi parpol dibangun berdasarkan kesamaan platform ideologi. Tetapi, seperti diketahui, sulit membangun koalisi berbasis platform ideologi karena hampir semua parpol di Indonesia tidak memiliki kejelasan ideologi. Hal ini pun terlihat dari corak koalisi dalam pemilihan langsung kepala daerah, di mana koalisi lebih didasarkan pada kepentingan untuk memenangi pemilihan. Tidak bisa dihindarkan, koalisi semacam itu hanya merupakan strategi berbagi kekuasaan daripada memperjuangkan kepentingan masyarakat.

Berbagai manuver koalisi parpol menjelang pilpres menunjukkan kebutuhan membentuk sistem politik yang lebih baik di masa datang melalui penguatan ideologi partai dan pembentukan sistem merit politik. Pada sisi lain, hal ini membuktikan masih belum terbentuknya budaya oposisi di kalangan elite dan pengurus parpol. Menjadi oposisi belum dianggap bagian terpenting penguatan sistem demokrasi. Ketidaksiapan elite dan parpol untuk berada di luar ring kekuasaan dan menjadi oposisi melahirkan kesulitan tersendiri dalam membentuk koalisi pemerintahan.

Jika kelak koalisi yang terbentuk hanya didasarkan kepentingan mempertahankan kekuasaan di pemerintahan, dapat dipastikan hal itu tidak akan menciptakan kinerja pemerintahan yang baik. Hal ini tidak saja akan mengaburkan kontrol DPR terhadap pemerintah, tetapi juga akan menyebabkan terlalu bervariasinya kepentingan politik di pemerintahan. Tidak jelas siapa yang menjadi partai yang memerintah dan siapa yang menjadi partai oposisi. Tidak heran jika Presiden SBY beberapa waktu lalu mengeluh, sejumlah menteri justru ikut menyikapi secara kritis kebijakan pemerintah. Selain bertentangan dengan etika berpolitik, hal itu juga sangat kontraproduktif dengan soliditas pemerintahan.

Karena itu, perlu dikembangkan diskursus tentang apa yang harus menjadi tujuan akhir sebuah koalisi. Jika platform ideologi parpol sulit dijadikan dasar koalisi, paling tidak harus ada nilai dasar (basic/core value) yang akan dicapai koalisi pemerintahan. Esensi dasar pemerintahan adalah terselenggaranya pelayanan dan kesejahteraan masyarakat sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Dengan kata lain, berpemerintahan adalah memperjuangkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Keberadaan pemerintah baru akan dirasakan masyarakat jika ada peningkatan kualitas pelayanan dan kesejahteraan, bukan sebaliknya.

Pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat merupakan nilai dasar yang harus dijadikan syarat koalisi. Tampaknya hal ini sulit diwujudkan jika para elite politik hanya menganggap koalisi sebagai cara mempertahankan kekuasaan.

Karena itu, amat penting mengembangkan kontrak politik sebagai dasar koalisi seperti dilontarkan Presiden SBY. Kontrak politik tidak hanya berisi kewajiban dan hak parpol dalam koalisi, tetapi yang lebih penting adalah tujuan yang akan dicapai koalisi dalam pemerintahan. Misalnya disetujui beberapa kesepakatan koalisi: pemerintahan yang bersih, berwibawa, dan profesional; terjadinya reformasi birokrasi; peningkatan kualitas pelayanan publik; dan terpenuhinya hak ekonomi, sosial, dan politik masyarakat sebagai hak-hak asasi warga. Kesepakatan terhadap tujuan yang akan dicapai koalisi dalam pemerintahan jauh lebih penting daripada mengatur hak dan kewajiban parpol dalam koalisi.

Kabinet profesional

Hal lain yang harus mendapat perhatian dalam koalisi adalah pengisian kabinet. Karena mesin pemerintahan ditentukan dan digerakkan kabinet, kesepakatan pengisian kabinet harus menjadi bagian pembicaraan koalisi. Terlalu banyak partner koalisi akan menyulitkan presiden terpilih dalam mengisi kabinet.

Sebaliknya, presiden terpilih juga harus mendapatkan dukungan politik dari DPR. Karena itu, gabungan parpol dalam koalisi pengusung calon presiden setidaknya memiliki 30 persen suara di DPR dan tidak lebih dari tiga parpol. Idealnya, partai pengusung calon presiden meraih suara mayoritas mutlak di DPR dengan komposisi koalisi partai yang sederhana.

Namun, melihat perolehan suara dalam pemilu legislatif lalu, sulit rasanya meraih suara mayoritas di DPR hanya dengan melibatkan tiga parpol. Perlu dicatat, terlalu banyak partner koalisi untuk memenuhi mayoritas di DPR akan menyebabkan beragam kepentingan dalam pemerintahan. Karena itu, perimbangan jumlah partner koalisi yang sederhana dan dukungan minimal di DPR merupakan kombinasi yang baik untuk mewujudkan kinerja pemerintahan yang efektif.

Pada sisi lain, perlu dipikirkan untuk membentuk pemerintahan yang berdasar prinsip profesionalisme. Pengisian kabinet pemerintahan hendaknya tidak hanya didasarkan pertimbangan politis, tetapi juga kemampuan, kompetensi, komitmen, dan pengalaman seseorang. Bisa saja syarat-syarat itu berasal dari kalangan parpol yang tergabung dalam koalisi, tetapi apabila diperlukan dan hanya bisa ditemukan di luar parpol, tidak ditutup kemungkinan untuk mengambil kalangan profesional di luar partner koalisi.

Pertimbangan profesionalisme ini penting agar koalisi pemerintahan tidak hanya menjadi ajang politisasi pemerintahan, tetapi merupakan upaya untuk mewujudkan tujuan-tujuan bernegara.

Eko Prasojo Guru Besar FISIP UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog