Minggu, 12 April 2009

Lahirnya Partai Miniatur Indonesia


Oleh Burhanuddin Muhtadi
Penulis adalah Peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI); Meraih penghargaan mahasiswa terbaik Australian National University (ANU) 2008


Sebagai lembaga nonprofit dan independen, Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyambut hajat besar Pemilu 2009 dengan menyelenggarakan penghitungan cepat (quick count ) dan survei terhadap pemilih yang baru saja keluar dari bilik suara ( exit poll ).

Quick count ini dengan mendatangi 2.096 TPS di seluruh Indonesia yang tersebar secara proporsional di seluruh Indonesia. Sampel TPS dipilih dengan menggunakan metode kombinasi stratified cluster random sampling . Diperkirakan toleransi kesalahan sekitar 0,9 persen pada tingkat kepercayaan 99 persen.

Berdasarkan 97,42 persen dari sampel yang masuk, Demokrat memimpin perolehan suara secara nasional dengan angka 20,48 persen, lalu diikuti PDI-P 14,33 persen, Golkar 13,95 persen, PKS 7,85 persen, PAN 5,72 persen, PPP 5,24 persen, PKB 5,12 persen, Gerindra 4,59 persen, Hanura 3,78 persen, dan PBB 1,70 persen. Sepuluh besar parpol nasional ini, kecuali PBB, kemungkinan besar lolos parliamentary threshold .

Catch-All Party
Bagaimana menjelaskan meroketnya suara Demokrat dalam Pemilu 2009 sekarang ini? Berdasarkan exit poll LP3ES, pemilih Demokrat pada Pemilu 2004 yang hanya mencapai 7,4 persen didominasi pemilih di Jawa yang tinggal di perkotaan, well-educated dan berpendapatan menengah ke atas.

Hasil quick count dan exit poll LSI pada Pemilu 2009 menunjukkan bahwa Demokrat telah berhasil meluaskan captive market -nya dengan meraup dukungan elektoral secara merata, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Di Jawa, Demokrat mendapat dukungan 21,33 persen, di Sumatra sebanyak 22,34 persen, dan di wilayah lain yang meliputi Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua sebesar 16,46 persen.

Sebaliknya, PDIP gagal menunjukkan performa yang baik di luar Jawa. Terbukti hanya 9,03 persen warga Sumatra yang memilih partai berlambang kepala banteng ini. Sementara kantong suara PDIP di Papua, Nusa Tenggara, Sulawesi, Bali, Maluku juga tersedot Demokrat. Sebaliknya, Golkar kurang bisa menandingi Demokrat di Jawa. Pada saat yang sama, basis Golkar di luar Jawa tergerus oleh Demokrat.

Keberhasilan demokrat untuk memperbesar ceruk pasar bagi pemilih di luar Jawa inilah yang menjadi faktor pertama kenaikan elektoral Demokrat. Demokrat telah menjelma menjadi partai miniatur Indonesia karena dipilih secara merata di seluruh provinsi Indonesia. Praktis hanya di Jawa Tengah dan Bali di mana PDIP masih berjaya. Di dua basis PDIP inipun Demokrat masih mampu menangguk suara secara signifikan.

Di Jawa Timur, Demokrat malah mampu mengangkangi PKB dan PDIP yang selama ini menjadi penguasa di provinsi itu. Demokrat mampu mendulang suara dari pemilih PKB yang kecewa oleh konflik internal PKB. Seruan Gus Dur agar pendukungnya mendukung Gerindra tak terlalu berpengaruh. Buktinya, suara PKB yang merosot drastis hingga hanya menjadi 10,7 persen tidak diikuti dengan melonjaknya suara Gerindra di Jatim.

Sebagai partai miniatur Indonesia, Demokrat tidak hanya sukses memperluas basis massa berdasarkan sebaran geografis pemilih, tapi juga karakteristik pemilih berdasarkan kategori desa-kota. Meski masih disukai oleh pemilih kota, tapi Demokrat berhasil menggeser posisi Golkar dan PDIP yang selama ini menjadi idaman pemilih yang tinggal di desa. Berdasarkan gender, Demokrat juga mampu menarik pemilih laki-laki dan perempuan, meski proporsi pemilih perempuan yang memilih partai berlambang berlian ini sedikit lebih banyak ketimbang laki-laki.

Identifikasi sebagai partai kelas menengah, baik dari segi pendapatan maupun pendidikan juga mulai luruh. Demokrat bukan hanya mengejawantahkan kaidah lama ''al-muhafadzah ala qadim al-shalih wa al-akhdu ala al-jadid al-ashlah ''. Dalam hal ini, Demokrat berhasil mempertahankan basis pendukung dari kelas menengah, tapi juga mampu ''mencuri'' basis massa dari kalangan menengah bawah yang selama ini menjadi ceruk pasar PDIP dan Golkar.

Menariknya, dari kategori agama, Demokrat juga merefleksikan keragaman Indonesia. Tidak seperti PKS, PAN, dan PKB yang mengandalkan pemilih Muslim, Demokrat tidak hanya dipilih oleh pemilih Muslim, tapi juga mampu bersaing dengan PDIP dan Golkar untuk mengambil hati pemilih Protestan, Katolik, Buddha, Konghucu, dan Hindhu. Dalam term ilmu politik, Demokrat menjelma menjadi catch-all party yang meraup suara dari seluruh segmen pemilih, baik dari kategori agama, sebaran wilayah, pendapatan, pendidikan, usia, dan gender.

Faktor SBY
Lantas, apa yang membuat Demokrat mampu menyedot dukungan dari berbagai lapisan masyarakat? Hampir semua pollster sepakat bahwa faktor Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memegang peranan krusial bagi meroketnya Demokrat pada Pemilu 2009. Temuan empiris membuktikan kenaikan tingkat kepuasan terhadap kinerja politik, penegakan hukum, ekonomi, dan keamanan nasional SBY diikuti dengan meningkatnya tingkat elektabilitas SBY. Ketika SBY menaikkan BBM pada Juni 2008, elektabilitas SBY dilewati oleh Megawati. Demokrat juga terkena getahnya. Jika pemilu diadakan pada saat itu, survei LSI menemukan PDIP-lah yang menjadi pemenang.

Survei LSI (September 2008) menjadi turning point pulihnya kepercayaan publik terhadap kebijakan pemerintah, khususnya bidang ekonomi. Yudhoyono berhasil meningkatkan dukungan masyarakat melalui paket bantuan (sebagian hasil dari pengurangan subsidi BBM) seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri, Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa agunan tambahan, beasiswa untuk anak-anak kurang mampu, Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin), dan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).

Uniknya, kenaikan elektabilitas SBY selalu diikuti dengan kenaikan Demokrat. Jadi, melonjaknya suara Demokrat dalam Pemilu 2009 sebagian besar disumbang SBY. Dalam survei-survei reguler pasca-Juni 2008, elektabilitas SBY tidak terkalahkan oleh capres manapun. Popularitas SBY di mata publik ini kemudian berpengaruh positif terhadap Demokrat. Sulit menjelaskan kenaikan Demokrat tanpa mempertimbangkan faktor SBY. Dilihat dari kualitas caleg Demokrat, banyak pihak yang melihat caleg-caleg Golkar dan PDIP jauh lebih mumpuni ketimbang Demokrat. Dilihat dari infrastruktur dan mesin partai, Demokrat adalah partai baru yang masih perlu belajar banyak dengan saudara tuanya Golkar dalam soal ini.

Masalahnya adalah ketergantungan yang sangat tinggi terhadap SBY sangatlah riskan karena SBY secara konstitusional tidak bisa mencapreskan lagi pada Pemilu 2014 jika dia terpilih lagi dalam pilpres tahun ini. Kemenangan Demokrat, setidaknya menurut quick count dan perhitungan sementara KPU, seharusnya menjadi cambuk bagi partai untuk melakukan kaderisasi dan regenerasi. Jika tidak, suara Demokrat dalam Pemilu 2014 menjadi pertaruhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog