Rabu, 15 April 2009

Psikologi Politik "Tidak Ada Musuh Abadi"

Oleh NINOK LEKSONO

Amerika Serikat tidak punya musuh permanen. Itu juga yang dikatakan oleh Menteri Luar Negeri AS semasa pemerintahan Presiden George W Bush, Condoleezza Rice, ketika berpidato di Davos, 24 Januari 2008 (situs indian express.com, 24/1/2008). Kondisi tidak punya ”musuh permanen” tersebut, menurut mantan Menlu Rice, karena AS tidak memendam rasa benci secara permanen. AS bersedia mengubah sikap bila musuhnya melakukan hal serupa. Sebagai contoh, ia menyebut Libya. Begitu negara ini meninggalkan terorisme dan upaya memiliki senjata pemusnah massal, AS pun bersedia berbaik kembali.

Bagaimana dengan Iran? Rice menambahkan, AS juga tidak berniat punya musuh permanen di Iran. Ia bisa bicara tentang rakyatnya yang hebat dengan kebudayaannya yang besar. Hanya saja, AS punya problem dengan Pemerintah Iran, khususnya menyangkut program nuklir. Selebihnya ia menyatakan sering heran mengapa Iran tak mau berbicara dengan AS.

Tentang tidak adanya musuh (dan juga teman abadi) juga sempat menjadi wacana di media India. Para penulis di negara itu juga menegaskan memang tidak ada musuh atau teman yang abadi. Yang ada adalah kepentingan abadi. Itu juga yang menjadi salah satu kesuksesan Amerika. Seorang penulis di situs expressindia (3/4/2004) mengatakan, ”Mereka (AS) selalu membuat keputusan yang didasarkan pada kepentingan nasional, bukannya pada apa yang secara moral baik atau buruk”.

Oleh karena itu, kita (bangsa India) pun, menurut penulis tersebut—Vishal Khajuria—harus belajar sejumlah hal dari bangsa Amerika. Misalnya, dengan berhenti berpikir secara emosional dan bisa mengembangkan pragmatisme dalam kebijakan luar negeri. ”Kita juga harus berhenti menjagokan kepentingan Dunia Ketiga dan melakukan apa yang paling menguntungkan (negara) kita,” tambah Khajuria.

Pascapemilu legislatif

Persepsi serupa dapat kita turunkan ke konteks lokal pascapemilu legislatif pada 9 April di Indonesia. Dua jenderal yang selama lebih dari satu dasawarsa tidak bertemu mendadak ketemu, koalisi yang semula dianggap sudah retak lalu tampak merapat kembali. Semua menyiratkan kebenaran adagium di atas. Manakala ada kepentingan yang sama, apa yang dianggap mustahil pun bisa terjadi. Sebaliknya, manakala kepentingan bersama tak ada lagi, teman pun tak abadi lagi.

Adakah psikologi yang menjelaskan mengapa sikap yang berpola tersebut lahir? Reporter Kenya, Roseleen Nzioka, dari situs eastandard.net (9/1/2008) menulis berdasarkan pengalaman empiriknya bahwa di antara politisi dan kelas penguasa di berbagai tempat di dunia—pria dan wanita—terdapat satu pengikat yang sama yang melintasi (transcend) perbedaan politik yang ada di antara mereka.

Nzioka—sama seperti banyak orang lain—juga terus mencari jawaban tentang apa yang mengikat para politisi tersebut. Mengapa musuh-musuh politik hari kemarin hari ini membuat jembatan bagi pertikaiannya dan berperilaku seperti mereka bisa menyerahkan hidup yang satu untuk yang lain?

Nzioka melihat di Kenya ada aliansi antarpartai terbentuk dan pecah sejak tahun 1960-an. Ia melihat lawan-lawan politik—di sekitar pemilu legislatif atau pemilu presiden—menutup perbedaan di antara mereka, lalu bergandengan tangan untuk mencapai satu tujuan politik bersama. Nzioka—demikian pula kita di sini—telah melihat hal itu berulang kali.

Lalu seusai krisis pascapemilu, muncul ”perkawinan” politik, di mana teman seranjang paling ganjil pun akan menjadi teman selama lima tahun berikut. Selanjutnya, menjelang pemilu lima tahun berikut, mereka akan mengatur posisi lagi.

Entah di Kenya atau di Indonesia sekarang ini, pada masa pemilu orang tertarik untuk melihat siapa bersekutu dengan siapa. Namun, ketika para politisi sibuk menutup perbedaan dan saling merapatkan diri, rakyat kebanyakan bisa jadi masih harus menyembuhkan luka yang diakibatkan oleh ekses pemilu.

Dalam kaitan ini, Nzioka sekali lagi mengingatkan bahwa politisi tidak punya teman permanen atau musuh permanen. Yang ada hanyalah kepentingan permanen dan—ia tambahkan—kepentingan bersama, adagium yang diturunkan dari ucapan negarawan Inggris yang dikutip di bagian awal tulisan ini.

Dalam kaitan ini, orang boleh jadi harus menerima bahwa pada dasarnya ada jenis persahabatan yang sifatnya nonpersonal, mengikuti apa yang sejak dulu diterapkan untuk lingkup antarnegara. Oleh karena itu pula, dari ranah politik sebaiknya orang jangan mengharapkan ciri-ciri seperti yang dipancarkan oleh hubungan persahabatan yang normalnya ada pada persahabatan antara dua atau sejumlah orang, yang di dalamnya misalnya saja terpancar kuat perasaan saling menghargai, setia, dan siap berkorban bagi sahabat, bahkan kadang sampai tingkat lebih mendahulukan kepentingan sahabat daripada kepentingan diri sendiri (altruisme).

Definisi umum persahabatan juga menyinggung bahwa cita rasa para sahabat umumnya serupa, atau kalaupun semula tidak, akan bertemu menyatu. Ada juga yang merumuskan persahabatan sebagai adanya keyakinan bahwa pihak lain tidak akan membahayakan dirinya.

Dalam konteks politik sekarang ini, memang ada sejumlah nilai yang memancarkan persahabatan, seperti pengertian, simpati, dan empati—lebih kurang solider dengan apa yang dialami oleh rekan senasib. Namun, bagaimana hal ini bisa disinkronkan dengan nilai lain yang telah disinggung di atas, dalam hal ini loyalitas?

Sering kali di elemen inilah psikologi atau insting politik akan menampilkan realitas berbeda. Loyalitas bisa berakhir begitu saja manakala muncul kepentingan baru yang tidak sejalan dengan kepentingan lama. Ikatan yang disinggung Nzioka di atas boleh jadi terkait dengan insting manusia untuk survive. Namun, psikologi sebagai ilmu yang mengkaji sifat dan perilaku manusia diharapkan bisa menjelaskan seberapa jauh insting survival bisa rujuk dengan ideal lain, seperti loyalitas dan kejujuran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog